Opera sabun bernama KLB
A
A
A
Di luar dugaan para petinggi Partai Demokrat lainnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata memilih dirinya sendiri sebagai ketua umum. Mengapa SBY mengambil keputusan kontroversial tersebut? Apa dampaknya ke depan?
Kongres luar biasa (KLB) yang diselenggarakan di Bali akhirnya sekadar proforma belaka untuk mengukuhkan SBY sebagai pengganti Anas Urbaningrum yang berhenti setelah dinyatakan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain memilih SBY sebagai ketua umum secara aklamasi, KLB Demokrat juga memberi kewenangan kepada SBY untuk menentukan Ketua Harian (yakni Syarif Hasan), Wakil Ketua Majelis Tinggi pengganti Anas (Marzuki Alie), dan Ketua Harian Dewan Pembina (EE Mangindaan).
Syarif Hasan, Marzuki Alie, dan EE Mangindaan diharapkan dapat melaksanakan tugas-tugas sehari-hari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat, Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Dewan Pembina yang semuanya dijabat oleh SBY.
Kongres yang lebih mirip “opera sabun” ala Demokrat ini berlangsung tanpa perdebatan dan tanpa dinamika demokrasi karena skema KLB telah disiapkan SBY seorang diri.
Kongres akhirnya hanya melegitimasi persepsi diri SBY atas partai yang didirikannya. Tak seorang pun yang diberi hak untuk menilai, menimbang, dan mempersepsikan persoalan internal Demokrat. Seolah-olah, tak ada pilihan lain yang lebih masuk akal, sehat, tepat, dan demokratis bagi Demokrat selain skema KLB model SBY.
Penumpukan kekuasaan
Dari segi institusionalisasi demokrasi internal, KLB Demokrat di Bali merupakan gambaran paling buruk tentang penyelenggaraan forum tertinggi partai, sekurang-kurangnya sejak 1999.
Hal itu tidak hanya terlihat dari prosesnya yang tidak demokratis—karena sejak awal diarahkan untuk mengambil keputusan secara aklamasi, tapi juga pada hasil kongres itu sendiri.
Pada tingkat proses, SBY tidak memberi kesempatan orang lain memimpin Demokrat. Marzuki Alie yang berniat maju sebagai calon ketua umum dengan cara mengumpulkan sejumlah pengurus daerah di Jakarta justru ditegur. Padahal, apa yang dilakukan Marzuki merupakan proses pencarian dukungan yang wajar dalam dinamika forum seperti kongres, muktamar, ataupun munas parpol.
Dari segi hasil, KLB menjustifikasi penumpukan kekuasaan di tangan SBY seorang diri yakni sebagai ketua umum, ketua Dewan Pembina, dan ketua Majelis Tinggi Demokrat sekaligus. Belum pernah terjadi dalam sejarah parpol di Indonesia, tiga struktur tertinggi partai dirangkap oleh satu orang figur sekaligus.
Mantan Presiden Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun dan menjadikan Golkar sebagai mesin politiknya di bawah sistem otoriter Orde Baru juga hanya memegang jabatan sebagai ketua Dewan Pembina Golkar.
Ketua-ketua umum Golkar selalu dipegang oleh orang lain yang sebelumnya direstui oleh beliau. Penumpukan kekuasaan partai di satu tangan jelas sangat mencederai demokrasi.
Tidak secuil pun akal sehat yang bisa membenarkan realitas hasil kongres sebuah parpol seperti itu. Pengecualian mungkin hanya berlaku jika peserta kongres merupakan orangorang “sakit” yang memperlakukan keluhuran sistem demokrasi sekadar sebagai kemasan.
Untuk membungkus niat jahat penguasaan partai oleh seseorang yang merasa memilikinya. Sekurang-kurangnya, fenomena KLB mencerminkan tak seorang pun kader Demokrat yang bisa dipercaya SBY di luar dirinya sendiri.
Telan ludah sendiri
Sudah tentu menjadi hak politik SBY untuk menjadi ketua umum partai yang didirikan dan akhirnya mengantar beliau menjadi presiden untuk dua periode masa jabatan.
Kendati demikian, pilihan SBY menjadi ketua umum Demokrat bukan hanya cenderung merendahkan diri sendiri sehingga tak lebih dari “politisi” setingkat Anas, tetapi juga tidak konsisten dengan pernyataan publik SBY selama ini.
Beberapa kali Presiden SBY merisaukan para menteri dari parpol yang tidak fokus dengan tugas dan tanggung jawab mereka karena sibuk mengurus partai masing-masing.
Kini dengan menjadi ketua umum Demokrat dan menunjuk Menteri Syarif Hasan sebagai ketua harian, serta Menteri EE Mangindaan sebagai ketua harian Dewan Pembina Demokrat, SBY justru tak hanya menelan ludah sendiri, tapi juga mewariskan contoh kepemimpinan amat buruk justru menjelang akhir masa jabatannya sebagai presiden.
