Paradoks Politik PKS
A
A
A
Paradoks dalam konteks ini dapat diartikan sebagai dua sikap yang saling bertentangan, padahal keduanya terkait erat dengan satu objek atau isu.
Dalam hal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua sikap politik yang saling bertentangan itu adalah (1) di satu sisi menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang telah menjadi kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), (2) di sisi lain bersikukuh untuk terus berada di dalam kabinet yang dipimpin Presiden SBY. Inilah paradoks politik PKS. Pertama karena PKS termasuk salah satu partai politik yang ikut di dalam koalisi mendukung pemerintahan SBY periode 2009–2014.
Itu diperjelas dengan fakta bahwa ada tiga menteri dari PKS yang duduk di kabinet saat ini, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Sosial Salim Segaf Al Djufri, dan Menteri Pertanian Suswono. Dengan berada di dalam kabinet, PKS mestinya paham dan sadar betul bahwa mendukung semua kebijakan pemerintah merupakan keniscayaan. Tentu bukan berarti sikap kritis dan kebebasan berpikir para anggota koalisi dinafikan. Berbeda itu biasa, apalagi di alam demokrasi ini.
Namun, ketika mereka (para anggota koalisi itu) tampil keluar ke hadapan publik, soliditas sebagai satu tim kerja hendaknya dikedepankan. Itulah berpolitik dengan mengindahkan etika. Dalam konteks ini, demokrasi, khususnya nilai kebebasan, harus rela “mengalah” pada etika. Dengan demikianlah politik menjadi elok dalam pandangan publik yang mengamatinya setiap saat. Bukankah setiap partai politik, termasuk PKS, juga mengemban peran sosialisasi politik dalam arti harus memberi edukasi politik bagi rakyat?
Maka, alangkah anehnya ketika kebijakan Pemerintah SBY untuk menaikkan harga BBM yang tinggal diketuk palu di DPR itu masih terus diributkan PKS. Lebih aneh lagi ketika hari-hari ini rakyat menyaksikan spanduk-spanduk PKS bertebaran di jalan-jalan umum yang antara lain berbunyi: ”PKS tetap bersama rakyat tolak kenaikan harga BBM” dan ”Benahi ekonomi Indonesia tolak kenaikan harga BBM”.
Apalagi pada sejumlah spanduk itu juga terpampang besar-besar logo politik PKS disertai wajahwajah para elitenya. Pertanyaannya, mengapa PKS tiba-tiba berperilaku politik seperti kekuatan politik nonparpol yang gemar bersuara di jalan-jalan? Mengapa pula wajah-wajah para elite partainya harus ditonjolkan seakanakan hendak berkampanye? Ataukah jangan-jangan PKS melakukannya dengan merujuk peribahasa ”sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui” yang dapat dimaknai ”mengkritik pemerintah sekaligus berupaya meraih simpati rakyat menjelang pemilu”?
Hari-hari ini PKS sebenarnya bisa juga kita sejajarkan dengankelompok- kelompokmahasiswa di Makassar, Medan, dan Jakarta yang marak menolak rencana kenaikan harga BBM. Kalau begitu, mengapa tidak sekalian saja PKS ikut di dalam arak-arakan aksi demo para mahasiswa itu? Tak ada yang salah bukan? Hanya saja, sebelum melakukannya, PKS sebaiknya keluar dari koalisi dan menarik para kadernya dari kabinet.
Itu baru berpolitik secara elegan: berani berbeda, tapi juga sadar risikonya, dan untuk itu tak perlu menunggu pemimpin koalisi mendepaknya keluar. Jadi, lebih terpuji jika PKS secara proaktif meminta keluar dari koalisi dan menarik mundur ketiga menterinya di pemerintahan. Kalau menunggu SBY bertindak tegas, publik curiga jangan-jangan ini merupakan taktik PKS untuk kelak mencitrakan dirinya sebagai pihak yang terzalimi dan karenanya patut diberi simpati.
Kita teringat akan peristiwa 30 Januari lalu ketika Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam korupsi kuota impor daging sapi. Sehari sesudahnya, Luthfi langsung memutuskan mundur dari jabatannya sebagai presiden PKS. Salut. Itu pertanda Luthfi mengakui dirinya bersalah dan merasa tak layak memimpin jalannya roda partai dakwah ini ke depan. Pada 1 Februari, Sekjen PKS Anis Matta dilantik menjadi presiden baru PKS. Seusai acara pelantikan, Anis mengatakan akan melakukan pertobatan nasional.
