Amuk massa pilkada

Rabu, 05 Juni 2013 - 09:25 WIB
Amuk massa pilkada
Amuk massa pilkada
A A A
Hasil Pilkada Kota Palembang berakhir ricuh. Massa yang tidak menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pilkada Palembang membakar toko elektronik di Palembang dan sempat membuat kota tersebut mencekam.

Peristiwa ini menunjukkan potret buram pelaksanaan demokrasi di Tanah Air. Berbagai persoalan yang menjadi ekor dari pelaksanaan pilkada membuat beberapa pihak memikir kembali pentingnya pilkada. Rusuh hingga amuk massa memang acapkali terjadi dalam merespons hasil pilkada. Catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan, 50 orang meninggal akibat rusuh pilkada antara 2005 hingga Mei 2013.

Sebelum di Palembang, di Palopo pada April 2013 juga terjadi amuk massa. Mereka membakar beberapa gedung di daerah tersebut. Penyebab rusuh massa dari pilkada adalah pendukung salah satu calon tidak menerima keputusan hasil pilkada. Selain rusuh dan amuk massa, kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah pun sering disangkutpautkan dengan pilkada.

Kemendagri juga mencatat sejak 2004 hingga Februari 2013 para kepala daerah yang terlibat kasus korupsi mencapai 70% atau 291 kepala daerah dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Perinciannya, 21 gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, dan 20 wakil wali kota. Data tersebut juga menyebutkan 1.221 nama pegawai pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi.

Penyebab tindak pidana korupsi tersebut diduga karena ongkos kampanye yang sangat besar. Ketika sang calon kepala daerah menang pilkada, mereka harus mencari balik modal atau bahkan mencari lebih untuk memperkaya diri. Besarnya biaya pilkada seorang calon memang sulit ditutup oleh gaji seorang kepala daerah.

Dugaan ini masuk akal jika melihat biaya kampanye pilkada di tingkat kabupaten dan kota mencapai puluhan miliar, sedangkan tingkat gubernur bisa mencapai ratusan miliar. Biaya yang mencengangkan tersebut akhirnya memunculkan wacana pembatasan biaya kampanye. Amuk massa dan korupsi memang belum bisa menjauh dari pilkada. Akibatnya, banyak yang menyebut proses demokrasi justru menghasilkan tindakan anarkistis dan korupsi.

Wacana untuk mengembalikan cara pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti era Orde Baru (Orba) kembali mencuat. Alasan si pelempar wacana tentu tak jauh dari rusuh dan korupsi. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD dianggap akan jauh dari amuk massa dan korupsi. Cara ini juga lebih menghemat biaya pelaksanaan pilkada sehingga uang negara bisa dihemat.

Namun, banyak pihak yang menentang cara pemilihan kepala daerah kembali melalui DPRD karena cara tersebut dianggap sebagai degradasi kadar demokrasi di Tanah Air. Amuk massa atau rusuh dan korupsi memang menjadi catatan hitam pilkada. Namun, menghapuskan pilkada karena dua alasan tersebut memang tidak sepenuhnya benar. Tidak ada jaminan penuh bahwa cara kepala daerah dipilih oleh DPRD akan menghilangkan amuk massa dan korupsi.

Dua hal tersebut lebih disebabkan oleh tingkah laku atau perilaku dari stakeholder pilkada yang tidak cerdas dalam merespons proses demokrasi ini. Para calon yang kalah seharusnya lebih legawa dalam menerima kekalahan dan si pemenang harus benar-benar amanah terhadap tugas sebagai kepala daerah. Pemerintah semestinya lebih mematangkan aturan atau regulasi yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pilkada.

Pembatasan dana kampanye, pilkada serentak, hingga kepastian hukum dari hasil pilkada bisa menjadi wacana yang lebih baik didiskusikan tanpa mendegradasi demokrasi di Tanah Air. Pemerintah juga terus melakukan kampanye tentang bagaimana menerima sebuah kekalahan.

Para kandidat harus bisa mengukur diri, baik dana kampanye maupun kapabilitasnya, saat mengikut pilkada. Jika itu dilakukan, amuk massa seperti di Palembang bisa dihindari.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6808 seconds (0.1#10.140)