Politik Hanura pasca-HT
A
A
A
HARY Tanoesoedibjo(HT) CEO MNC Group secara resmi telah bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang dipimpin Jenderal (Purn.) Wiranto. Posisi HT di partai tersebut adalah ketua Dewan Pertimbangan.
Sebagaimana diberitakan harian ini, HT mengaku memiliki “chemistry” dengan Wiranto. HT melihat Partai Hanura selama ini bukan partai koalisi pemerintahan dan konsisten sebagai oposisi. HT juga menilai partai tersebut sebagai salah satu partai yang masih bersih, serta ada soliditas di dalamnya (Seputar Indonesia,18/3). Dengan kehadiran HT, akan membesarkah Hanura? Potensi untuk itu ada.
Data mencatat bahwa Hanura adalah partai kesembilan yang punya kursi di DPR. Pada Pemilu 2009, perolehan suaranya Partai Hanura sebesar 3.922.870 (3,77%). Meskipun jumlah kursinya di DPR paling sedikit, para politisi Hanura telah mampu mewarnai dinamika politik DPR, terlepas dari mundurnya Akbar Faisal yang dikabarkan pindah ke Partai NasDem. Jelas, masuknya HT dan sejumlah politisi yang pernah bergabung dengan Partai NasDem ke Hanura seperti memberi darah segar.
HT adalah seorang pengusaha papan atas dan memiliki jaringan media massa yang luas. Bagi partai mana pun, media sangat penting. Karena itu, konsekuensi berikutnya adalah pelejitan Hanura melalui jejaring media HT. Namun, yang perlu diingat adalah tentu semua partai juga menggunakan media dan harus mematuhi aturan kampanye. Karena itu, tetap saja yang utama bagi partai mana pun kalau ingin melejitkan perolehan suara adalah keunggulan strategi politik.
Masuknya HT ke Hanura, jelas berkonsekuensi bagi penataan ulang strategi pemenangan pemilu. Yang paling mendesak dilakukan Hanura dalam memenuhi tahapan pemilu yang ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah merekrut para bakal calon anggota legislatif (caleg). Dalam konteks ini, Wiranto sebagai ketua umum partai tentu akan segera dihadapkan pada berbagai pertimbangan untuk menentukan pilihan secara “objektif dan adil”.
Tantangannya terletak pada bagaimana memberi tempat pada “rombongan HT” di satu sisi, dan di sisi lain tetap mengakomodasi kaderkader lama yang memenuhi kualifikasi. Masa penyusunan caleg bisa jadi merupakan masa yang penuh gejolak manakala Wiranto sebagai ketua umum partai dinilai tidak objektif dan kurang adil. Kader-kader lama yang tidak puas, bisa saja akan ramai-ramai hijrah ke partai lain.
Tetapi, rasa-rasanya, sebagai politikus yang berlatar belakang militer dan ahli strategi, Wiranto akan dapat mengatasi fase krusial penyusunan caleg ini, sehingga Hanura siap masuk ke tahapan pemilu berikutnya.
Di sisi lain, masuknya HT ke Hanura pun harus segera ditindaklanjuti dengan penyesuaian politik yang kualitatif dengan segenap pengurus dan kader. Adaptasi ini penting tidak saja untuk mengantisipasi resistensi dari dalam tubuh Hanura, tetapi juga meyakinkan mereka bahwa kehadirannya adalah untuk memberi energi baru bagi kemenangan Hanura.
Adaptasi merupakan suatu keharusan, sehingga semua merasa diuntungkan dalam kerja sama simbiosis mutualisme. HT telah “kulonuwun” ke Hanura dan memperoleh penerimaan yang baik dari para elitenya. Jangan sampai di level “grass root”yang terjadi sebaliknya.
Menjelang pemilu, partai-partai peserta pemilu berurusan dengan, terutama dua wajah mereka, yakni wajah di level internal organisasi dan “grass root”. Satu wajah lagi adalah di pemerintahan, tetapi biasanya wajah ini lebih mengemuka pada partai penguasa. Maka di internal organisasi,sangat penting untuk dipastikan bahwa entitas-entitas strategis internal Hanura siap bekerja sama dengan HT dalam suatu pola politik yang sinergis.
Soliditas merupakan modal paling penting bagi partai untuk tetap bisa eksis menjelang dan pascapemilu. Karena itu, belajar dari pengalaman konflik internal partai-partai lain, Hanura pasca-HT harus berikhtiar nyata untuk tidak pecah atau tidak solid. HT memang politisi berlatar belakang pengusaha yang sebelumnya pernah membidani proses kelahiran Partai NasDem, dan setelah bergabung dengan Hanura, ia tidak akan keluar lagi dari partai itu.