“Kami sadar bahwa kami banyak kekurangan,” ujar Anis. Bukankah itu ciri orang yang berjiwa besar? Tapi, yang mengherankan, Anis kemudian menuding adanya konspirasi besar di balik penangkapan Luthfi. Anis juga membakar semangat para kader PKS untuk ofensif terhadap pihak-pihak yang berkonspirasi menjatuhkan PKS. Alhasil, elite-elite PKS yang lain pun ikut menyeretnyeret kaum zionis dan Amerika Serikat (AS) sebagai pihak-pihak yang diduga terlibat dalam konspirasi itu.
Pasalnya, beberapa hari sebelum penangkapan Luthfi, ada pertemuan antara Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel dengan pimpinan KPK guna membahas strategi pemberantasan korupsi. Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid pun mengatakan hal senada. ”Kami merasa terzalimi dengan keadaan ini. Pasti ada konspirasi yang ingin menjatuhkan PKS,” kata Hidayat. Ia juga menuding KPK tebang pilih dalam penangkapan Luthfi.
Ketika KPK kemudian bergerak lebih jauh menyasar Menteri Pertanian Suswono, yang juga kader PKS, Hidayat berkata begini: “Kalau berdasarkan bukti-bukti faktual, kami akan taat hukum. Tapi kalau tidak, kami pasti akan melakukan tindakan- tindakan.” Pertanyaannya, sebenarnya apa makna pertobatan nasional versi partai berbasis agama ini? Seriuskah atau hanya demi pencitraan? Mengapa di satu sisi menyerukan pertobatan, tapi di sisi lain bersikap reaktif sekaligus defensif?
Bukankah berdiam diri dan berintrospeksi lebih bijak daripada terus-menerus bicara? Apalagi seiring waktu terungkap pula kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader-kader PKS lainnya, padahal partai ini bermoto “bersih dari korupsi bukan suatu prestasi, tapi kewajiban”. Belum lagi ada isu amoral yang menyeret Ahmad Fathanah, orang dekat Luthfi, dalam kasus fee impor sapi yang makin membuat dahi kita bekernyit mengenai arah para elite partai ini karena rupanya partai ini juga terseret dalam kubangan masalah amoral.
Satu pertanyaan terakhir: politik seperti apakah yang hendak diperlihatkan PKS kepada publik saat ini dan ke depan? Yang berbasis nilai-nilai agamakah karena menyadari bahwa politik adalah ibadah atau yang berorientasi kepentingan diri dan kelompok sendiri sehingga etika, kebaikan, dan kebajikan tak perlu dijunjung tinggi? ●
VICTOR SILAEN
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Pelita Harapan
Dalam hal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua sikap politik yang saling bertentangan itu adalah (1) di satu sisi menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang telah menjadi kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), (2) di sisi lain bersikukuh untuk terus berada di dalam kabinet yang dipimpin Presiden SBY. Inilah paradoks politik PKS. Pertama karena PKS termasuk salah satu partai politik yang ikut di dalam koalisi mendukung pemerintahan SBY periode 2009–2014.
Itu diperjelas dengan fakta bahwa ada tiga menteri dari PKS yang duduk di kabinet saat ini, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Sosial Salim Segaf Al Djufri, dan Menteri Pertanian Suswono. Dengan berada di dalam kabinet, PKS mestinya paham dan sadar betul bahwa mendukung semua kebijakan pemerintah merupakan keniscayaan. Tentu bukan berarti sikap kritis dan kebebasan berpikir para anggota koalisi dinafikan. Berbeda itu biasa, apalagi di alam demokrasi ini.
Namun, ketika mereka (para anggota koalisi itu) tampil keluar ke hadapan publik, soliditas sebagai satu tim kerja hendaknya dikedepankan. Itulah berpolitik dengan mengindahkan etika. Dalam konteks ini, demokrasi, khususnya nilai kebebasan, harus rela “mengalah” pada etika. Dengan demikianlah politik menjadi elok dalam pandangan publik yang mengamatinya setiap saat. Bukankah setiap partai politik, termasuk PKS, juga mengemban peran sosialisasi politik dalam arti harus memberi edukasi politik bagi rakyat?
Maka, alangkah anehnya ketika kebijakan Pemerintah SBY untuk menaikkan harga BBM yang tinggal diketuk palu di DPR itu masih terus diributkan PKS. Lebih aneh lagi ketika hari-hari ini rakyat menyaksikan spanduk-spanduk PKS bertebaran di jalan-jalan umum yang antara lain berbunyi: ”PKS tetap bersama rakyat tolak kenaikan harga BBM” dan ”Benahi ekonomi Indonesia tolak kenaikan harga BBM”.
