Islam dan media barat
A
A
A
Media Barat memiliki peran yang sangat penting dalam mewarnai gambaran (image) Islam di mata publik Barat pada umumnya. Media Barat juga menjadi salah satu faktor penentu keharmonisan hubungan Islam dan Barat pada masa mendatang.
Jika media Barat menggambarkan Islam secara positif dan berimbang, masa depan hubungan ini menjadi harmonis. Sebaliknya, jika gambaran itu negatif dan tidak objektif, masa depan hubungan Islam dan Barat menjadi semakin buruk. Lalu bagaimana sesungguhnya gambaran media-media Barat terhadap Islam dewasa ini?
Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World?, almarhum Edward W Said (1981) secara tepat menggambarkan bagaimana media dan sarjana Barat melihat Islam dan umat Islam. Menurut Said, Islam bagi sebagian besar masyarakat Eropa dan Amerika adalah berita (news), terutama tentang sesuatu yang tidak menyenangkan.
Gambaran negatif Islam ini sama sekali tidak terkait Islam itu sendiri, tapi juga terkait dengan sektor utama tertentu yang memiliki kekuasaan (the power) dan kehendak (the will) untuk mewartakan gambaran Islam yang negatif. Di tangan mereka inilah gambaran negatif Islam menjadi lebih hadir dan tampak jelas dimata publik Barat dibanding isu-isu yang lain. Gambaran media Barat terhadap Islam ini hampir tak ada pergeseran yang berarti sejak ditulisnya buku Edward Said ini tiga puluh dua tahun lalu.
Gambaran negatif dan stereotip terhadap Islam tetap saja mewarnai pemberitaan media-media terkemuka di Barat. Riset yang dilakukan di UK sebelum peristiwa 9/11 menunjukkan, secara umum media-media UK menggambarkan umat Islam secara negatif. Islam selalu dihadirkan sebagai ancaman tidak saja bagi masyarakat Inggris, tapi juga bagi norma-norma kemasyarakatan mereka (Elizabeth Poole, 2002).
Gambaran negatif media Barat terhadap Islam ini semakin masif, terutama pascaserangan teroris 9/11dan bom London 2005. Pemberitaan muslim di media Barat banyak didominasi oleh berita-berita seputar isu keamanan (security) dan terorisme. (Open Society Institute, 2010). Sampai hari ini, sebutan Islamic terrorist bahkan masih terus dipakai media-media terkemuka di Barat seperti BBC dan Foxnews.
Tentu saja, mediamedia Barat ini hampir tidak pernah menyebut Jewish terrorist, Catholic terrorist, atau Hindudan Buddhist terrorist. Selain itu, media-media Barat juga kerap memopulerkan sebutan Islamic bomb, tapi hampir tidak pernah menggunakan istilah Christian bomb, Jewish bomb, Hindu bomb, atau Confucian bomb dalam pemberitaan mereka. Pemberian label negatif ini dilakukan untuk semakin mencitrakan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan.
Perlu Keseimbangan
Memang harus diakui terdapat beberapa kelompok Islam tertentu yang menempuh jalan kekerasan dan mencari pembenarannya secara salah di dalam ajaran agama mereka. Namun, terdapat juga kelompok Kristen di Amerika, Katolik di Irlandia, Yahudi di Israel, Hindu di India, dan Buddha di Burma yang menempuh jalan kekerasan yang sama untuk mencapai tujuan mereka.
Tentu saja kekerasan yang dilakukan sekelompok kecil agama-agama ini tidak dengan sendirinya mencerminkan karakter keras agama-agama itu. Bukankah semua agama selalu membawa pesan perdamaian antarsesama manusia. Akibat dominannya wacana Islamic terrorist, mediamedia arus utama di Barat gagal menampilkan mayoritas muslim di seluruh dunia yang hidup secara sederhana dan damai tanpa menempuh jalan kekerasan.
Tidak sedikit dari mereka bahkan menginginkan menjadi muslim yang baik dengan menjalankan secara sempurna ajaran agamanya. Mayoritas muslim ini memahami sepenuhnya bahwa agama mereka memerintahkan untuk mengajarkan dan mempraktikkan hidup damai dengan pemeluk agama lain. Media-media Barat justru lebih tertarik memberitakan perlakuan yang salah terhadap minoritas nonmuslim yang dilakukan pemerintahan muslim di tempat lain.
Sebaliknya, mereka justru gagal mewartakan toleransi umat Islam di Indonesia. Sekalipun mayoritas, muslim di Indonesia tidak pernah memaksakan Islam sebagai dasar negara dan lebih memilih dasar negara sekuler Pancasila. Memang kita juga tidak menutup mata, sebagian mediamedia muslim juga menggambarkan peradaban Barat secara tidak akurat. Mereka kerap mengesankan Barat sepenuhnya sebagai musuh Islam dan pemeluknya.
