Pelajaran dari UN 2013
A
A
A
Ujian Nasional (UN) 2013 untuk semua jenjang memang belum berakhir. Tetapi, pelaksanaan UN tingkat SMA/sederajat sudah berakhir dengan kekecewaan dari berbagai pihak.
Apalagi jika bukan penundaan pelaksanaan ujian di 11 provinsi gara-gara ketidakmampuan percetakan dalam menyiapkan bahan ujian. Permasalahan tersebut utamanya karena distribusi soal UN terlambat.
Tak hanya itu, UN di daerah lainnya juga kacau karena sejumlah masalah seperti paket soal kurang, tertukar, atau tidak lengkap sehingga panitia lokal harus melakukan langkahlangkah seperti menggandakan soal sendiri.
Di beberapa daerah di Kalimantan Timur bahkan terpaksa harus menunda UN untuk kedua kalinya karena belum siapnya naskah UN. Dalam sejarah UN, UN 2013 adalah penyelenggaraan UN terburuk dari segi manajemen.
Kekecewaan ini terasa juga hingga istana presiden. Presiden SBY terpaksa memanggil untuk mendapatkan penjelasan mengenai amburadulnya manajemen pelaksanaan UN 2013. Kacaunya pelaksanaan UN tak pelak menjadi isu nasional yang diperbincangkan berbagai kalangan.
Publik mengecam ketidakmampuan Kemendikbud sebagai otoritas tertinggi pelaksanaan UN. Di tingkat teknis, percetakan memang bertanggung jawab dalam produksi bahan ujian. Tapi, dalam perspektif kebijakan publik, Kemendikbud merupakan pihak pertama yang harus bertanggung jawab dalam penyelenggaraan UN.
Akibat dari penundaan UN ini, siswa semakin stres berkepanjangan. Sementara pelaksanaan UN yang tertunda di beberapa provinsi tersebut juga terancam akan tertunda karena belum jelasnya manajemen produksi bahan ujian tersebut.
Beban psikologis dan mungkin juga beban ekonomi akan lebih dirasakan oleh murid dan orang tua. Banyak siswa yang sangat stres akibat penundaan UN. Mereka bahkan mengalami depresi karena terjadi penundaan yang dua kali lebih lama di beberapa daerah. Mereka merasa sudah siap menghadapi ujian. Sayang, kesiapan mental mereka dihancurkan dengan masalah teknis naskah UN.
Manajemen buruk
Mendikbud mengakui UN tahun ini lebih buruk penyelenggaraannya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ironisnya, dalam beberapa pernyataannya, Mendikbud merasa kecolongan dengan percetakan yang berhasil memenangkan tender dalam penggandaan bahan ujian tersebut.
Kecolongan yang dimaksud adalah Mendikbud merasa semua urusan teknis sebelum UN berlangsung dianggap lancar dan selesai. Semua percetakan termasuk anak buah Mendikbud melaporkan persiapan urusan UN lancar dan tanpa hambatan.
Faktanya, empat hari sebelum UN berlangsung, Mendikbud menjumpai ketidaksiapan percetakan dalam tanggung jawabnya sebagai pihak yang memperbanyak dan mendistribusikan bahan ujian.
Hingga akhirnya diambil keputusan untuk menunda ujian di 11 provinsi. Berbagai laporan yang diterima Mendikbud menunjukkan masih dilakukannya laporan “asal bapak senang”. Semua yang dilaporkan kepada Mendikbud adalah positif, yang baik-baik saja dan semuanya lancar.
Faktanya di lapangan berantakan. Tidak ada mekanisme kontrol dan Mendikbud tidak melakukan kontrol lebih jauh di lapangan. Fakta ini sangat ironis karena institusi pemerintah selevel Kemendikbud dengan kemampuan sumber daya manusia yang luar biasa kecolongan dan gagap dalam mengelola hal teknis yang semestinya bisa diselesaikan di tataran level praktis.
Bukan lagi di level menteri apalagi presiden. Tentu saja, amburadulnya pelaksanaan UN ini sangat mencoreng wajah Kemendikbud. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, ada konsep yang disebut New Public Management (NPM) sebagai manifestasi reformasi dalam praktik pendidikan global.
NPM memiliki karakteristik dalam penguatan kepemimpinan organisasi pendidikan, level strategi dan kebijakan (Tolofari, 2005). Dalam bagian lain isu NPM juga menempatkan organisasi pendidikan berada pada ranah birokrasi yang efektif, efisien, dan berbasiskan kualitas.
Paradigma NPM sudah lama diterapkan berbagai negara sejak akhir 1980-an. Ada kesadaran kolektif di tingkat global dalam modernisasi organisasi pendidikan sebagai sebuah keniscayaan.
