Jakarta di usia 486 tahun
A
A
A
PADA 22 Juni lalu Jakarta genap berusia 486 tahun. Di usia yang terbilang cukup tua itu rupanya permasalahan di Jakarta kian menggunung.
Terpilihnya Jokowi-Ahok menimbulkan harapan perbaikan berbagai permasalahan besar kota yang menjadi “panutan” di negeri ini. Ambil misalnya permasalahan polusi. Lima tahun lalu penelitian Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP, 2009) mendudukkan Jakarta pada peringkat ketiga sebagai kota paling buruk kualitas udaranya di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
Tahun lalu Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) memastikan terjadi lonjakkan cukup drastis tingkat pencemaran udara Jakarta pada 2011 dibandingkan 2010. Kita semua tahu, penyumbang terbanyak pencemaran udara di Jakarta adalah kendaraan bermotor. Selain karena lemahnya kontrol pemerintah dalam melakukan uji emisi kendaraan, itu juga karena semakin banyak kendaraan yang melintas di Jakarta.
Dibandingkan data 2010 dan 2011, pada 2012 peningkatan kendaraan melonjak drastis sekitar 30-40%. Artinya, pencemaran udara meningkat drastis. Tinggal di Kota Jakarta yang sangat padat sungguh jauh dari kenyamanan. Hampir semua sumber kehidupan yang vital seperti air dan udara sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Hasil penelitian UNEP tersebut menunjukkan 90% sumur contoh yang dioperasikan secara acak di kota metropolitan ini terbukti mengandung E-coli, bakteri yang berasal dari kotoran manusia.
Tidak seperti air, manusia tidak bisa memilih udara yang layak. Penyebab utamanya adalah emisi gas buang kendaraan bermotor. Untuk menangkalnya, Pemerintah DKI memang sudah mulai menerapkan peraturan bahwa setidaknya 20% kendaraan angkutan umum harus menggunakan bahan bakar gas dalam beberapa tahun ke depan. Pemprov DKI Jakarta juga telah menyusun RTRW 2010-2030 yang sayangnya diprotes berbagai pihak karena dianggap tidak partisipatif.
Melihat timbunan persoalan berat yang melilit Jakarta, banyak pula yang meragukan apakah mungkin membuat perencanaan bagi Jakarta dan sekitarnya, yang kini berpenduduk 20 juta jiwa ini. Lebih dari 50 tahun lalu, antropolog terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis bahwa Sao Paolo, Brasil, “Berkembang demikian cepatnya sehingga tidak mungkin melakukan perencanaan atasnya.“
Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini baru berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan apa kesan mendiang Levi Strauss seandainya melihat Sao Paolo, apalagi Jakarta, saat ini. Menurut World Watch, arus deras manusia yang menyerbu megapolitan di negara-negara berkembang bukan disebabkan kemakmuran kota, melainkan kemiskinan desa.
Belajar dari kota lain
Secara teoretis arus urbanisasi ini akan lebih terbendung seandainya sentra-sentra di daerah mampu menawarkan lapangan kerja cukup. Pada aspek ini sebenarnya ada “titik temu” kepentingan antara Jakarta dan daerah. Jakarta yang memiliki kebutuhan mendesak untuk mengurangi beban kelebihan penduduk, pencemaran lingkungan, dan kemiskinan seharusnya menjalin hubungan saling menguntungkan dengan daerah.
Jakarta bisa menjembatani —atau melakukan investasi langsung— di daerah terutama dalam sektor industri padat karya. Boleh juga dicoba program pemulangan “putra daerah” dari Jakarta untuk mengisi berbagai lowongan pekerjaan di daerah. Status Jakarta sebagai ibu kota negara sekaligus tempat kegiatan administratif dan bisnis juga ditengarai mengakibatkan semua persoalan tumplek blek di Jakarta.