Media muslim ini tak pernah berusaha membedakan prilaku elite politik Barat dengan warga negara Barat biasa. Mereka juga tidak membedakan hegemoni elite politik Washington dengan pemimpin masyarakat Eropa lain. Media muslim kerap menggambarkan peradaban Barat sebagai peradaban yang dekaden secara moral dan arogan.
Gambaran seperti ini tentu saja hanya akan memantik api kebencian di kalangan umat Islam terhadap Barat ketika pada saat yang sama terjadi kemarahan umat Islam terhadap hegemoni Washington yang berkolusi dengan Israel untuk melakukan pendudukan wilayah negara Palestina. Selain itu, media muslim juga hampir tidak pernah secara serius mendidik masyarakat muslim dengan mewartakan aspekaspek positif peradaban Barat.
Praktik-praktik seperti good governance, akuntabilitas publik, independensi lembaga peradilan, dan kesamaan di depan hukum merupakan praktik positif peradaban Barat yang perlu ditiru oleh masyarakat muslim. Jika media muslim gagal mewartakan praktik positif, ini semata karena kepentingan elite penguasa muslim yang takut kehilangan kekuasaannya. Lalu apa yang harus dilakukan media untuk membangun sebuah peradaban dunia yang damai.
Dalam kaitan ini mediamedia Barat dan muslim harus jujur dan berimbang mewartakan kelebihan dan kekurangan masing-masing peradaban. Peradaban Islam dan Barat juga memiliki kesamaan sekaligus perbedaan masing-masing. Jika media gagal memahami persamaan kedua peradaban, media juga tidak mengalami kemajuan untuk memahami perbedaan antar kedua peradaban.
Media Barat semestinya lantang mengecam segala bentuk hegemoni global dan bentuk neoimprealisme Barat terhadap kedaulatan wilayah negara lain. Sebuah dialog antarperadaban tidak akan terjadi jika salah satu peserta dialog memosisikan diri secara hegemonik terhadap partner dialog mereka.
Hal yang sama, media muslim juga harus berani menentang segala bentuk ketidakadilan dan represi yang dilakukan penguasa muslim otoriter yang menghalangi dialog antarperadaban. Sudah waktunya media mengubah orientasi dan perilaku mereka. Kecenderungan semua media untuk menyorot berita-berita yang sensasional mesti ditinggalkan jika tidak dikurangi.
Barangkali mereka perlu lebih memprioritaskan upaya-upaya perdamaian di tingkat akar rumput dan kerja intelektual untuk membangun pemahaman dan empati antar budaya, agama, dan peradaban. Hanya dengan cara ini media dapat berperan dalam membangun sebuah peradaban dunia yang damai.
Jika media Barat menggambarkan Islam secara positif dan berimbang, masa depan hubungan ini menjadi harmonis. Sebaliknya, jika gambaran itu negatif dan tidak objektif, masa depan hubungan Islam dan Barat menjadi semakin buruk. Lalu bagaimana sesungguhnya gambaran media-media Barat terhadap Islam dewasa ini?
Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World?, almarhum Edward W Said (1981) secara tepat menggambarkan bagaimana media dan sarjana Barat melihat Islam dan umat Islam. Menurut Said, Islam bagi sebagian besar masyarakat Eropa dan Amerika adalah berita (news), terutama tentang sesuatu yang tidak menyenangkan.
Gambaran negatif Islam ini sama sekali tidak terkait Islam itu sendiri, tapi juga terkait dengan sektor utama tertentu yang memiliki kekuasaan (the power) dan kehendak (the will) untuk mewartakan gambaran Islam yang negatif. Di tangan mereka inilah gambaran negatif Islam menjadi lebih hadir dan tampak jelas dimata publik Barat dibanding isu-isu yang lain. Gambaran media Barat terhadap Islam ini hampir tak ada pergeseran yang berarti sejak ditulisnya buku Edward Said ini tiga puluh dua tahun lalu.
Gambaran negatif dan stereotip terhadap Islam tetap saja mewarnai pemberitaan media-media terkemuka di Barat. Riset yang dilakukan di UK sebelum peristiwa 9/11 menunjukkan, secara umum media-media UK menggambarkan umat Islam secara negatif. Islam selalu dihadirkan sebagai ancaman tidak saja bagi masyarakat Inggris, tapi juga bagi norma-norma kemasyarakatan mereka (Elizabeth Poole, 2002).
Gambaran negatif media Barat terhadap Islam ini semakin masif, terutama pascaserangan teroris 9/11dan bom London 2005. Pemberitaan muslim di media Barat banyak didominasi oleh berita-berita seputar isu keamanan (security) dan terorisme. (Open Society Institute, 2010). Sampai hari ini, sebutan Islamic terrorist bahkan masih terus dipakai media-media terkemuka di Barat seperti BBC dan Foxnews.