Mengacu pada kesadaran global, rasanya sebuah kemunduran jika Indonesia masih berkutat dengan urusan teknis yang mencederai orientasi kualitas pendidikan. Ibarat jauh panggang dari api, Indonesia masih belum tersentuh dengan prinsip NPM di level otoritas pendidikan. Kita tertinggal jauh dibandingkan negeri jiran yang sudah jauh melangkah melaksanakan prinsip-prinsip NPM sebagai bentuk reformasi pendidikan.
Evaluasi total
Tidak dimungkiri jika UN masih menjadi kotak hitam yang sarat masalah. Kritik keras melalui penolakan terhadap UN terus berdatangan tanpa henti dari berbagai kalangan. Mulai dari filosofi UN yang kontraproduktif dengan tujuan pemetaan kualitas hingga urusan legal yuridis yang menjadi titik poin kritik tersebut.
Praktik kecurangan juga masih mendominasi pelaksanaan UN di berbagai daerah. Justru ketakutan praktik kecurangan adalah satu hal yang menjadi perhatian publik. Tiba-tiba kita dikejutkan dengan distribusi bahan ujian yang bermasalah.
Bukannya Kemendikbud menyelesaikan dan mengurangi masalah, malah menambah daftar masalah baru yang menjadikan urusan pendidikan di negeri ini semakin berantakan. Hal ini memang ironis. UN masih tersandera dengan berbagai problem yang berada dalam lingkungan kita.
Di satu sisi, anggaran UN terus dikeluarkan dengan logika peningkatan kualitas pendidikan di seluruh daerah, tetapi di sisi lain kita juga masih belum melihat perubahan signifikan. Pelaksanaan UN 2013 juga menambah inventarisasi masalah yang dihadapi Kemendikbud di bawah kepemimpinan Mendikbud M Nuh.
Sebelumnya pelaksanaan ujian kompetensi guru (UKG) juga berantakan di berbagai daerah karena masalah teknis yaitu jaringan komunikasi/ teknologi informasi akibat ujian bersifat online. Inti masalah ini hampir sama dengan pelaksanaan UN yaitu masalah teknis lapangan.
Lagi-lagi, sebenarnya urusan ini bisa diselesaikan di lapangan karena anggaran dana yang dimiliki Kemendikbud sangat berlimpah. Selain itu, Kemendikbud juga dikalahkan dalam uji materi RSBI di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kekalahan ini menunjukkan rapuhnya basis argumentasi hukum yang dibangun Kemendikbud. Sebelum UN berlangsung, Kemendikbud juga tengah disorot dalam pelaksanaan kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan mulai Tahun Pelajaran 2013/2014.
Sebagian besar publik menolak pelaksanaan kurikulum 2013 yang cenderung dipaksakan tanpa melihat kesiapan guru di lapangan. Melihat beberapa fakta tersebut, apa yang bisa kita jelaskan? Pertama, pendidikan kita masih dihadapkan dengan urusan teknis.
Kita masih terlalu jauh berharap kualitas jika kita tak bisa menyelesaikan berbagai urusan teknis.Ini bukan hanya jalan di tempat, tapi mencerminkan kemunduran dalam manajemen pendidikan. Negara- negara lain sudah jauh melangkah dibandingkan kita.
Mereka sudah fokus dengan strategi peningkatan kualitas. Kedua,kita dihadapkan pada masalah serius manajemen pendidikan yang masih berantakan dalam level otoritas tertinggi pengambil kebijakan. Manajemen adalah prinsip penting dalam praktik pendidikan di sebuah negara. Berbagai masalah pendidikan yang dihadapi Kemendikbud mencerminkan bahwa kita menghadapi masalah darurat dalam manajemen.
Yang harus dilakukan mendesak Kemendikbud adalah melakukan evaluasi total penyelenggaraan UN dengan melibatkan berbagai pihak. Hal yang mendesak juga adalah melakukan audit keuangan baik di Kemendikbud maupun di percetakan yang terlibat dalam penyelenggaraan UN.
UN dilakukan dengan biaya yang besar. Potensi korupsi sangat terbuka lebar. Tidak salah jika lembaga KPK bisa melakukan pemeriksaan terhadap manajemen penyelenggara UN agar bisa dipertanggungjawabkan kepada publik uang rakyat tersebut.
Semua pihak harus duduk bersama menyelesaikan masalah ini dengan penuh tanggung jawab agar tidak terulang di kemudian hari. Penundaan UN sangat mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Di level Kemendikbud, melakukan penguatan dan revitalisasi manajemen berbasiskan kontrol dan kualitas menjadi keniscayaan yang harus dilakukan. Cukup satu kali peristiwa ini terjadi.
“Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.” Pepatah ini tentu sudah akrab sekali di telinga kita. Kemendikbud seharusnya mengambil hikmah dari kesalahan yang sudah terjadi tersebut.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) &
Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2 France
Apalagi jika bukan penundaan pelaksanaan ujian di 11 provinsi gara-gara ketidakmampuan percetakan dalam menyiapkan bahan ujian. Permasalahan tersebut utamanya karena distribusi soal UN terlambat.
Tak hanya itu, UN di daerah lainnya juga kacau karena sejumlah masalah seperti paket soal kurang, tertukar, atau tidak lengkap sehingga panitia lokal harus melakukan langkahlangkah seperti menggandakan soal sendiri.
Di beberapa daerah di Kalimantan Timur bahkan terpaksa harus menunda UN untuk kedua kalinya karena belum siapnya naskah UN. Dalam sejarah UN, UN 2013 adalah penyelenggaraan UN terburuk dari segi manajemen.
Kekecewaan ini terasa juga hingga istana presiden. Presiden SBY terpaksa memanggil untuk mendapatkan penjelasan mengenai amburadulnya manajemen pelaksanaan UN 2013. Kacaunya pelaksanaan UN tak pelak menjadi isu nasional yang diperbincangkan berbagai kalangan.
Publik mengecam ketidakmampuan Kemendikbud sebagai otoritas tertinggi pelaksanaan UN. Di tingkat teknis, percetakan memang bertanggung jawab dalam produksi bahan ujian. Tapi, dalam perspektif kebijakan publik, Kemendikbud merupakan pihak pertama yang harus bertanggung jawab dalam penyelenggaraan UN.
Akibat dari penundaan UN ini, siswa semakin stres berkepanjangan. Sementara pelaksanaan UN yang tertunda di beberapa provinsi tersebut juga terancam akan tertunda karena belum jelasnya manajemen produksi bahan ujian tersebut.
Beban psikologis dan mungkin juga beban ekonomi akan lebih dirasakan oleh murid dan orang tua. Banyak siswa yang sangat stres akibat penundaan UN. Mereka bahkan mengalami depresi karena terjadi penundaan yang dua kali lebih lama di beberapa daerah. Mereka merasa sudah siap menghadapi ujian. Sayang, kesiapan mental mereka dihancurkan dengan masalah teknis naskah UN.
Manajemen buruk
Mendikbud mengakui UN tahun ini lebih buruk penyelenggaraannya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ironisnya, dalam beberapa pernyataannya, Mendikbud merasa kecolongan dengan percetakan yang berhasil memenangkan tender dalam penggandaan bahan ujian tersebut.
Kecolongan yang dimaksud adalah Mendikbud merasa semua urusan teknis sebelum UN berlangsung dianggap lancar dan selesai. Semua percetakan termasuk anak buah Mendikbud melaporkan persiapan urusan UN lancar dan tanpa hambatan.
Faktanya, empat hari sebelum UN berlangsung, Mendikbud menjumpai ketidaksiapan percetakan dalam tanggung jawabnya sebagai pihak yang memperbanyak dan mendistribusikan bahan ujian.
Hingga akhirnya diambil keputusan untuk menunda ujian di 11 provinsi. Berbagai laporan yang diterima Mendikbud menunjukkan masih dilakukannya laporan “asal bapak senang”. Semua yang dilaporkan kepada Mendikbud adalah positif, yang baik-baik saja dan semuanya lancar.
Faktanya di lapangan berantakan. Tidak ada mekanisme kontrol dan Mendikbud tidak melakukan kontrol lebih jauh di lapangan. Fakta ini sangat ironis karena institusi pemerintah selevel Kemendikbud dengan kemampuan sumber daya manusia yang luar biasa kecolongan dan gagap dalam mengelola hal teknis yang semestinya bisa diselesaikan di tataran level praktis.
Bukan lagi di level menteri apalagi presiden. Tentu saja, amburadulnya pelaksanaan UN ini sangat mencoreng wajah Kemendikbud. Dalam perspektif sosiologi pendidikan, ada konsep yang disebut New Public Management (NPM) sebagai manifestasi reformasi dalam praktik pendidikan global.
NPM memiliki karakteristik dalam penguatan kepemimpinan organisasi pendidikan, level strategi dan kebijakan (Tolofari, 2005). Dalam bagian lain isu NPM juga menempatkan organisasi pendidikan berada pada ranah birokrasi yang efektif, efisien, dan berbasiskan kualitas.
Paradigma NPM sudah lama diterapkan berbagai negara sejak akhir 1980-an. Ada kesadaran kolektif di tingkat global dalam modernisasi organisasi pendidikan sebagai sebuah keniscayaan.