SBY lupa bahwa mandat politik terbesar di pundak beliau adalah menjadi presiden dengan tanggung jawab sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam posisi kenegarawanan seperti itu adalah tidak pada tempatnya bagi SBY menerima mandat sebagai ketua umum partai.
Pengalaman Presiden Abdurrahman Wahid yang menjadi ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa dan Presiden Megawati yang juga menjabat ketua umum PDI Perjuangan pada dasarnya bukanlah contoh yang baik.
Karena itu, pilihan terbaik bagi SBY seharusnya menolak permintaan pengurus daerah untuk menjadi ketua umum. Apalagi, sebagian permintaan itu bisa jadi bersifat basa-basi belaka mengingat masih kentalnya kultur “asal bapak senang” dalam budaya politik para politisi kita.
Dampak eksternal
Namun, kini “nasi” hasil KLB telanjur menjadi “bubur” kekecewaan publik. Secara internal, mungkin saja Partai Demokrat pasca-KLB lebih terkonsolidasi dan riak-riak konflik dapat diredam.
Selain itu, Demokrat juga bisa memenuhi tuntutan UU Pemilu yang mengharuskan pengajuan calon anggota legislatif oleh parpol peserta pemilu ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal.
Tetapi, jika SBY berharap elektabilitas partainya bakal turut meningkat karena Demokrat telah kembali ke pangkuan sang “pemilik”, barangkali merupakan harapan yang keliru. Publik yang semakin sadar informasi di negeri ini akan berpikir berulang kali untuk menjadikan Demokrat sebagai parpol pilihan mereka.
Penumpukan kekuasaan partai di satu tangan dan fenomena KLB yang lebih mirip “opera sabun” menjadikan parpol bergambar segitiga biru ini tidak memiliki daya tarik lagi.
Sebagai tokoh sentral partai yang berobsesi membangun partai modern, SBY lupa berhitung bahwa penumpukan kekuasaan menjadikan Demokrat sebagai personifikasi dirinya belaka.
SBY juga alpa bahwa para petinggi Demokrat lainnya membutuhkan kepercayaan beliau agar partai tetap bisa hidup tanpa purnawirawan jenderal kelahiran Pacitan ini. Lalu, bagaimana mungkin Demokrat bisa diselamatkan bila SBY hanya percaya kepada dirinya sendiri? Bukankah semua ini justru berarti SBY tengah menggali kuburan bagi partai yang didirikannya?
SYAMSUDDIN HARIS
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Kongres luar biasa (KLB) yang diselenggarakan di Bali akhirnya sekadar proforma belaka untuk mengukuhkan SBY sebagai pengganti Anas Urbaningrum yang berhenti setelah dinyatakan sebagai tersangka kasus Hambalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain memilih SBY sebagai ketua umum secara aklamasi, KLB Demokrat juga memberi kewenangan kepada SBY untuk menentukan Ketua Harian (yakni Syarif Hasan), Wakil Ketua Majelis Tinggi pengganti Anas (Marzuki Alie), dan Ketua Harian Dewan Pembina (EE Mangindaan).
Syarif Hasan, Marzuki Alie, dan EE Mangindaan diharapkan dapat melaksanakan tugas-tugas sehari-hari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat, Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Dewan Pembina yang semuanya dijabat oleh SBY.
Kongres yang lebih mirip “opera sabun” ala Demokrat ini berlangsung tanpa perdebatan dan tanpa dinamika demokrasi karena skema KLB telah disiapkan SBY seorang diri.
Kongres akhirnya hanya melegitimasi persepsi diri SBY atas partai yang didirikannya. Tak seorang pun yang diberi hak untuk menilai, menimbang, dan mempersepsikan persoalan internal Demokrat. Seolah-olah, tak ada pilihan lain yang lebih masuk akal, sehat, tepat, dan demokratis bagi Demokrat selain skema KLB model SBY.
Penumpukan kekuasaan
Dari segi institusionalisasi demokrasi internal, KLB Demokrat di Bali merupakan gambaran paling buruk tentang penyelenggaraan forum tertinggi partai, sekurang-kurangnya sejak 1999.
Hal itu tidak hanya terlihat dari prosesnya yang tidak demokratis—karena sejak awal diarahkan untuk mengambil keputusan secara aklamasi, tapi juga pada hasil kongres itu sendiri.
Pada tingkat proses, SBY tidak memberi kesempatan orang lain memimpin Demokrat. Marzuki Alie yang berniat maju sebagai calon ketua umum dengan cara mengumpulkan sejumlah pengurus daerah di Jakarta justru ditegur. Padahal, apa yang dilakukan Marzuki merupakan proses pencarian dukungan yang wajar dalam dinamika forum seperti kongres, muktamar, ataupun munas parpol.