Jadi, tantangan politik HT sendiri ada di Hanura. Reputasinya sebagai politikus akan benar-benar dipertaruhkan di sini. Publik juga akan menilai bagaimana ia memadukan pengalaman bisnisnya ke dunia politik. Kalau ia benar-benar terpanggil ke dunia politik dan “chemistry” dengan Wiranto, tidak ada waktu lagi untuk surut ke belakang.
Publik akan melihat sejauhmana kesungguhan HT untuk berkonsentrasi membesarkan Hanura di era kritikal tahun politik 2013, dengan berbagai risiko dan tantangan. Hal lain yang perlu diperhatikan, apabila Hanura mau diapresiasi positif publik adalah etikanya dalam berpolitik. Dimensi etis inilah yang harus ditonjolkan, sebab selain selaras dengan filosofi Hanura sendiri, perlu diperhatikan fakta anti partai yang berkembang di masyarakat.
Banyaknya kejadian yang mengaitkan partai dan korupsi, berdampak pada merosotnya citra partai di mata publik. Reaksi antipartai itu bentuknya rupa-rupa, mulai sinisme verbal sehari-hari hingga nonverbal di berbagai jenis sosial media. Walaupun dikatakan “masih bersih”, Hanura juga terkena imbas antipartai. Karena itu, kalau tidak hati-hati dalam mengelola dan menjaga soliditas partai, maka publik juga akan menambahkan label baru ke partai ini sebagai “belum siap menang” dalam pemilu.
Betapapun tidak mudah, Hanura pasca-HT jeli melihat perkembangan internal dan eksternal, harus membuang jauh-jauh label demikian. Prospek Hanura pasca-HT memang perlu terus diteliti melalui riset politik yang mendalam. Bagaimanapun masuknya HT ke partai yang mengemuka dengan Wiranto sebagai ikon politik utamanya itu, merupakan fenomena penting di tahun politik 2013 ini.
Disadari kompetisi politik sangat ketat, maka aktualisasi simbiosis mutualisme HT Wiranto tidak sebatas elitis di level atas, tetapi juga menyeruak hingga ke bawah. Hanura bisa besar, manakala mampu melakukan gerakan cepat memperkuat basis massanya di “grassroot”, dan tidak semata menggantungkan diri pada iklan-iklan kampanye. Wallahua’lam.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Sebagaimana diberitakan harian ini, HT mengaku memiliki “chemistry” dengan Wiranto. HT melihat Partai Hanura selama ini bukan partai koalisi pemerintahan dan konsisten sebagai oposisi. HT juga menilai partai tersebut sebagai salah satu partai yang masih bersih, serta ada soliditas di dalamnya (Seputar Indonesia,18/3). Dengan kehadiran HT, akan membesarkah Hanura? Potensi untuk itu ada.
Data mencatat bahwa Hanura adalah partai kesembilan yang punya kursi di DPR. Pada Pemilu 2009, perolehan suaranya Partai Hanura sebesar 3.922.870 (3,77%). Meskipun jumlah kursinya di DPR paling sedikit, para politisi Hanura telah mampu mewarnai dinamika politik DPR, terlepas dari mundurnya Akbar Faisal yang dikabarkan pindah ke Partai NasDem. Jelas, masuknya HT dan sejumlah politisi yang pernah bergabung dengan Partai NasDem ke Hanura seperti memberi darah segar.
HT adalah seorang pengusaha papan atas dan memiliki jaringan media massa yang luas. Bagi partai mana pun, media sangat penting. Karena itu, konsekuensi berikutnya adalah pelejitan Hanura melalui jejaring media HT. Namun, yang perlu diingat adalah tentu semua partai juga menggunakan media dan harus mematuhi aturan kampanye. Karena itu, tetap saja yang utama bagi partai mana pun kalau ingin melejitkan perolehan suara adalah keunggulan strategi politik.
Masuknya HT ke Hanura, jelas berkonsekuensi bagi penataan ulang strategi pemenangan pemilu. Yang paling mendesak dilakukan Hanura dalam memenuhi tahapan pemilu yang ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah merekrut para bakal calon anggota legislatif (caleg). Dalam konteks ini, Wiranto sebagai ketua umum partai tentu akan segera dihadapkan pada berbagai pertimbangan untuk menentukan pilihan secara “objektif dan adil”.
