Review RUU Ormas yang keliru
A
A
A
Dalam waktu dekat pemerintah bersama DPR berencana mengesahkan Undang-undang Organisasi Kemasyarakat (UU Ormas) yang baru untuk mengganti UU Nomor 8/1985.
Sejumlah elemen masyarakat dengan tegas menentang rencana penerbitan undang-undang tersebut karena dinilai membangkitkan kembali otoritarianisme berupa pembredelan hak warga masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi.
Pengaturan mengenai organisasi kemasyarakatan pernah diterbitkan oleh rezim Orde Baru pada 1985 melalui UU Nomor 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Paling tidak ada tiga substansi pengaturan organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam UU Nomor 8/1985. Pertama, kewajiban bagi setiap ormas berideologikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua, kewenangan pembinaan atas setiap ormas yang menjadi otoritas pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Ketiga, adanya kewenangan pemerintah membekukan kepengurusan bahkan membubarkan ormas jika dinilai tidak berasaskan Pancasila dan dianggap tidak turut memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Secara substansi, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1985 didesain sebagai instrumen rezim otoriter Soeharto untuk membungkam kebebasan berserikat dan mengontrol kehidupan masyarakat, termasuk cara pandang dan ideologi masyarakat. Melalui undangundang yang sama, rezim Soeharto bahkan dapat membungkam musuh-musuh politiknya yang dianggap mengancam kelangsungan kekuasaan Orde Baru.
Salah kaprah
Dewasa ini aneka ragam perkumpulan dan organisasi masyarakat tumbuh bak jamur di musim hujan. Aneka wadah ekspresi masyarakat bermunculan mulai dari perkumpulan ideologis yang mengusung perubahan menuju sistem Islam sampai perkumpulan pencinta game. Munculnya wacana untuk merevisi UU ormas tidak lepas dari salah kaprah negara dalam memandang keberadaan masyarakat dan ormas.
Sebagaimana rezim Orde Baru, pemerintah saat ini sepertinya melihat masyarakat selalu sebagai sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sehingga dianggap UU yang mengatur ormas diperlukan.
Berbeda halnya apabila pemerintah memandang ormas, yang didirikan dan dijalankan secara sukarela, sebagai salah satu bentuk kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan kolektif, maka tentu pengaturan ormas melalui UU jelas tidak diperlukan.
Pemerintah yang baik semestinya memberi apresiasi atas kontribusi dan partisipasi yang diberikan sejumlah elemen masyarakat dalam kehidupan kolektif. Masalahnya draf Rancangan Undang-undang (RUU) Ormas yang tengah diselesaikan DPR pada tingkat panitia kerja lebih berorientasi mengatur dan mengontrol ormas ketimbang menjamin kebebasan warga masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.
Naskah RUU tersebut masih menganut cara pandang keliru rezim represif yang melihat masyarakat sebagai ancaman. Padahal kebebasan berserikat semestinya dijamin oleh negara dalam rangka kontribusinya bagi kemaslahatan kolektif.
Karena itu, yang lebih diperlukan sebenarnya bukanlah undang-undang yang mengatur ormas, melainkan suatu undang-undang yang menjamin kebebasan berserikat.
Hal ini sepertinya sulit lahir pada sistem negara yang berorientasi mempertahankan kekuasaan ketimbang mewujudkan kesejahteraan sebagaimana yang dianut negara ini. Beberapa pasal dalam draf RUU tersebut jelas menggambarkan bagaimana negara begitu bernafsu untuk mengebiri hak berorganisasi masyarakat yang ditandai dengan proses pendataan dan verifikasi yang panjang dan berbelit.
Hal lebih vulgar adalah draf pasal 3 yang mewajibkan pencantuman asas tunggal Pancasila beserta pasal turunannya, yakni sanksi pembubaran bagi ormas yang mengusung asas lain (draft pasal 43). Pasal ini jelas dan tegas ingin membredel gerakan-gerakan yang mengusung asas Islam.
Aneh bin ajaib, LSM-LSM asing yang jelas merupakan perpanjangan negara imperialistis berdasarkan ketentuan ini tidak bisa diganggu gugat sepanjang tetap mengusung asas Pancasila, namun perlakuan berbeda berupa pembubaran akan dialami oleh gerakan-gerakan yang mengusung asas Islam. Hal ini merupakan bentuk kemunduran politik yang fatal.
Kegagalan negara
Meningkatnya tindak kekerasan dan anarkistis oleh sejumlah elemen masyarakat selama lebih dari 10 tahun terakhir tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menerbitkan Undang-undang tentang Ormas.
