Membumikan masyarakat ekonomi ASEAN
A
A
A
Perdebatan tentang kesiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 makin hangat bergulir. Namun, arah perdebatan seringkali tidak tepat bila hanya mempertanyakan apakah kita siap atau tidak.
Kenapa demikian? Paling tidak jawabnya ada pada bagaimana bangsa ini merespons dua hal. Pertama, kaburnya makna ideologi yang dipegang. Kedua, penguatan sikap mental.
Kaburnya Makna Ideologi
Pasca reformasi yang ditandai bergesernya otoritarianisme menuju kehidupan yang demokratis menghadapi salah satu tantangannya yaitu krisis ideologi yang dipegang secara formal. Pada masa Orde Baru (Orba) semua komponen bangsa bisa dengan cepat dan sigap bila ditanya ideologi apa yang diyakini dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jawabnya: Pancasila.
Paling tidak secara formal mereka bisa menjawab walaupun secara esensial praktik sehari-hari sudah menjurus kepada kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang. Setali tiga uang dengan yang dipraktikkan sekarang. Saat ini sepertinya ideologi negara semakin kehilangan makna hakiki dan formalnya. Hal ini berbahaya karena baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum tidak memiliki pegangan yang kokoh terhadap sistem nilai, ide, dan keyakinan yang menjiwai gerak langkah mereka.
Karena itu, bisa dipahami bila saat ini ada usaha keras untuk mengontekstualisasi Pancasila di tengah terjangan globalisasi. Salah satunya melalui aktivitas yang digalakkan MPR dengan kampanye empat pilar kebangsaan. Disadari atau tidak, ideologi yang semestinya menjiwai pilihan kebijakan yang diambil pemerintah sepertinya makin kabur. Padahal, sudah selayaknya pilihan-pilihan kebijakan publik memiliki rujukan dan pertimbangan filosofis yang kuat dan tegas.
Tentunya, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apalagi bila merujuk pada pemahaman hakiki ideologi Pancasila, sejatinya meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Kebijakan pemerintah yang diambil saat ini lebih banyak dipengaruhi pertimbangan liberalisme kapitalistik. Konsekuensinya, pihak yang lebih diuntungkan adalah para pemodal dan pengusaha besar yang dari sisi jumlah lebih sedikit, namun mayoritas bila dilihat dari penguasaan sentra-sentra ekonomi.
Sementara itu, kalangan pengusaha kecil dan menengah (UKM) selalu menjadi penonton dalam panggung ekonomi nasional apalagi regional ataupun global. Singkatnya, imbas globalisasi semakin menguatkan ekonomi liberalistik, lebih menguntungkan pengusaha besar dan makin memarginalkan UKM dan usaha-usaha rakyat banyak termasuk koperasi. Dengan demikian, dalam konteks MEA, akankah bangsa ini terus mengamini sistem ekonomi seperti ini atau memiliki alternatif lain termasuk memaknai kembali sistem ekonomi yang digali dari Bumi Pertiwi sendiri yaitu Pancasila.
Pilihannya kemudian bila kita berpandangan bahwa globalisasi beserta sistem ekonomi yang cenderung mengusung liberalisme pasar sebagai suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri lagi, mau tidak mau kita harus siap dan terus menatap MEA. Namun, bila kita punya pemikiran alternatif yang tegas, boleh jadi kita masih bisa bernegosiasi atau memanfaatkan MEA ini secara lebih cerdas.
Sikap Mental
Implementasi MEA 2015 tidak hanya persoalan para pelaku usaha, tetapi juga menyangkut sikap mental semua pemangku kepentingan. Bagi para pelaku usaha sudah tentu harus meninggalkan sifat cengeng dan selalu ingin bermanja-manja oleh kebijakan pemerintah. Peningkatan daya saing menjadi kata kunci. Daya saing dicapai dengan berani menjadi petarung yang tangguh secara internasional atau paling tidak di kancah regional Asia.
Tidak hanya berpuas diri menjadi raja kecil di negeri sendiri. Bagi para pembuat kebijakan baik eksekutif maupun pembuat undang-undang, keberpihakan terhadap ideologi negara menjadi sangat penting. Birokrat dan politisi merupakan penentu proses politik yang sudah barang tentu diperkuat dengan alat kelengkapan yang memiliki keahlian teknis berkait dengan substansi materi yang sedang dibahas. Bagi pemerintah, badan penelitian dan pengembangan dapat direvitalisasi untuk memberikan sumbangan secara lebih substantif. Sedangkan peran komunitas epistemik juga instrumental.
