Ada apa di Istanbul?
A
A
A
Hari-hari ini kita dihadapkan pada protes besar dan meluas di Turki. Protes itu bermula dari Alun-alun Taksim dan Taman Gazi, Istanbul akhir Mei lalu, tetapi tidak kunjung berhenti, bahkan tampak semakin bertele- tele.
Korban nyawa telah jatuh dan yang luka-luka “tak terhitung”. Tentu kita kaget, apakah yang sedang terjadi di sana? Bukankah Turki merupakan negeri fenomenal belakangan ini, ditandai dengan stabilitas-dinamis pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan melejit perekonomiannya? Media massa memberitakan sebab khusus yang memicu protes, terutama isu lingkungan.
Rencana penataan ulang Alun-alun Taksim dan Taman Gazi oleh pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan ditolak pemrotes karena mempersempit ruang terbuka hijau. Betapapun demikian di balik pemicu itu, terdapat akumulasi kekecewaan terhadap berbagai kebijakan Erdogan yang “membatasi kebebasan”. Banyak segmen yang merasa “terpinggirkan” bersatu menolak “otoriterisme Erdogan”.
Hampir semua kolumnis “propemerintah” maupun “prooposisi” di berbagai surat kabar Turki, terutama Todays Zaman dan Hurriyet Dailys News, kini sama-sama menyorot Erdogan. Dalam kalimat yang moderat mengemuka pesan agar Erdogan menurunkan tensi arogansi politiknya dan tampil lebih empati kepada kelompok-kelompok minoritas atau pemrotes. Erdogan diminta agar sekalem Presiden Abdullah Gul.
Kalimat yang lebih keras mengkritik Erdogan sudah berlagak seperti Sultan pada masa lalu dan menyalahgunakan legitimasi demokrasi elektoral untuk memaksakan kebijakan-kebi-jakannya yang tidak populis. Gaya Erdogan jauh dari perspektif demokrasi deliberasi. Betapapun isu ideologis tidak bisa terpinggirkan dari fenomena politik Turki antara “Islam” versus “Sekuler”, tetapi berbagai ulasan menggiringnya ke persoalan demokrasi dan “kebebasan”.
Sejauh ini kasus protes dan penanganannya yang “keras” di Turki itu belum mengarah pada kesimpulan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Bagaimanapun Turki masih merupakan model negara muslim demokratis sebagaimana juga Indonesia. Apa yang terjadi di Turki merupakan aksi-reaksi yang bisa muncul di negaranegara demokrasi lain, betapapun “model Turki” tengah dalam ujian.
Betapapun kontroversialnya, Erdogan adalah tokoh yang fenomenal, bahkan ia sering disebut sebagai tokoh besar pasca-Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki. Majalah Time pernah menyorotnya secara khusus (edisi 28 November 2011) bahwa ia dan partainya (AKP) telah mampu membawa Turki dari kondisi ekonomi terpuruk pada 2001 menjadi sangat melejit. Produk domestik bruto (PDB) per kapita Turki naik 288%, dari USD3.492 (2002) menjadi USD10.079 (2010).
Karena itu, banyak yang merasa heran ketika Turki belum diterima juga sebagai anggota penuh Uni Eropa. Erdogan pernah menulis kolom di Newsweek (edisi 17 Januari 2011), “The Robust Man in Europe”. Dari judulnya saja, ia seperti hendak menyampaikan pesan, Turki sekarang bukan negara yang pantas diolok-olok lagi sebagai “The Sick Man in Europe”, merujuk pada penggambaran Eropa pasca-Perang Dunia I.
Tetapi, kemajuan ekonomi ternyata tidak menjamin pemerintahan AKP aman dari gejolak politik. Kasus Turki sekarang bisa menjadi bahan studi tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kebebasan. Ketika “kebebasan” ditekan, betapapun pertumbuhan ekonomi pesat ternyata tidak menjamin stabilitas. Dalam kasus Turki, di balik isu kebebasan, isu ideologis juga tak lepas. Pascarevolusi Kemalis, pembelahan politik Turki sering disederhanakan ke dalam konflik tradisional “sekuler” dan Islam (Sunni). Yang satu ditopang oleh partai-partai sekuler, minoritas Alevi, dan militer.