Tindak kekerasan dan anarkistis massa lebih terkait dengan kegagalan negara dalam mengurusi urusan rakyat di satu pihak dan kegagalan negara dalam penegakan supremasi hukum di lain pihak.
Apabila peran negara dalam mengurusi urusan rakyat; memenuhi kebutuhan-kebutuhan prinsipil warga negara, mewujudkan kesejahteraan, menegakkan hukum, dan perlindungan terhadap masyarakat, semestinya tidak perlu ada kekhawatiran terkait tindak kekerasan dan anarkistis massa. Persoalannya selama ini pemerintah beserta aparaturnya, terutama kepolisian alih-alih melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar.
Malahan yang terjadi adalah negara maupun aparaturnya acap kali menjadi sumber konflik. Kebijakan negara yang diskriminatif memperkaya perusahaan asing di Papua misalnya, menyebabkan masyarakat memberontak dan melawan dengan kekerasan.
Sistem hukum beserta proses penegakan yang tumpul juga menjadi pemicu meledaknya partisipasi masyarakat yang akhirnya tumpah di jalan dan menjadi liar dalam bentuk tindak kekerasan dan anarkistis.
Sebagai gambaran aksi masa penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Bogor, beberapa waktu lalu tidak akan terjadi jika pemerintah tegas dan konsisten menjalankan keputusannya membekukan dan membubarkan Ahmadiyah.
Pun kasus terbaru penyerbuan sekelompok ‘oknum’ bersenjata ke sebuah tempat dengan pengamanan paling ketat di negeri ini, rumah tahanan (penjara), akan bisa dihindari jika sistem hukum yang diberlakukan adalah sistem hukum yang adil dan memberi kepuasan.
Percayalah, aksi anarkistis dan kekerasan akan senantiasa muncul saban hari jika penguasa dan sistemnya tidak segera diganti. Diganti dengan penguasa amanah yang menjalankan sistem berkah (sistem Islam).
Dengan logika seperti ini lantas mengapa DPR dan pemerintah tetap ngotot menerbitkan UU yang bias dan berimplikasi negatif terhadap kehidupan masyarakat? Jawabannya sederhana, DPR dan pemerintah sibuknya mempertahankan hegemoni dan kekuasaan bukan mengurusi kita, rakyatnya. Allahu‘alam
MUHAMMAD ERWIN
Alumni IAIN Sumut dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia
Sejumlah elemen masyarakat dengan tegas menentang rencana penerbitan undang-undang tersebut karena dinilai membangkitkan kembali otoritarianisme berupa pembredelan hak warga masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi.
Pengaturan mengenai organisasi kemasyarakatan pernah diterbitkan oleh rezim Orde Baru pada 1985 melalui UU Nomor 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Paling tidak ada tiga substansi pengaturan organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam UU Nomor 8/1985. Pertama, kewajiban bagi setiap ormas berideologikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua, kewenangan pembinaan atas setiap ormas yang menjadi otoritas pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Ketiga, adanya kewenangan pemerintah membekukan kepengurusan bahkan membubarkan ormas jika dinilai tidak berasaskan Pancasila dan dianggap tidak turut memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Secara substansi, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1985 didesain sebagai instrumen rezim otoriter Soeharto untuk membungkam kebebasan berserikat dan mengontrol kehidupan masyarakat, termasuk cara pandang dan ideologi masyarakat. Melalui undangundang yang sama, rezim Soeharto bahkan dapat membungkam musuh-musuh politiknya yang dianggap mengancam kelangsungan kekuasaan Orde Baru.
Salah kaprah
Dewasa ini aneka ragam perkumpulan dan organisasi masyarakat tumbuh bak jamur di musim hujan. Aneka wadah ekspresi masyarakat bermunculan mulai dari perkumpulan ideologis yang mengusung perubahan menuju sistem Islam sampai perkumpulan pencinta game. Munculnya wacana untuk merevisi UU ormas tidak lepas dari salah kaprah negara dalam memandang keberadaan masyarakat dan ormas.
Sebagaimana rezim Orde Baru, pemerintah saat ini sepertinya melihat masyarakat selalu sebagai sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sehingga dianggap UU yang mengatur ormas diperlukan.
Berbeda halnya apabila pemerintah memandang ormas, yang didirikan dan dijalankan secara sukarela, sebagai salah satu bentuk kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan kolektif, maka tentu pengaturan ormas melalui UU jelas tidak diperlukan.