Apalagi pada sejumlah spanduk itu juga terpampang besar-besar logo politik PKS disertai wajahwajah para elitenya. Pertanyaannya, mengapa PKS tiba-tiba berperilaku politik seperti kekuatan politik nonparpol yang gemar bersuara di jalan-jalan? Mengapa pula wajah-wajah para elite partainya harus ditonjolkan seakanakan hendak berkampanye? Ataukah jangan-jangan PKS melakukannya dengan merujuk peribahasa ”sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui” yang dapat dimaknai ”mengkritik pemerintah sekaligus berupaya meraih simpati rakyat menjelang pemilu”?
Hari-hari ini PKS sebenarnya bisa juga kita sejajarkan dengankelompok- kelompokmahasiswa di Makassar, Medan, dan Jakarta yang marak menolak rencana kenaikan harga BBM. Kalau begitu, mengapa tidak sekalian saja PKS ikut di dalam arak-arakan aksi demo para mahasiswa itu? Tak ada yang salah bukan? Hanya saja, sebelum melakukannya, PKS sebaiknya keluar dari koalisi dan menarik para kadernya dari kabinet.
Itu baru berpolitik secara elegan: berani berbeda, tapi juga sadar risikonya, dan untuk itu tak perlu menunggu pemimpin koalisi mendepaknya keluar. Jadi, lebih terpuji jika PKS secara proaktif meminta keluar dari koalisi dan menarik mundur ketiga menterinya di pemerintahan. Kalau menunggu SBY bertindak tegas, publik curiga jangan-jangan ini merupakan taktik PKS untuk kelak mencitrakan dirinya sebagai pihak yang terzalimi dan karenanya patut diberi simpati.
Kita teringat akan peristiwa 30 Januari lalu ketika Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam korupsi kuota impor daging sapi. Sehari sesudahnya, Luthfi langsung memutuskan mundur dari jabatannya sebagai presiden PKS. Salut. Itu pertanda Luthfi mengakui dirinya bersalah dan merasa tak layak memimpin jalannya roda partai dakwah ini ke depan. Pada 1 Februari, Sekjen PKS Anis Matta dilantik menjadi presiden baru PKS. Seusai acara pelantikan, Anis mengatakan akan melakukan pertobatan nasional.
“Kami sadar bahwa kami banyak kekurangan,” ujar Anis. Bukankah itu ciri orang yang berjiwa besar? Tapi, yang mengherankan, Anis kemudian menuding adanya konspirasi besar di balik penangkapan Luthfi. Anis juga membakar semangat para kader PKS untuk ofensif terhadap pihak-pihak yang berkonspirasi menjatuhkan PKS. Alhasil, elite-elite PKS yang lain pun ikut menyeretnyeret kaum zionis dan Amerika Serikat (AS) sebagai pihak-pihak yang diduga terlibat dalam konspirasi itu.
Pasalnya, beberapa hari sebelum penangkapan Luthfi, ada pertemuan antara Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel dengan pimpinan KPK guna membahas strategi pemberantasan korupsi. Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid pun mengatakan hal senada. ”Kami merasa terzalimi dengan keadaan ini. Pasti ada konspirasi yang ingin menjatuhkan PKS,” kata Hidayat. Ia juga menuding KPK tebang pilih dalam penangkapan Luthfi.
Ketika KPK kemudian bergerak lebih jauh menyasar Menteri Pertanian Suswono, yang juga kader PKS, Hidayat berkata begini: “Kalau berdasarkan bukti-bukti faktual, kami akan taat hukum. Tapi kalau tidak, kami pasti akan melakukan tindakan- tindakan.” Pertanyaannya, sebenarnya apa makna pertobatan nasional versi partai berbasis agama ini? Seriuskah atau hanya demi pencitraan? Mengapa di satu sisi menyerukan pertobatan, tapi di sisi lain bersikap reaktif sekaligus defensif?
Bukankah berdiam diri dan berintrospeksi lebih bijak daripada terus-menerus bicara? Apalagi seiring waktu terungkap pula kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader-kader PKS lainnya, padahal partai ini bermoto “bersih dari korupsi bukan suatu prestasi, tapi kewajiban”. Belum lagi ada isu amoral yang menyeret Ahmad Fathanah, orang dekat Luthfi, dalam kasus fee impor sapi yang makin membuat dahi kita bekernyit mengenai arah para elite partai ini karena rupanya partai ini juga terseret dalam kubangan masalah amoral.
Satu pertanyaan terakhir: politik seperti apakah yang hendak diperlihatkan PKS kepada publik saat ini dan ke depan? Yang berbasis nilai-nilai agamakah karena menyadari bahwa politik adalah ibadah atau yang berorientasi kepentingan diri dan kelompok sendiri sehingga etika, kebaikan, dan kebajikan tak perlu dijunjung tinggi? ●
VICTOR SILAEN
Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Pelita Harapan
(kri)