Tentu saja, mediamedia Barat ini hampir tidak pernah menyebut Jewish terrorist, Catholic terrorist, atau Hindudan Buddhist terrorist. Selain itu, media-media Barat juga kerap memopulerkan sebutan Islamic bomb, tapi hampir tidak pernah menggunakan istilah Christian bomb, Jewish bomb, Hindu bomb, atau Confucian bomb dalam pemberitaan mereka. Pemberian label negatif ini dilakukan untuk semakin mencitrakan bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan.
Perlu Keseimbangan
Memang harus diakui terdapat beberapa kelompok Islam tertentu yang menempuh jalan kekerasan dan mencari pembenarannya secara salah di dalam ajaran agama mereka. Namun, terdapat juga kelompok Kristen di Amerika, Katolik di Irlandia, Yahudi di Israel, Hindu di India, dan Buddha di Burma yang menempuh jalan kekerasan yang sama untuk mencapai tujuan mereka.
Tentu saja kekerasan yang dilakukan sekelompok kecil agama-agama ini tidak dengan sendirinya mencerminkan karakter keras agama-agama itu. Bukankah semua agama selalu membawa pesan perdamaian antarsesama manusia. Akibat dominannya wacana Islamic terrorist, mediamedia arus utama di Barat gagal menampilkan mayoritas muslim di seluruh dunia yang hidup secara sederhana dan damai tanpa menempuh jalan kekerasan.
Tidak sedikit dari mereka bahkan menginginkan menjadi muslim yang baik dengan menjalankan secara sempurna ajaran agamanya. Mayoritas muslim ini memahami sepenuhnya bahwa agama mereka memerintahkan untuk mengajarkan dan mempraktikkan hidup damai dengan pemeluk agama lain. Media-media Barat justru lebih tertarik memberitakan perlakuan yang salah terhadap minoritas nonmuslim yang dilakukan pemerintahan muslim di tempat lain.
Sebaliknya, mereka justru gagal mewartakan toleransi umat Islam di Indonesia. Sekalipun mayoritas, muslim di Indonesia tidak pernah memaksakan Islam sebagai dasar negara dan lebih memilih dasar negara sekuler Pancasila. Memang kita juga tidak menutup mata, sebagian mediamedia muslim juga menggambarkan peradaban Barat secara tidak akurat. Mereka kerap mengesankan Barat sepenuhnya sebagai musuh Islam dan pemeluknya.
Media muslim ini tak pernah berusaha membedakan prilaku elite politik Barat dengan warga negara Barat biasa. Mereka juga tidak membedakan hegemoni elite politik Washington dengan pemimpin masyarakat Eropa lain. Media muslim kerap menggambarkan peradaban Barat sebagai peradaban yang dekaden secara moral dan arogan.
Gambaran seperti ini tentu saja hanya akan memantik api kebencian di kalangan umat Islam terhadap Barat ketika pada saat yang sama terjadi kemarahan umat Islam terhadap hegemoni Washington yang berkolusi dengan Israel untuk melakukan pendudukan wilayah negara Palestina. Selain itu, media muslim juga hampir tidak pernah secara serius mendidik masyarakat muslim dengan mewartakan aspekaspek positif peradaban Barat.
Praktik-praktik seperti good governance, akuntabilitas publik, independensi lembaga peradilan, dan kesamaan di depan hukum merupakan praktik positif peradaban Barat yang perlu ditiru oleh masyarakat muslim. Jika media muslim gagal mewartakan praktik positif, ini semata karena kepentingan elite penguasa muslim yang takut kehilangan kekuasaannya. Lalu apa yang harus dilakukan media untuk membangun sebuah peradaban dunia yang damai.
Dalam kaitan ini mediamedia Barat dan muslim harus jujur dan berimbang mewartakan kelebihan dan kekurangan masing-masing peradaban. Peradaban Islam dan Barat juga memiliki kesamaan sekaligus perbedaan masing-masing. Jika media gagal memahami persamaan kedua peradaban, media juga tidak mengalami kemajuan untuk memahami perbedaan antar kedua peradaban.
Media Barat semestinya lantang mengecam segala bentuk hegemoni global dan bentuk neoimprealisme Barat terhadap kedaulatan wilayah negara lain. Sebuah dialog antarperadaban tidak akan terjadi jika salah satu peserta dialog memosisikan diri secara hegemonik terhadap partner dialog mereka.
Hal yang sama, media muslim juga harus berani menentang segala bentuk ketidakadilan dan represi yang dilakukan penguasa muslim otoriter yang menghalangi dialog antarperadaban. Sudah waktunya media mengubah orientasi dan perilaku mereka. Kecenderungan semua media untuk menyorot berita-berita yang sensasional mesti ditinggalkan jika tidak dikurangi.
Barangkali mereka perlu lebih memprioritaskan upaya-upaya perdamaian di tingkat akar rumput dan kerja intelektual untuk membangun pemahaman dan empati antar budaya, agama, dan peradaban. Hanya dengan cara ini media dapat berperan dalam membangun sebuah peradaban dunia yang damai.
(hyk)