Di tengah kejumudan kehidupan politik dan hukum yang cenderung mementingkan kelompok tertentu, serakah, dan tak kenal malu mempertaruhkan harga diri; kalangan akademisi, peneliti, dan pemerhati masalah kemasyarakatan menjadi garda artikulasi hati nurani masyarakat. Lembaga pendidikan tinggi, pusat studi, dan lembaga penelitian harus bisa mengambil peran lebih asertif dan strategis. Mereka memang tidak boleh lagi semata-mata mengandalkan pendanaan penelitian dari pemerintah dalam bentuk proyek penelitian yang cen-derung ‘pesanan’.
Namun, mereka dapat bersinergi dalam kepentingan yang saling beririsan. Bagi kalangan intelektual, sinergi tersebut akan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk kalangan praktisi pengambil kebijakan, hasil penelitian yang dihasilkan akan semakin relevan bagi kebijakan. Kalangan masyarakat sipil maupun masyarakat pada umumnya perlu lebih cerewet menyikapi perkembangan yang terjadi. Kemajuan teknologi telah membuka lebar-lebar partisipasi dalam diskusi publik melalui media sosial dan berbagai laman.
Diskusi secara langsung dengan para pengambil kebijakan dan wakil rakyat/politisi secara lebih intensif pun dimungkinkan. Sebagian besar dari mereka memiliki akun media sosial dan sangat aktif memperdebatkan berbagai masalah di ranah publik. Semestinya dengan sikap mental para pemangku kepentingan seperti disebutkan di atas, proses membumikan MEA menjadi lebih mudah, cepat, dan substansial.
Proses pengambilan kebijakan di ranah formal semakin bermakna sebagai hasil artikulasi dan agregasi berbagai kepentingan para konstituen dan masyarakat umum yang lebih luas. Dengan demikian, membumikan MEA berarti juga memperluas basis representasi dalam setiap pengambilan keputusan publik. Itulah esensi dari people-centered ASEAN yang dicita-citakan.
TIRTA N MURSITAMA PhD
Ketua Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara
Kenapa demikian? Paling tidak jawabnya ada pada bagaimana bangsa ini merespons dua hal. Pertama, kaburnya makna ideologi yang dipegang. Kedua, penguatan sikap mental.
Kaburnya Makna Ideologi
Pasca reformasi yang ditandai bergesernya otoritarianisme menuju kehidupan yang demokratis menghadapi salah satu tantangannya yaitu krisis ideologi yang dipegang secara formal. Pada masa Orde Baru (Orba) semua komponen bangsa bisa dengan cepat dan sigap bila ditanya ideologi apa yang diyakini dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jawabnya: Pancasila.
Paling tidak secara formal mereka bisa menjawab walaupun secara esensial praktik sehari-hari sudah menjurus kepada kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang. Setali tiga uang dengan yang dipraktikkan sekarang. Saat ini sepertinya ideologi negara semakin kehilangan makna hakiki dan formalnya. Hal ini berbahaya karena baik penyelenggara negara maupun masyarakat umum tidak memiliki pegangan yang kokoh terhadap sistem nilai, ide, dan keyakinan yang menjiwai gerak langkah mereka.
Karena itu, bisa dipahami bila saat ini ada usaha keras untuk mengontekstualisasi Pancasila di tengah terjangan globalisasi. Salah satunya melalui aktivitas yang digalakkan MPR dengan kampanye empat pilar kebangsaan. Disadari atau tidak, ideologi yang semestinya menjiwai pilihan kebijakan yang diambil pemerintah sepertinya makin kabur. Padahal, sudah selayaknya pilihan-pilihan kebijakan publik memiliki rujukan dan pertimbangan filosofis yang kuat dan tegas.
Tentunya, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apalagi bila merujuk pada pemahaman hakiki ideologi Pancasila, sejatinya meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Kebijakan pemerintah yang diambil saat ini lebih banyak dipengaruhi pertimbangan liberalisme kapitalistik. Konsekuensinya, pihak yang lebih diuntungkan adalah para pemodal dan pengusaha besar yang dari sisi jumlah lebih sedikit, namun mayoritas bila dilihat dari penguasaan sentra-sentra ekonomi.