Tantangannya terletak pada bagaimana memberi tempat pada “rombongan HT” di satu sisi, dan di sisi lain tetap mengakomodasi kaderkader lama yang memenuhi kualifikasi. Masa penyusunan caleg bisa jadi merupakan masa yang penuh gejolak manakala Wiranto sebagai ketua umum partai dinilai tidak objektif dan kurang adil. Kader-kader lama yang tidak puas, bisa saja akan ramai-ramai hijrah ke partai lain.
Tetapi, rasa-rasanya, sebagai politikus yang berlatar belakang militer dan ahli strategi, Wiranto akan dapat mengatasi fase krusial penyusunan caleg ini, sehingga Hanura siap masuk ke tahapan pemilu berikutnya.
Di sisi lain, masuknya HT ke Hanura pun harus segera ditindaklanjuti dengan penyesuaian politik yang kualitatif dengan segenap pengurus dan kader. Adaptasi ini penting tidak saja untuk mengantisipasi resistensi dari dalam tubuh Hanura, tetapi juga meyakinkan mereka bahwa kehadirannya adalah untuk memberi energi baru bagi kemenangan Hanura.
Adaptasi merupakan suatu keharusan, sehingga semua merasa diuntungkan dalam kerja sama simbiosis mutualisme. HT telah “kulonuwun” ke Hanura dan memperoleh penerimaan yang baik dari para elitenya. Jangan sampai di level “grass root”yang terjadi sebaliknya.
Menjelang pemilu, partai-partai peserta pemilu berurusan dengan, terutama dua wajah mereka, yakni wajah di level internal organisasi dan “grass root”. Satu wajah lagi adalah di pemerintahan, tetapi biasanya wajah ini lebih mengemuka pada partai penguasa. Maka di internal organisasi,sangat penting untuk dipastikan bahwa entitas-entitas strategis internal Hanura siap bekerja sama dengan HT dalam suatu pola politik yang sinergis.
Soliditas merupakan modal paling penting bagi partai untuk tetap bisa eksis menjelang dan pascapemilu. Karena itu, belajar dari pengalaman konflik internal partai-partai lain, Hanura pasca-HT harus berikhtiar nyata untuk tidak pecah atau tidak solid. HT memang politisi berlatar belakang pengusaha yang sebelumnya pernah membidani proses kelahiran Partai NasDem, dan setelah bergabung dengan Hanura, ia tidak akan keluar lagi dari partai itu.
Jadi, tantangan politik HT sendiri ada di Hanura. Reputasinya sebagai politikus akan benar-benar dipertaruhkan di sini. Publik juga akan menilai bagaimana ia memadukan pengalaman bisnisnya ke dunia politik. Kalau ia benar-benar terpanggil ke dunia politik dan “chemistry” dengan Wiranto, tidak ada waktu lagi untuk surut ke belakang.
Publik akan melihat sejauhmana kesungguhan HT untuk berkonsentrasi membesarkan Hanura di era kritikal tahun politik 2013, dengan berbagai risiko dan tantangan. Hal lain yang perlu diperhatikan, apabila Hanura mau diapresiasi positif publik adalah etikanya dalam berpolitik. Dimensi etis inilah yang harus ditonjolkan, sebab selain selaras dengan filosofi Hanura sendiri, perlu diperhatikan fakta anti partai yang berkembang di masyarakat.
Banyaknya kejadian yang mengaitkan partai dan korupsi, berdampak pada merosotnya citra partai di mata publik. Reaksi antipartai itu bentuknya rupa-rupa, mulai sinisme verbal sehari-hari hingga nonverbal di berbagai jenis sosial media. Walaupun dikatakan “masih bersih”, Hanura juga terkena imbas antipartai. Karena itu, kalau tidak hati-hati dalam mengelola dan menjaga soliditas partai, maka publik juga akan menambahkan label baru ke partai ini sebagai “belum siap menang” dalam pemilu.
Betapapun tidak mudah, Hanura pasca-HT jeli melihat perkembangan internal dan eksternal, harus membuang jauh-jauh label demikian. Prospek Hanura pasca-HT memang perlu terus diteliti melalui riset politik yang mendalam. Bagaimanapun masuknya HT ke partai yang mengemuka dengan Wiranto sebagai ikon politik utamanya itu, merupakan fenomena penting di tahun politik 2013 ini.
Disadari kompetisi politik sangat ketat, maka aktualisasi simbiosis mutualisme HT Wiranto tidak sebatas elitis di level atas, tetapi juga menyeruak hingga ke bawah. Hanura bisa besar, manakala mampu melakukan gerakan cepat memperkuat basis massanya di “grassroot”, dan tidak semata menggantungkan diri pada iklan-iklan kampanye. Wallahua’lam.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
(hyk)