Partai Demokrat pasca-KLB
A
A
A
Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) di Bali akhirnya mengukuhkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum. Maka dalam struktur organisasi PD, SBY memiliki beberapa jabatan politik, yakni Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, sekaligus Ketua Majelis Tinggi.
Pilihan politik SBY itu segera mempertegas sentralitas politik formalnya, sehingga semakin dominatif ketimbang hegemonik. Hal ini sulit dipahami dari kacamata pembangunan kelembagaan partai yang modern-demokratis, karena yang mengemuka justru penguatan pola kepemimpinan tradisional-patronatif.
Dengan dalih PD dalam “kondisi darurat” setelah Anas Urbaningrum berhenti sebagai ketua umum, menyusul keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkannya sebagai tersangka, para elite politik PD tampak kehilangan kreativitas karena seolah tidak punya alternatif lain selain mempertegas posisi sentral SBY.
Mereka menarik mundur ke nuansa “SBY fans club”, bukan pengukuhan PD sebagai partai modern. Di tengah krisis politik yang dialaminya, PD belum mampu membuat terobosan politik yang menginspirasi semua pihak sebagai partai modern-demokratis. Sebaliknya, rangkap jabatan atau “pemusatan kekuasaan” internal organisasi oleh SBY yang juga masih menjabat sebagai presiden, justru mencerminkan adanya krisis kepemimpinan yang serius.
Memang SBY menetapkan syarat-syarat tertentu sehingga dia masih bisa konsentrasi menjadi presiden, di mana dia akan dibantu ketua harian dan para pengurus lainnya, tetapi pilihan rangkap jabatan presiden sekaligus ketua umum partai politik, tidak mencerminkan semangat dan disiplin kepemimpinan negarawan modern.
Secara formal, tidak ada larangan rangkap jabatan ketua umum partai dengan jabatan strategis kenegaraan, apakah presiden, menteri atau ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rangkap jabatan lebih banyak dikritisi secara etis terkait dengan bahaya ekses konflik kepentingan di dalamnya.
Membandingkan SBY dengan Megawati Soekarnoputri yang juga pernah rangkap jabatan ketika menjadi presiden, dianggap relevan oleh pihak-pihak pro-SBY, justru di tengah harapan publik luas terhadap adagium Manuel Luis Quezón, “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”. Namun, harapan itu juga kandas di PD. Darurat politik PD justru masih demikian mencerminkan adanya krisis kepemimpinan.
Merujuk James MacGregor Burns dalam Leadership(1978), krisis kepemimpinan, terutama ditandai oleh kemerosotan kualitas kepemimpinan politik dalam organisasi. Tidak semua pemimpin hari ini mampu sekualitas pendahulunya dan gagal menjadi contoh model kepemimpinan yang berparadigma demokrasi. Burns tidak memperdebatkan apakah pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan, tetapi lebih melihat pertanggungjawaban kepemimpinan.
Ia melihat bagaimana struktur motivasi, nilai-nilai dan berbagai tujuan, membedakan kepemimpinan satu sama lain dalam hal pengaruh dan kualitas. Walaupun aspek moral kepemimpinan ditekankan, apa yang diperbuat pemimpin politik lebih penting untuk dicermati. Burns menekankan kepemimpinan transformasional dan pentingnya kolektivitas dalam kepemimpinan politik.
Penjelasannya cukup rasional, bahwa “one-man leadership” atau kepemimpinan terpusat pada seseorang itu kontradiksi interminis. Pemimpin politik bekerja dengan mempertimbangkan potensi dan kebutuhan basis pendukungnya. Kepemimpinan tunggal dan terpusat dengan sendirinya akan rapuh, justru karena mengabaikan potensi kolektivitas.
Dalam konteks inilah, perangkapan jabatan dalam kepemimpinan politik sering tidak efektif dan cenderung hanya menjadi bumerang. Dalam jangka panjang, apabila magnet politik pemimpin terpusat merosot akibat pergeseran struktur insentif organisasi, ia hanya akan memicu faksionalisasi dan eksodus politik lebih luas. Kolektivitas itu justru tercermin dari faksi-faksi yang tumbuh secara alamiah dan terkelola.
Kepemimpinan tunggal dan terpusat, sesungguhnya hendak mengingkari kondisi alamiah organisasi, justru dengan dalih meniadakan faksifaksi. Padahal, mana mungkin organisasi tanpa faksi, dan sesungguhnya kepemimpinan tunggal dan terpusat itu sendiri merupakan wujud dari satu faksi politik di tengah faksifaksi potensial.
Faksi politik dapat menguat dan melemah seiring dengan akses dan pengaruh kekuasaan personal. Manakala kekuasaan politik personal yang menentukan dalam suatu faksi surut, faksi lain akan segera mengimbangi bahkan menggantikannya.