Sementara itu, kalangan pengusaha kecil dan menengah (UKM) selalu menjadi penonton dalam panggung ekonomi nasional apalagi regional ataupun global. Singkatnya, imbas globalisasi semakin menguatkan ekonomi liberalistik, lebih menguntungkan pengusaha besar dan makin memarginalkan UKM dan usaha-usaha rakyat banyak termasuk koperasi. Dengan demikian, dalam konteks MEA, akankah bangsa ini terus mengamini sistem ekonomi seperti ini atau memiliki alternatif lain termasuk memaknai kembali sistem ekonomi yang digali dari Bumi Pertiwi sendiri yaitu Pancasila.
Pilihannya kemudian bila kita berpandangan bahwa globalisasi beserta sistem ekonomi yang cenderung mengusung liberalisme pasar sebagai suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri lagi, mau tidak mau kita harus siap dan terus menatap MEA. Namun, bila kita punya pemikiran alternatif yang tegas, boleh jadi kita masih bisa bernegosiasi atau memanfaatkan MEA ini secara lebih cerdas.
Sikap Mental
Implementasi MEA 2015 tidak hanya persoalan para pelaku usaha, tetapi juga menyangkut sikap mental semua pemangku kepentingan. Bagi para pelaku usaha sudah tentu harus meninggalkan sifat cengeng dan selalu ingin bermanja-manja oleh kebijakan pemerintah. Peningkatan daya saing menjadi kata kunci. Daya saing dicapai dengan berani menjadi petarung yang tangguh secara internasional atau paling tidak di kancah regional Asia.
Tidak hanya berpuas diri menjadi raja kecil di negeri sendiri. Bagi para pembuat kebijakan baik eksekutif maupun pembuat undang-undang, keberpihakan terhadap ideologi negara menjadi sangat penting. Birokrat dan politisi merupakan penentu proses politik yang sudah barang tentu diperkuat dengan alat kelengkapan yang memiliki keahlian teknis berkait dengan substansi materi yang sedang dibahas. Bagi pemerintah, badan penelitian dan pengembangan dapat direvitalisasi untuk memberikan sumbangan secara lebih substantif. Sedangkan peran komunitas epistemik juga instrumental.
Di tengah kejumudan kehidupan politik dan hukum yang cenderung mementingkan kelompok tertentu, serakah, dan tak kenal malu mempertaruhkan harga diri; kalangan akademisi, peneliti, dan pemerhati masalah kemasyarakatan menjadi garda artikulasi hati nurani masyarakat. Lembaga pendidikan tinggi, pusat studi, dan lembaga penelitian harus bisa mengambil peran lebih asertif dan strategis. Mereka memang tidak boleh lagi semata-mata mengandalkan pendanaan penelitian dari pemerintah dalam bentuk proyek penelitian yang cen-derung ‘pesanan’.
Namun, mereka dapat bersinergi dalam kepentingan yang saling beririsan. Bagi kalangan intelektual, sinergi tersebut akan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk kalangan praktisi pengambil kebijakan, hasil penelitian yang dihasilkan akan semakin relevan bagi kebijakan. Kalangan masyarakat sipil maupun masyarakat pada umumnya perlu lebih cerewet menyikapi perkembangan yang terjadi. Kemajuan teknologi telah membuka lebar-lebar partisipasi dalam diskusi publik melalui media sosial dan berbagai laman.
Diskusi secara langsung dengan para pengambil kebijakan dan wakil rakyat/politisi secara lebih intensif pun dimungkinkan. Sebagian besar dari mereka memiliki akun media sosial dan sangat aktif memperdebatkan berbagai masalah di ranah publik. Semestinya dengan sikap mental para pemangku kepentingan seperti disebutkan di atas, proses membumikan MEA menjadi lebih mudah, cepat, dan substansial.
Proses pengambilan kebijakan di ranah formal semakin bermakna sebagai hasil artikulasi dan agregasi berbagai kepentingan para konstituen dan masyarakat umum yang lebih luas. Dengan demikian, membumikan MEA berarti juga memperluas basis representasi dalam setiap pengambilan keputusan publik. Itulah esensi dari people-centered ASEAN yang dicita-citakan.
TIRTA N MURSITAMA PhD
Ketua Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara
(mhd)