Mengacu pada kesadaran global, rasanya sebuah kemunduran jika Indonesia masih berkutat dengan urusan teknis yang mencederai orientasi kualitas pendidikan. Ibarat jauh panggang dari api, Indonesia masih belum tersentuh dengan prinsip NPM di level otoritas pendidikan. Kita tertinggal jauh dibandingkan negeri jiran yang sudah jauh melangkah melaksanakan prinsip-prinsip NPM sebagai bentuk reformasi pendidikan.
Evaluasi total
Tidak dimungkiri jika UN masih menjadi kotak hitam yang sarat masalah. Kritik keras melalui penolakan terhadap UN terus berdatangan tanpa henti dari berbagai kalangan. Mulai dari filosofi UN yang kontraproduktif dengan tujuan pemetaan kualitas hingga urusan legal yuridis yang menjadi titik poin kritik tersebut.
Praktik kecurangan juga masih mendominasi pelaksanaan UN di berbagai daerah. Justru ketakutan praktik kecurangan adalah satu hal yang menjadi perhatian publik. Tiba-tiba kita dikejutkan dengan distribusi bahan ujian yang bermasalah.
Bukannya Kemendikbud menyelesaikan dan mengurangi masalah, malah menambah daftar masalah baru yang menjadikan urusan pendidikan di negeri ini semakin berantakan. Hal ini memang ironis. UN masih tersandera dengan berbagai problem yang berada dalam lingkungan kita.
Di satu sisi, anggaran UN terus dikeluarkan dengan logika peningkatan kualitas pendidikan di seluruh daerah, tetapi di sisi lain kita juga masih belum melihat perubahan signifikan. Pelaksanaan UN 2013 juga menambah inventarisasi masalah yang dihadapi Kemendikbud di bawah kepemimpinan Mendikbud M Nuh.
Sebelumnya pelaksanaan ujian kompetensi guru (UKG) juga berantakan di berbagai daerah karena masalah teknis yaitu jaringan komunikasi/ teknologi informasi akibat ujian bersifat online. Inti masalah ini hampir sama dengan pelaksanaan UN yaitu masalah teknis lapangan.
Lagi-lagi, sebenarnya urusan ini bisa diselesaikan di lapangan karena anggaran dana yang dimiliki Kemendikbud sangat berlimpah. Selain itu, Kemendikbud juga dikalahkan dalam uji materi RSBI di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kekalahan ini menunjukkan rapuhnya basis argumentasi hukum yang dibangun Kemendikbud. Sebelum UN berlangsung, Kemendikbud juga tengah disorot dalam pelaksanaan kurikulum 2013 yang akan dilaksanakan mulai Tahun Pelajaran 2013/2014.
Sebagian besar publik menolak pelaksanaan kurikulum 2013 yang cenderung dipaksakan tanpa melihat kesiapan guru di lapangan. Melihat beberapa fakta tersebut, apa yang bisa kita jelaskan? Pertama, pendidikan kita masih dihadapkan dengan urusan teknis.
Kita masih terlalu jauh berharap kualitas jika kita tak bisa menyelesaikan berbagai urusan teknis.Ini bukan hanya jalan di tempat, tapi mencerminkan kemunduran dalam manajemen pendidikan. Negara- negara lain sudah jauh melangkah dibandingkan kita.
Mereka sudah fokus dengan strategi peningkatan kualitas. Kedua,kita dihadapkan pada masalah serius manajemen pendidikan yang masih berantakan dalam level otoritas tertinggi pengambil kebijakan. Manajemen adalah prinsip penting dalam praktik pendidikan di sebuah negara. Berbagai masalah pendidikan yang dihadapi Kemendikbud mencerminkan bahwa kita menghadapi masalah darurat dalam manajemen.
Yang harus dilakukan mendesak Kemendikbud adalah melakukan evaluasi total penyelenggaraan UN dengan melibatkan berbagai pihak. Hal yang mendesak juga adalah melakukan audit keuangan baik di Kemendikbud maupun di percetakan yang terlibat dalam penyelenggaraan UN.
UN dilakukan dengan biaya yang besar. Potensi korupsi sangat terbuka lebar. Tidak salah jika lembaga KPK bisa melakukan pemeriksaan terhadap manajemen penyelenggara UN agar bisa dipertanggungjawabkan kepada publik uang rakyat tersebut.
Semua pihak harus duduk bersama menyelesaikan masalah ini dengan penuh tanggung jawab agar tidak terulang di kemudian hari. Penundaan UN sangat mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Di level Kemendikbud, melakukan penguatan dan revitalisasi manajemen berbasiskan kontrol dan kualitas menjadi keniscayaan yang harus dilakukan. Cukup satu kali peristiwa ini terjadi.
“Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.” Pepatah ini tentu sudah akrab sekali di telinga kita. Kemendikbud seharusnya mengambil hikmah dari kesalahan yang sudah terjadi tersebut.
RAKHMAT HIDAYAT
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) &
Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2 France
(maf)