Dari segi hasil, KLB menjustifikasi penumpukan kekuasaan di tangan SBY seorang diri yakni sebagai ketua umum, ketua Dewan Pembina, dan ketua Majelis Tinggi Demokrat sekaligus. Belum pernah terjadi dalam sejarah parpol di Indonesia, tiga struktur tertinggi partai dirangkap oleh satu orang figur sekaligus.
Mantan Presiden Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun dan menjadikan Golkar sebagai mesin politiknya di bawah sistem otoriter Orde Baru juga hanya memegang jabatan sebagai ketua Dewan Pembina Golkar.
Ketua-ketua umum Golkar selalu dipegang oleh orang lain yang sebelumnya direstui oleh beliau. Penumpukan kekuasaan partai di satu tangan jelas sangat mencederai demokrasi.
Tidak secuil pun akal sehat yang bisa membenarkan realitas hasil kongres sebuah parpol seperti itu. Pengecualian mungkin hanya berlaku jika peserta kongres merupakan orangorang “sakit” yang memperlakukan keluhuran sistem demokrasi sekadar sebagai kemasan.
Untuk membungkus niat jahat penguasaan partai oleh seseorang yang merasa memilikinya. Sekurang-kurangnya, fenomena KLB mencerminkan tak seorang pun kader Demokrat yang bisa dipercaya SBY di luar dirinya sendiri.
Telan ludah sendiri
Sudah tentu menjadi hak politik SBY untuk menjadi ketua umum partai yang didirikan dan akhirnya mengantar beliau menjadi presiden untuk dua periode masa jabatan.
Kendati demikian, pilihan SBY menjadi ketua umum Demokrat bukan hanya cenderung merendahkan diri sendiri sehingga tak lebih dari “politisi” setingkat Anas, tetapi juga tidak konsisten dengan pernyataan publik SBY selama ini.
Beberapa kali Presiden SBY merisaukan para menteri dari parpol yang tidak fokus dengan tugas dan tanggung jawab mereka karena sibuk mengurus partai masing-masing.
Kini dengan menjadi ketua umum Demokrat dan menunjuk Menteri Syarif Hasan sebagai ketua harian, serta Menteri EE Mangindaan sebagai ketua harian Dewan Pembina Demokrat, SBY justru tak hanya menelan ludah sendiri, tapi juga mewariskan contoh kepemimpinan amat buruk justru menjelang akhir masa jabatannya sebagai presiden.
SBY lupa bahwa mandat politik terbesar di pundak beliau adalah menjadi presiden dengan tanggung jawab sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam posisi kenegarawanan seperti itu adalah tidak pada tempatnya bagi SBY menerima mandat sebagai ketua umum partai.
Pengalaman Presiden Abdurrahman Wahid yang menjadi ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa dan Presiden Megawati yang juga menjabat ketua umum PDI Perjuangan pada dasarnya bukanlah contoh yang baik.
Karena itu, pilihan terbaik bagi SBY seharusnya menolak permintaan pengurus daerah untuk menjadi ketua umum. Apalagi, sebagian permintaan itu bisa jadi bersifat basa-basi belaka mengingat masih kentalnya kultur “asal bapak senang” dalam budaya politik para politisi kita.
Dampak eksternal
Namun, kini “nasi” hasil KLB telanjur menjadi “bubur” kekecewaan publik. Secara internal, mungkin saja Partai Demokrat pasca-KLB lebih terkonsolidasi dan riak-riak konflik dapat diredam.
Selain itu, Demokrat juga bisa memenuhi tuntutan UU Pemilu yang mengharuskan pengajuan calon anggota legislatif oleh parpol peserta pemilu ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal.
Tetapi, jika SBY berharap elektabilitas partainya bakal turut meningkat karena Demokrat telah kembali ke pangkuan sang “pemilik”, barangkali merupakan harapan yang keliru. Publik yang semakin sadar informasi di negeri ini akan berpikir berulang kali untuk menjadikan Demokrat sebagai parpol pilihan mereka.
Penumpukan kekuasaan partai di satu tangan dan fenomena KLB yang lebih mirip “opera sabun” menjadikan parpol bergambar segitiga biru ini tidak memiliki daya tarik lagi.
Sebagai tokoh sentral partai yang berobsesi membangun partai modern, SBY lupa berhitung bahwa penumpukan kekuasaan menjadikan Demokrat sebagai personifikasi dirinya belaka.
SBY juga alpa bahwa para petinggi Demokrat lainnya membutuhkan kepercayaan beliau agar partai tetap bisa hidup tanpa purnawirawan jenderal kelahiran Pacitan ini. Lalu, bagaimana mungkin Demokrat bisa diselamatkan bila SBY hanya percaya kepada dirinya sendiri? Bukankah semua ini justru berarti SBY tengah menggali kuburan bagi partai yang didirikannya?
SYAMSUDDIN HARIS
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
(maf)