Yang satunya saat ini lebih merujuk kepada AKP, betapapun ia menolak dikatakan merepresentasikan kekuatan “Islamis”, kecuali “demokrat- konservatif”. AKP meraup dukungan politik populer sangat tinggi. Ia menang berturut- turut pada Pemilu 2002, 2007, dan 2011 (49,7% suara). Variasi pembelahan politik lain adalah kelas menengah perkotaan (urban) yang “sekuler” versus borjuis saleh di “perdesaan” (rural), yang disimbolisasikan “Istanbul” versus pusat-pusat pertumbuhan atau “macanmacan” Anatolia yang ditopang kalangan muslim konservatif.
Kekuatan “demokrat- konservatif” AKP didukung atau merepresentasikan yang “rural” dan “muslim-konservatif” itu. Kemenangannya bukan saja menandai babak baru sejarah politik, melainkan juga sejarah demarginalisasi “muslim” Turki yang sejak 1923 di bawah bayang-bayang regulasi dan dominasi politik kaum sekuler. Secara kualitatif, dukungan yang besar kepada AKP dan Erdogan dalam pemilu tampaknya menyisakan pula emosi politik atas riwayat “ketertindasan politik” mereka sebelumnya.
Isu “ideologi politik” masih demikian sensitif di Turki. Karena itu, ketika banyak kebijakan yang dinilai beraroma “reislamisasi”, kubu sekuler meradang. Selama ini secara politik kaum sekuler dilindungi militer. Kini ketika militer “dikembalikan ke barak” oleh Erdogan dengan memanfaatkan Uni Eropa, mereka nyaris tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali melakukan internasionalisasi isu “otoriterisme Erdogan”.
Ini menguat pada babak kedua pemerintahan AKP, terutama setelah Gul terpilih sebagai presiden, dan penyelidikan-penyelidikan kasus Ergenekon dan Balyoz, dua kasus subversi kontroversial dilakukan. Yang mengemuka, isu kebebasan pers, di mana sering didengungkan di Turki jumlah wartawan yang dipenjara lebih banyak ketimbang China. Tentu saja Erdogan menolak isu itu, betapapun yang berkembang kemudian justru tidak saja isu ketidakbebasan pers, tapi “kebebasan” itu sendiri.
Pembatasan penjualan alkohol dan pelarangan “berciuman di depan umum” dipandang sebagai ihwal yang bertolak belakang dengan “kebebasan” dan nilai-nilai sekuler Ataturk. Uniknya, Erdogan juga aktif mempromosikan sekularisme ke negara-negara “Arab Spring”, betapapun sekularisme versi Erdogan lain dengan versi awal Ataturk. Versi sekularisme yang telah direvisi inilah yang rupa-rupanya ditolak keras oleh pemrotes.
Yang dikhawatirkan dari drama politik kolosal Turki saat ini adalah manakala protes antipemerintah dan kemudian diikuti aksi propemerintah bertumbukan lebih keras. Demokrasi yang elegan di “dalam ruangan” atau parlemen tentu akan kalah pamor dibanding mobokrasi di jalanan. Dalam situasi yang mengarah ke kekhawatiran benturan keras itu, militer yang selama ini “diam” bisa jadi akan dengan terpaksa turun tangan.
Militer Turki sesungguhnya tampak “trauma” dengan politik, terutama di era Erdogan ini, ketika banyak jenderal diadili dan dijatuhi vonis pengadilan akibat kasus-kasus subversi. Tetapi, melihat sejarah politiknya, kudeta militer telah menjadi semacam tradisi tersendiri. Sejak era multipartai 1946, kudeta militer meletus pada 1960, 1971, 1980, dan 1997, betapapun 1971 dan 1997 tanpa pertumpahan darah.
Tapi, kalaupun militer turun tangan, tampaknya lebih banyak mudaratnya karena pergeseran politik yang radikal akan terjadi dan bisa berpengaruh ke kondisi ekonomi Turki yang sedang baik-baiknya. Dialog tentu jalan utama, betapapun susahnya mencari titik temu. Tapi, kalau gaya Erdogan masih “arogan” tentu mempersulit dialog. Di sisi lain Gul masih banyak diharapkan dapat mendinginkan suasana.