Dalam konteks ini, kepemimpinan tunggal yang mengabaikan optimalisasi kolektivitas sumber daya kepemimpinan politik, dalam perspektif Burns, mengingkari hukum alam (sunatullah) kepemimpinan. Dalam perspektif inilah, rangkap jabatan baik dalam satu organisasi maupun antarlembaga sangat tidak relevan karena mengingkari kolektivitas dan menyia-nyiakan potensi sumber daya kepemimpinan politik dalam organisasi.
Mungkin kita akan segera ingat dengan tokoh pewayangan Ramayana, yakni sosok antagonis Dasamuka, satu tokoh sepuluh wajah, walaupun tidak ada penjelasan apakah ia juga merangkap sepuluh jabatan yang ia ciptakan sendiri. Dari Burns, kita juga mendapat inspirasi bahwa kepemimpinan politik yang ideal ialah yang meminimalisasi kontradiksi.
Demokrasi tidak boleh menjadi sekadar bungkus manipulatif untuk mempertahankan pengaruh, karena yang dapat dilihat secara jelas adalah bagaimana perilaku kepemimpinannya. Tentu akan rancu manakala seorang pemimpin sering mengaku dirinya demokratis, tetapi sikap dan kebijakannya sebaliknya, yakni memusatkan kekuasaan pada dirinya.
Akomodasi kolektivitas kepemimpinan dalam organisasi politik sesungguhnya sangat menyehatkan organisasi, karena merupakan bentuk antisipasi regenerasi kepemimpinan. Namun sayangnya, oligarki politik atau elite mapan di dalamnya biasanya menegaskan bahwa organisasi dalam keadaan darurat sehingga diperlukan penyelamatan sedemikian rupa, tanpa mengindahkan aspek meritokrasi.
Kaum oligar dan elite mapan membatasi kolektivitas kepemimpinan, dan dengan begitu menghambat regenerasi kepemimpinan yang alamiah. Pola kepemimpinan tradisional-patronatif itulah yang dipertahankan oleh kaum oligar dan elite terpusat organisasi. Sementara modernisasi kelembagaan dan demokratisasi internal, hanya sebatas jargon.
Kontradiksi demikian merupakan wujud nyata manipulasi elite politik tradisional- patronatif yang dominan di organisasi. Becermin dari Burns, apakah formasi baru kepemimpinan PD pasca-KLB, dengan posisi politik baru, apa yang diistilahkan oleh SBY “ketua umum sementara” benar-benar sementara? Apakah pola kepemimpinan kontradiktif PD, akan efektif memulihkan tren elektabilitas PD? Semua masih akan diuji.
Persaingan elektoral semakin tajam dan popularitas pemerintahan SBY mendekati Pemilu 2014 cenderung tidak bisa lagi optimal. Wallahua’lam.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Pilihan politik SBY itu segera mempertegas sentralitas politik formalnya, sehingga semakin dominatif ketimbang hegemonik. Hal ini sulit dipahami dari kacamata pembangunan kelembagaan partai yang modern-demokratis, karena yang mengemuka justru penguatan pola kepemimpinan tradisional-patronatif.
Dengan dalih PD dalam “kondisi darurat” setelah Anas Urbaningrum berhenti sebagai ketua umum, menyusul keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkannya sebagai tersangka, para elite politik PD tampak kehilangan kreativitas karena seolah tidak punya alternatif lain selain mempertegas posisi sentral SBY.
Mereka menarik mundur ke nuansa “SBY fans club”, bukan pengukuhan PD sebagai partai modern. Di tengah krisis politik yang dialaminya, PD belum mampu membuat terobosan politik yang menginspirasi semua pihak sebagai partai modern-demokratis. Sebaliknya, rangkap jabatan atau “pemusatan kekuasaan” internal organisasi oleh SBY yang juga masih menjabat sebagai presiden, justru mencerminkan adanya krisis kepemimpinan yang serius.
Memang SBY menetapkan syarat-syarat tertentu sehingga dia masih bisa konsentrasi menjadi presiden, di mana dia akan dibantu ketua harian dan para pengurus lainnya, tetapi pilihan rangkap jabatan presiden sekaligus ketua umum partai politik, tidak mencerminkan semangat dan disiplin kepemimpinan negarawan modern.
Secara formal, tidak ada larangan rangkap jabatan ketua umum partai dengan jabatan strategis kenegaraan, apakah presiden, menteri atau ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rangkap jabatan lebih banyak dikritisi secara etis terkait dengan bahaya ekses konflik kepentingan di dalamnya.
Membandingkan SBY dengan Megawati Soekarnoputri yang juga pernah rangkap jabatan ketika menjadi presiden, dianggap relevan oleh pihak-pihak pro-SBY, justru di tengah harapan publik luas terhadap adagium Manuel Luis Quezón, “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins”. Namun, harapan itu juga kandas di PD. Darurat politik PD justru masih demikian mencerminkan adanya krisis kepemimpinan.