Rencana pemindahan lokasi kegiatan administrasi pemerintahan ini kiranya perlu dihidupkan kembali. Pemutusan lingkaran setan permasalahan Jakarta tampaknya harus menjadi bagian dari prioritas perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk pemerintah pusat, lima tahun ke depan. Pelibatan warga dalam proses perencanaan merupakan sebuah keharusan, termasuk dalam kemungkinan merevisi RT/RW 2010-2030.
Shakespeare pernah memformulasikan sebuah kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban, “Apakah kota itu, kalau bukan penduduknya.” Masyarakat luas, terutama dari lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas penduduk kota adalah mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun, mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi biasanya menjadi pihak yang selalu dirugikan.
Idealnya, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota seringkali lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif asalkan mereka diajak berembuk tentang kotanya. Beberapa praktik cerdas berikut patut dipertimbangkan.
Dari mancanegara, Porto Alegre bisa menjadi contoh sebuah model inovatif dan partisipatif dalam bentuk orcamento participativo (OP) atau keterlibatan warga dalam perencanaan anggaran. Dalam kerangka OP, kota dibagi dalam sub-regions, di mana warga dalam forum-forum lokal dan regional berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.
Sejak beberapa tahun terakhir warga Porto Alegre dapat langsung memutuskan penggunaan dana sebagai investasi bagi kemaslahatan lapis sosial bawah terkait air minum, kanalisasi, jalan, pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air limbah. Suksesnya ”Model Porto Alegre” telah menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasil dan beberapa negara Amerika Latin.
Dalam kaitan ini model demokrasi representatif-prosedural setidaknya di Brasil semakin kehilangan pamor dibandingkan keterlibatan langsung warga kota lewat OP. Dari dalam negeri, wali Kota Solo, yang kini menjadi warga nomor 1 DKI Jakarta misalnya mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya.
Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, ia lebih dulu mendengar inspirasi para pelaku sektor informal itu. Ia tak memilih jalan pintas lewat pengerahan aparat atau membakar lokasi. Tak heran bila acara pemindahan berlangsung mulus dan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton.
Kita berharap pelajaran dari Solo, Porto Alegre, dan banyak kota lainnya bisa menjadi masukan bagi pembenahan Jakarta. Dirgahayu Jakarta!
IVAN A HADAR
Arsitek, Perencana Kota
Terpilihnya Jokowi-Ahok menimbulkan harapan perbaikan berbagai permasalahan besar kota yang menjadi “panutan” di negeri ini. Ambil misalnya permasalahan polusi. Lima tahun lalu penelitian Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP, 2009) mendudukkan Jakarta pada peringkat ketiga sebagai kota paling buruk kualitas udaranya di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
Tahun lalu Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) memastikan terjadi lonjakkan cukup drastis tingkat pencemaran udara Jakarta pada 2011 dibandingkan 2010. Kita semua tahu, penyumbang terbanyak pencemaran udara di Jakarta adalah kendaraan bermotor. Selain karena lemahnya kontrol pemerintah dalam melakukan uji emisi kendaraan, itu juga karena semakin banyak kendaraan yang melintas di Jakarta.
Dibandingkan data 2010 dan 2011, pada 2012 peningkatan kendaraan melonjak drastis sekitar 30-40%. Artinya, pencemaran udara meningkat drastis. Tinggal di Kota Jakarta yang sangat padat sungguh jauh dari kenyamanan. Hampir semua sumber kehidupan yang vital seperti air dan udara sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Hasil penelitian UNEP tersebut menunjukkan 90% sumur contoh yang dioperasikan secara acak di kota metropolitan ini terbukti mengandung E-coli, bakteri yang berasal dari kotoran manusia.
Tidak seperti air, manusia tidak bisa memilih udara yang layak. Penyebab utamanya adalah emisi gas buang kendaraan bermotor. Untuk menangkalnya, Pemerintah DKI memang sudah mulai menerapkan peraturan bahwa setidaknya 20% kendaraan angkutan umum harus menggunakan bahan bakar gas dalam beberapa tahun ke depan. Pemprov DKI Jakarta juga telah menyusun RTRW 2010-2030 yang sayangnya diprotes berbagai pihak karena dianggap tidak partisipatif.