Itu pun kalau protes belum telanjur meluas dan tak terkontrol. Apa pun yang terjadi peristiwa saat ini telah merevisi “model Turki” yang sempat populer di negara-negara “Arab Spring”. Model Turki tengah ditinjau kembali.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM Yogyakarta,
Tengah Menulis Disertasi tentang Politik Turki
Korban nyawa telah jatuh dan yang luka-luka “tak terhitung”. Tentu kita kaget, apakah yang sedang terjadi di sana? Bukankah Turki merupakan negeri fenomenal belakangan ini, ditandai dengan stabilitas-dinamis pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan melejit perekonomiannya? Media massa memberitakan sebab khusus yang memicu protes, terutama isu lingkungan.
Rencana penataan ulang Alun-alun Taksim dan Taman Gazi oleh pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan ditolak pemrotes karena mempersempit ruang terbuka hijau. Betapapun demikian di balik pemicu itu, terdapat akumulasi kekecewaan terhadap berbagai kebijakan Erdogan yang “membatasi kebebasan”. Banyak segmen yang merasa “terpinggirkan” bersatu menolak “otoriterisme Erdogan”.
Hampir semua kolumnis “propemerintah” maupun “prooposisi” di berbagai surat kabar Turki, terutama Todays Zaman dan Hurriyet Dailys News, kini sama-sama menyorot Erdogan. Dalam kalimat yang moderat mengemuka pesan agar Erdogan menurunkan tensi arogansi politiknya dan tampil lebih empati kepada kelompok-kelompok minoritas atau pemrotes. Erdogan diminta agar sekalem Presiden Abdullah Gul.
Kalimat yang lebih keras mengkritik Erdogan sudah berlagak seperti Sultan pada masa lalu dan menyalahgunakan legitimasi demokrasi elektoral untuk memaksakan kebijakan-kebi-jakannya yang tidak populis. Gaya Erdogan jauh dari perspektif demokrasi deliberasi. Betapapun isu ideologis tidak bisa terpinggirkan dari fenomena politik Turki antara “Islam” versus “Sekuler”, tetapi berbagai ulasan menggiringnya ke persoalan demokrasi dan “kebebasan”.
Sejauh ini kasus protes dan penanganannya yang “keras” di Turki itu belum mengarah pada kesimpulan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Bagaimanapun Turki masih merupakan model negara muslim demokratis sebagaimana juga Indonesia. Apa yang terjadi di Turki merupakan aksi-reaksi yang bisa muncul di negaranegara demokrasi lain, betapapun “model Turki” tengah dalam ujian.
Betapapun kontroversialnya, Erdogan adalah tokoh yang fenomenal, bahkan ia sering disebut sebagai tokoh besar pasca-Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki. Majalah Time pernah menyorotnya secara khusus (edisi 28 November 2011) bahwa ia dan partainya (AKP) telah mampu membawa Turki dari kondisi ekonomi terpuruk pada 2001 menjadi sangat melejit. Produk domestik bruto (PDB) per kapita Turki naik 288%, dari USD3.492 (2002) menjadi USD10.079 (2010).
Karena itu, banyak yang merasa heran ketika Turki belum diterima juga sebagai anggota penuh Uni Eropa. Erdogan pernah menulis kolom di Newsweek (edisi 17 Januari 2011), “The Robust Man in Europe”. Dari judulnya saja, ia seperti hendak menyampaikan pesan, Turki sekarang bukan negara yang pantas diolok-olok lagi sebagai “The Sick Man in Europe”, merujuk pada penggambaran Eropa pasca-Perang Dunia I.
Tetapi, kemajuan ekonomi ternyata tidak menjamin pemerintahan AKP aman dari gejolak politik. Kasus Turki sekarang bisa menjadi bahan studi tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kebebasan. Ketika “kebebasan” ditekan, betapapun pertumbuhan ekonomi pesat ternyata tidak menjamin stabilitas. Dalam kasus Turki, di balik isu kebebasan, isu ideologis juga tak lepas. Pascarevolusi Kemalis, pembelahan politik Turki sering disederhanakan ke dalam konflik tradisional “sekuler” dan Islam (Sunni). Yang satu ditopang oleh partai-partai sekuler, minoritas Alevi, dan militer.