Merujuk James MacGregor Burns dalam Leadership(1978), krisis kepemimpinan, terutama ditandai oleh kemerosotan kualitas kepemimpinan politik dalam organisasi. Tidak semua pemimpin hari ini mampu sekualitas pendahulunya dan gagal menjadi contoh model kepemimpinan yang berparadigma demokrasi. Burns tidak memperdebatkan apakah pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan, tetapi lebih melihat pertanggungjawaban kepemimpinan.
Ia melihat bagaimana struktur motivasi, nilai-nilai dan berbagai tujuan, membedakan kepemimpinan satu sama lain dalam hal pengaruh dan kualitas. Walaupun aspek moral kepemimpinan ditekankan, apa yang diperbuat pemimpin politik lebih penting untuk dicermati. Burns menekankan kepemimpinan transformasional dan pentingnya kolektivitas dalam kepemimpinan politik.
Penjelasannya cukup rasional, bahwa “one-man leadership” atau kepemimpinan terpusat pada seseorang itu kontradiksi interminis. Pemimpin politik bekerja dengan mempertimbangkan potensi dan kebutuhan basis pendukungnya. Kepemimpinan tunggal dan terpusat dengan sendirinya akan rapuh, justru karena mengabaikan potensi kolektivitas.
Dalam konteks inilah, perangkapan jabatan dalam kepemimpinan politik sering tidak efektif dan cenderung hanya menjadi bumerang. Dalam jangka panjang, apabila magnet politik pemimpin terpusat merosot akibat pergeseran struktur insentif organisasi, ia hanya akan memicu faksionalisasi dan eksodus politik lebih luas. Kolektivitas itu justru tercermin dari faksi-faksi yang tumbuh secara alamiah dan terkelola.
Kepemimpinan tunggal dan terpusat, sesungguhnya hendak mengingkari kondisi alamiah organisasi, justru dengan dalih meniadakan faksifaksi. Padahal, mana mungkin organisasi tanpa faksi, dan sesungguhnya kepemimpinan tunggal dan terpusat itu sendiri merupakan wujud dari satu faksi politik di tengah faksifaksi potensial.
Faksi politik dapat menguat dan melemah seiring dengan akses dan pengaruh kekuasaan personal. Manakala kekuasaan politik personal yang menentukan dalam suatu faksi surut, faksi lain akan segera mengimbangi bahkan menggantikannya.
Dalam konteks ini, kepemimpinan tunggal yang mengabaikan optimalisasi kolektivitas sumber daya kepemimpinan politik, dalam perspektif Burns, mengingkari hukum alam (sunatullah) kepemimpinan. Dalam perspektif inilah, rangkap jabatan baik dalam satu organisasi maupun antarlembaga sangat tidak relevan karena mengingkari kolektivitas dan menyia-nyiakan potensi sumber daya kepemimpinan politik dalam organisasi.
Mungkin kita akan segera ingat dengan tokoh pewayangan Ramayana, yakni sosok antagonis Dasamuka, satu tokoh sepuluh wajah, walaupun tidak ada penjelasan apakah ia juga merangkap sepuluh jabatan yang ia ciptakan sendiri. Dari Burns, kita juga mendapat inspirasi bahwa kepemimpinan politik yang ideal ialah yang meminimalisasi kontradiksi.
Demokrasi tidak boleh menjadi sekadar bungkus manipulatif untuk mempertahankan pengaruh, karena yang dapat dilihat secara jelas adalah bagaimana perilaku kepemimpinannya. Tentu akan rancu manakala seorang pemimpin sering mengaku dirinya demokratis, tetapi sikap dan kebijakannya sebaliknya, yakni memusatkan kekuasaan pada dirinya.
Akomodasi kolektivitas kepemimpinan dalam organisasi politik sesungguhnya sangat menyehatkan organisasi, karena merupakan bentuk antisipasi regenerasi kepemimpinan. Namun sayangnya, oligarki politik atau elite mapan di dalamnya biasanya menegaskan bahwa organisasi dalam keadaan darurat sehingga diperlukan penyelamatan sedemikian rupa, tanpa mengindahkan aspek meritokrasi.
Kaum oligar dan elite mapan membatasi kolektivitas kepemimpinan, dan dengan begitu menghambat regenerasi kepemimpinan yang alamiah. Pola kepemimpinan tradisional-patronatif itulah yang dipertahankan oleh kaum oligar dan elite terpusat organisasi. Sementara modernisasi kelembagaan dan demokratisasi internal, hanya sebatas jargon.
Kontradiksi demikian merupakan wujud nyata manipulasi elite politik tradisional- patronatif yang dominan di organisasi. Becermin dari Burns, apakah formasi baru kepemimpinan PD pasca-KLB, dengan posisi politik baru, apa yang diistilahkan oleh SBY “ketua umum sementara” benar-benar sementara? Apakah pola kepemimpinan kontradiktif PD, akan efektif memulihkan tren elektabilitas PD? Semua masih akan diuji.
Persaingan elektoral semakin tajam dan popularitas pemerintahan SBY mendekati Pemilu 2014 cenderung tidak bisa lagi optimal. Wallahua’lam.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
(mhd)