Pemerintah yang baik semestinya memberi apresiasi atas kontribusi dan partisipasi yang diberikan sejumlah elemen masyarakat dalam kehidupan kolektif. Masalahnya draf Rancangan Undang-undang (RUU) Ormas yang tengah diselesaikan DPR pada tingkat panitia kerja lebih berorientasi mengatur dan mengontrol ormas ketimbang menjamin kebebasan warga masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.
Naskah RUU tersebut masih menganut cara pandang keliru rezim represif yang melihat masyarakat sebagai ancaman. Padahal kebebasan berserikat semestinya dijamin oleh negara dalam rangka kontribusinya bagi kemaslahatan kolektif.
Karena itu, yang lebih diperlukan sebenarnya bukanlah undang-undang yang mengatur ormas, melainkan suatu undang-undang yang menjamin kebebasan berserikat.
Hal ini sepertinya sulit lahir pada sistem negara yang berorientasi mempertahankan kekuasaan ketimbang mewujudkan kesejahteraan sebagaimana yang dianut negara ini. Beberapa pasal dalam draf RUU tersebut jelas menggambarkan bagaimana negara begitu bernafsu untuk mengebiri hak berorganisasi masyarakat yang ditandai dengan proses pendataan dan verifikasi yang panjang dan berbelit.
Hal lebih vulgar adalah draf pasal 3 yang mewajibkan pencantuman asas tunggal Pancasila beserta pasal turunannya, yakni sanksi pembubaran bagi ormas yang mengusung asas lain (draft pasal 43). Pasal ini jelas dan tegas ingin membredel gerakan-gerakan yang mengusung asas Islam.
Aneh bin ajaib, LSM-LSM asing yang jelas merupakan perpanjangan negara imperialistis berdasarkan ketentuan ini tidak bisa diganggu gugat sepanjang tetap mengusung asas Pancasila, namun perlakuan berbeda berupa pembubaran akan dialami oleh gerakan-gerakan yang mengusung asas Islam. Hal ini merupakan bentuk kemunduran politik yang fatal.
Kegagalan negara
Meningkatnya tindak kekerasan dan anarkistis oleh sejumlah elemen masyarakat selama lebih dari 10 tahun terakhir tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menerbitkan Undang-undang tentang Ormas.
Tindak kekerasan dan anarkistis massa lebih terkait dengan kegagalan negara dalam mengurusi urusan rakyat di satu pihak dan kegagalan negara dalam penegakan supremasi hukum di lain pihak.
Apabila peran negara dalam mengurusi urusan rakyat; memenuhi kebutuhan-kebutuhan prinsipil warga negara, mewujudkan kesejahteraan, menegakkan hukum, dan perlindungan terhadap masyarakat, semestinya tidak perlu ada kekhawatiran terkait tindak kekerasan dan anarkistis massa. Persoalannya selama ini pemerintah beserta aparaturnya, terutama kepolisian alih-alih melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar.
Malahan yang terjadi adalah negara maupun aparaturnya acap kali menjadi sumber konflik. Kebijakan negara yang diskriminatif memperkaya perusahaan asing di Papua misalnya, menyebabkan masyarakat memberontak dan melawan dengan kekerasan.
Sistem hukum beserta proses penegakan yang tumpul juga menjadi pemicu meledaknya partisipasi masyarakat yang akhirnya tumpah di jalan dan menjadi liar dalam bentuk tindak kekerasan dan anarkistis.
Sebagai gambaran aksi masa penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Bogor, beberapa waktu lalu tidak akan terjadi jika pemerintah tegas dan konsisten menjalankan keputusannya membekukan dan membubarkan Ahmadiyah.
Pun kasus terbaru penyerbuan sekelompok ‘oknum’ bersenjata ke sebuah tempat dengan pengamanan paling ketat di negeri ini, rumah tahanan (penjara), akan bisa dihindari jika sistem hukum yang diberlakukan adalah sistem hukum yang adil dan memberi kepuasan.
Percayalah, aksi anarkistis dan kekerasan akan senantiasa muncul saban hari jika penguasa dan sistemnya tidak segera diganti. Diganti dengan penguasa amanah yang menjalankan sistem berkah (sistem Islam).
Dengan logika seperti ini lantas mengapa DPR dan pemerintah tetap ngotot menerbitkan UU yang bias dan berimplikasi negatif terhadap kehidupan masyarakat? Jawabannya sederhana, DPR dan pemerintah sibuknya mempertahankan hegemoni dan kekuasaan bukan mengurusi kita, rakyatnya. Allahu‘alam
MUHAMMAD ERWIN
Alumni IAIN Sumut dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia
(maf)