Yang satunya saat ini lebih merujuk kepada AKP, betapapun ia menolak dikatakan merepresentasikan kekuatan “Islamis”, kecuali “demokrat- konservatif”. AKP meraup dukungan politik populer sangat tinggi. Ia menang berturut- turut pada Pemilu 2002, 2007, dan 2011 (49,7% suara). Variasi pembelahan politik lain adalah kelas menengah perkotaan (urban) yang “sekuler” versus borjuis saleh di “perdesaan” (rural), yang disimbolisasikan “Istanbul” versus pusat-pusat pertumbuhan atau “macanmacan” Anatolia yang ditopang kalangan muslim konservatif.
Kekuatan “demokrat- konservatif” AKP didukung atau merepresentasikan yang “rural” dan “muslim-konservatif” itu. Kemenangannya bukan saja menandai babak baru sejarah politik, melainkan juga sejarah demarginalisasi “muslim” Turki yang sejak 1923 di bawah bayang-bayang regulasi dan dominasi politik kaum sekuler. Secara kualitatif, dukungan yang besar kepada AKP dan Erdogan dalam pemilu tampaknya menyisakan pula emosi politik atas riwayat “ketertindasan politik” mereka sebelumnya.
Isu “ideologi politik” masih demikian sensitif di Turki. Karena itu, ketika banyak kebijakan yang dinilai beraroma “reislamisasi”, kubu sekuler meradang. Selama ini secara politik kaum sekuler dilindungi militer. Kini ketika militer “dikembalikan ke barak” oleh Erdogan dengan memanfaatkan Uni Eropa, mereka nyaris tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali melakukan internasionalisasi isu “otoriterisme Erdogan”.
Ini menguat pada babak kedua pemerintahan AKP, terutama setelah Gul terpilih sebagai presiden, dan penyelidikan-penyelidikan kasus Ergenekon dan Balyoz, dua kasus subversi kontroversial dilakukan. Yang mengemuka, isu kebebasan pers, di mana sering didengungkan di Turki jumlah wartawan yang dipenjara lebih banyak ketimbang China. Tentu saja Erdogan menolak isu itu, betapapun yang berkembang kemudian justru tidak saja isu ketidakbebasan pers, tapi “kebebasan” itu sendiri.
Pembatasan penjualan alkohol dan pelarangan “berciuman di depan umum” dipandang sebagai ihwal yang bertolak belakang dengan “kebebasan” dan nilai-nilai sekuler Ataturk. Uniknya, Erdogan juga aktif mempromosikan sekularisme ke negara-negara “Arab Spring”, betapapun sekularisme versi Erdogan lain dengan versi awal Ataturk. Versi sekularisme yang telah direvisi inilah yang rupa-rupanya ditolak keras oleh pemrotes.
Yang dikhawatirkan dari drama politik kolosal Turki saat ini adalah manakala protes antipemerintah dan kemudian diikuti aksi propemerintah bertumbukan lebih keras. Demokrasi yang elegan di “dalam ruangan” atau parlemen tentu akan kalah pamor dibanding mobokrasi di jalanan. Dalam situasi yang mengarah ke kekhawatiran benturan keras itu, militer yang selama ini “diam” bisa jadi akan dengan terpaksa turun tangan.
Militer Turki sesungguhnya tampak “trauma” dengan politik, terutama di era Erdogan ini, ketika banyak jenderal diadili dan dijatuhi vonis pengadilan akibat kasus-kasus subversi. Tetapi, melihat sejarah politiknya, kudeta militer telah menjadi semacam tradisi tersendiri. Sejak era multipartai 1946, kudeta militer meletus pada 1960, 1971, 1980, dan 1997, betapapun 1971 dan 1997 tanpa pertumpahan darah.
Tapi, kalaupun militer turun tangan, tampaknya lebih banyak mudaratnya karena pergeseran politik yang radikal akan terjadi dan bisa berpengaruh ke kondisi ekonomi Turki yang sedang baik-baiknya. Dialog tentu jalan utama, betapapun susahnya mencari titik temu. Tapi, kalau gaya Erdogan masih “arogan” tentu mempersulit dialog. Di sisi lain Gul masih banyak diharapkan dapat mendinginkan suasana.
Itu pun kalau protes belum telanjur meluas dan tak terkontrol. Apa pun yang terjadi peristiwa saat ini telah merevisi “model Turki” yang sempat populer di negara-negara “Arab Spring”. Model Turki tengah ditinjau kembali.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM Yogyakarta,
Tengah Menulis Disertasi tentang Politik Turki
(hyk)