ICW minta KPK jerat Angie dengan pasal TPPU

Senin, 11 Maret 2013 - 19:22 WIB
ICW minta KPK jerat Angie dengan pasal TPPU
ICW minta KPK jerat Angie dengan pasal TPPU
A A A
Sindonews.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk kembali menjerat Angelina Sondakh (Angie) dengan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), karena ada bukti kuat terkait kasus korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Peneliti ICW Emerson Yuntho mengungkapkan, dari hasil eksaminasi yang diselenggarakan ICW Pada Selasa 26 Februari 2013 lalu menemukan, bahwa putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, yang memvonis Angelina Sondakh 4,6 tahun, tidak memenuhi rasa keadilan.

“Vonis terhadap Angelina Sondakh tidak tepat, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan,” kata Emerson, dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Senin (11/3/2013).

Menurut dia, majelis eksaminasi (expert) yang terdiri dari mantan Jaksa atau Pengajar Pusdiklat Kejaksaan Adnan Pasliadja, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Sahlan Said, dan Dosen Hukum Universitas Indonesia Ganjar Laksamana menyimpulkan beberapa hal.

Pertama. Angie seharusnya dikenakan pasal pencucian uang. Sebagaimana, perkara Wa Ode Nurhayati yang juga didakwa dengan Pasal 12 a, Pasal 5 (2) dan Pasal 11, jaksa menerapkan pasal pencucian uang.

Akan tetapi tidak demikian terhadap perkara Angie. Padahal dalam surat tuntutannya, jaksa menyebutkan dihalaman 270 dan 271 ditemukan adanya aliran dana kepada saksi Lindina Wulandari senilai Rp2.523.724.735, dan saksi Anita Elizabete Lalaim untuk membayar premi asuransi BNI Life Dollar sebesar US.$.45.000 (empat puluh lima ribu dollar Amirika) secara cash.

Selain itu, sambung Emerson, uang juga dipakai membeli mobil Toyota Vellfire No.Polisi B.999 NG 1 ,meskipun tidak diakui terdakwa sebagai miliknya, tetapi ternyata mobil tersebut menggunakan alamat terdakwa.

Kedua, imbuh Emerson, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menggunakan jenis dakwaan alternatif terhadap Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP atau Pasal 5 Ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a jo jo Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP atau Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP dianggap tidak tepat.

"Seharusnya jaksa menggunakan dakwaan Subsidaritas (berlapis), karena tindak pidana yang didakwakan unsurnya sejenis,” ucap Emerson.

Selanjutnya ketiga, pilihan hakim dalam memilih dakwaan Pasal 11 tidaklah konsisten dengan pasangan pasal suap-menyuap dalam undang-undang tipikor. Sebelumnya Mindo Rosalina Manulang divonis terbukti melakukan suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a.

Karena yang melakukan suap adalah Mindo Rosalina Manulang kepada Angie (Pasal 5 Ayat (1) huruf a), maka dengan sendirinya Angie melanggar Pasal 12 huruf a, karena menerima suap dari Mindo.

Keempat, hakim keliru menganggap uang suap yang diberikan kepada Angie bukanlah termasuk kerugian negara yang harus dibebankan pidana uang pengganti. Majelis hakim menyatakan uang diterima terdakwa hanya Rp2.500.000.000 dan U$ 1.200.000 yang dapat dibuktikan melalui pembicaraan dengan BBM antara terdakwa dengan Mindo Rosalina Manulang.

Namun, dengan alasan terdakwa tidak bertindak sendiri, besarnya anggaran proyek Ditjen Dikti Kemendiknas yang disetujui adalah keputusan bersama semua anggota Banggar DPR RI, tidak dapat ditentukan berapa yang diperoleh oleh terdakwa adalah sangat tidak relevan.

“Benar, rapat-rapat dan keputusan yang diambil oleh Banggar DPR-RI dilakukan dan diambil secara kolektif dan tidak dilakukan sendiri oleh terdakwa, akan tetapi perbuatan mengawal dan menggiring anggaran proyek-proyek Ditjen Dikti Kemendiknas dilakukan sendiri oleh terdakwa,” tutupnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2996 seconds (0.1#10.140)