Melihat timbunan persoalan berat yang melilit Jakarta, banyak pula yang meragukan apakah mungkin membuat perencanaan bagi Jakarta dan sekitarnya, yang kini berpenduduk 20 juta jiwa ini. Lebih dari 50 tahun lalu, antropolog terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis bahwa Sao Paolo, Brasil, “Berkembang demikian cepatnya sehingga tidak mungkin melakukan perencanaan atasnya.“
Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini baru berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan apa kesan mendiang Levi Strauss seandainya melihat Sao Paolo, apalagi Jakarta, saat ini. Menurut World Watch, arus deras manusia yang menyerbu megapolitan di negara-negara berkembang bukan disebabkan kemakmuran kota, melainkan kemiskinan desa.
Belajar dari kota lain
Secara teoretis arus urbanisasi ini akan lebih terbendung seandainya sentra-sentra di daerah mampu menawarkan lapangan kerja cukup. Pada aspek ini sebenarnya ada “titik temu” kepentingan antara Jakarta dan daerah. Jakarta yang memiliki kebutuhan mendesak untuk mengurangi beban kelebihan penduduk, pencemaran lingkungan, dan kemiskinan seharusnya menjalin hubungan saling menguntungkan dengan daerah.
Jakarta bisa menjembatani —atau melakukan investasi langsung— di daerah terutama dalam sektor industri padat karya. Boleh juga dicoba program pemulangan “putra daerah” dari Jakarta untuk mengisi berbagai lowongan pekerjaan di daerah. Status Jakarta sebagai ibu kota negara sekaligus tempat kegiatan administratif dan bisnis juga ditengarai mengakibatkan semua persoalan tumplek blek di Jakarta.
Rencana pemindahan lokasi kegiatan administrasi pemerintahan ini kiranya perlu dihidupkan kembali. Pemutusan lingkaran setan permasalahan Jakarta tampaknya harus menjadi bagian dari prioritas perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk pemerintah pusat, lima tahun ke depan. Pelibatan warga dalam proses perencanaan merupakan sebuah keharusan, termasuk dalam kemungkinan merevisi RT/RW 2010-2030.
Shakespeare pernah memformulasikan sebuah kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban, “Apakah kota itu, kalau bukan penduduknya.” Masyarakat luas, terutama dari lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas penduduk kota adalah mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun, mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi biasanya menjadi pihak yang selalu dirugikan.
Idealnya, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota seringkali lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif asalkan mereka diajak berembuk tentang kotanya. Beberapa praktik cerdas berikut patut dipertimbangkan.
Dari mancanegara, Porto Alegre bisa menjadi contoh sebuah model inovatif dan partisipatif dalam bentuk orcamento participativo (OP) atau keterlibatan warga dalam perencanaan anggaran. Dalam kerangka OP, kota dibagi dalam sub-regions, di mana warga dalam forum-forum lokal dan regional berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.
Sejak beberapa tahun terakhir warga Porto Alegre dapat langsung memutuskan penggunaan dana sebagai investasi bagi kemaslahatan lapis sosial bawah terkait air minum, kanalisasi, jalan, pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air limbah. Suksesnya ”Model Porto Alegre” telah menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasil dan beberapa negara Amerika Latin.
Dalam kaitan ini model demokrasi representatif-prosedural setidaknya di Brasil semakin kehilangan pamor dibandingkan keterlibatan langsung warga kota lewat OP. Dari dalam negeri, wali Kota Solo, yang kini menjadi warga nomor 1 DKI Jakarta misalnya mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya.
Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, ia lebih dulu mendengar inspirasi para pelaku sektor informal itu. Ia tak memilih jalan pintas lewat pengerahan aparat atau membakar lokasi. Tak heran bila acara pemindahan berlangsung mulus dan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton.
Kita berharap pelajaran dari Solo, Porto Alegre, dan banyak kota lainnya bisa menjadi masukan bagi pembenahan Jakarta. Dirgahayu Jakarta!
IVAN A HADAR
Arsitek, Perencana Kota
(hyk)