Bukan Superman
A
A
A
Jokowi-Ahok adalah sebuah fenomena. Hampir di setiap kehadirannya, mereka selalu dielu-elukan masyarakat. Mereka adalah ikon baru pejabat publik.
Seperti virus,gaya Jokowi-Ahok seolah menjadi acuan baru pejabat ataupun calon pejabat publik, mulai gaya melayani media hingga pendekatan kepada masyarakat melalui serangkaian blusukan. Sama halnya dengan dunia nyata, di dunia maya pun hal yang sama terjadi. Fenomena tersebut tidak lepas dari kerinduan masyarakat Jakarta akan pemimpin yang dapat “disentuh”. Sosok yang jauh dari kesan formal dan kaku seperti selama ini ditunjukkan oleh Foke.
Barangkali, kelemahan Foke ini lebih berperan dalam mengantar Jokowi- Ahok ke kursi DKI-1 dan DKI-2 daripada prestasi Jokowi dan Ahok ketika memimpin Solo dan Belitung. Tinggal masalah waktu saja, masyarakat akan mengalami habituasi terhadap pendekatan unik Jokowi-Ahok, mereka akan melupakan kegeraman terhadap gaya Foke, dan menuntut prestasi kerja. Dalam konteks ini, Jokowi- Ahok harus memberikan solusi riil. Kinerja tersebut akan menjadi tolok ukur apakah eluelu tersebut akan berlanjut dan berapa lama “bulan madu” akan berlangsung.
Manajemen Harapan
Ketidakpuasan muncul akibat gap antara harapan dan kenyataan. Ketidakpuasan publik bisa dihindari dengan menjaga harapan agar selalu realistis sekaligus bekerja keras untuk mewujudkan kenyataan yang diidamkan.Permasalahan muncul ketika harapan terlalu melambung,sementara tantangan yang dihadapi adalah permasalahan yang perlu waktu panjang untuk memecahkannya.
Masyarakat DKI mempunyai harapan yang tinggi, tetapi masih realistis terhadap kepemimpinan Jokowi-Ahok.Masyarakat paham bahwa permasalahan Jakarta tidaklah sederhana. Sayangnya, dalam berbagai kesempatan, Jokowi-Ahok justru sering melemparkan wacana yang melambungkan harapan publik. Mungkin saja haltersebutsemata-mataakibat karakter kedua sosok yang decisivedan solution oriented.
Dalam seratus hari kepemimpinannya Jokowi-Ahok telah melempar begitu banyak janji dan wacana jangka pendek, misalnya: memberikan akses metromini untuk memasuki busway, meremajakan Metromini, pengadaan 1.000 bus Transjakarta, menggaji pemulung Rp 2 juta per bulan,memutuskan kelanjutan MRT dan monorel pada Januari, membeli PPD dari Kementerian BUMN, dan menolak jalan tol enam jalur.
Selain itu, ia juga menjanjikan kesehatan dan pendidikan gratis, serta jaminan oleh pemda atas kredit warga tertentu di bank dan menanggung bunga pinjaman (Tempo, 21/1/2013). Janji-janji tersebut telah melambungkan harapan masyarakat yang pada gilirannya justru akan memberatkan Jokowi-Ahok sendiri.Apalagi dalam konteks kepemimpinan publik, pernyataan yang disampaikan di depan publik merupakan janji di mana masyarakat berhak menuntutnya,karena pemimpin mempunyai otoritas yang besar dan diskresi yang luas.
Mengaca pada fenomena di atas Jokowi-Ahok perlu lebih serius mengelola harapan masyarakat. Kalaupun harus melemparkan janji, perlu diyakini agar janji-janji tersebut terukur dan realistis.Ia bisa disampaikan apabila mayoritas variabel, katakanlah 85%, yang diperlukan untuk mewujudkannya sudah berada dalam genggaman.
Objektif, Simpel, dan Kredibel
Bekerja keras untuk mengurangi gap antara harapan dan kenyataan merupakan esensi kepemimpinan dan cara paling mujarab untuk menjaga kepercayaan publik.Sebagai pemimpin, Jokowi-Ahok mempunyai alat yang disebut kebijakan publik. Alat ini sangat kuat.Ia tidak saja sanggup mengubah fisik Jakarta,tetapi juga budaya dan perilaku warga yang tinggal di dalamnya asalkan tiga syarat terpenuhi, yaitu objektif, simpel, dan kredibel.
Kebijakan harus objektif, artinya ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan kelompok tertentu saja.Ini merupakan esensi penting kepemimpinan publik yaitu berdiri di atas semua golongan.Kebijakan juga harus simpel,untuk mempermudah implementasi di lapangan sekaligus mengurangi potensi salah persepsi di kalangan publik yang berujung pada resistensi. Selain itu, kebijakan juga harus kredibel.
Selain untuk mendapatkan impact yang sesuai harapan, hal ini juga penting guna meyakinkan para pemangku kepentingan, termasuk di antaranya politisi,pemerintah pusat, kalangan bisnis, dan masyarakat. Kredibilitas akan hadir jika kebijakan disusun berdasarkan data yang sahih dan melalui perhitungan yang masak. Dalam seratus hari kepemimpinan Jokowi-Ahok, terlihat jelas bahwa umumnya pernyataan atau kebijakan mereka memenuhi dua kriteria, yaitu objektif dan simpel; yang dikomunikasikan dengan gaya yang mudah dipahami.
Sayangnya, cukup banyak yang belum memenuhi aspek ketiga, yaitu kredibilitas. Sebagai contoh, Kartu Jakarta Pintar termasuk kebijakan yang kurang kredibel, terutama dalam konteks penerapan good governance. Kartu Jakarta Sehat setali tiga uang. Cukup banyak kalangan menengah- atas yang menerima kartu ini. Singkatnya, kedua kebijakan berpotensi menyuburkan moral hazardyang akan terlalu membebani APBD.
Rencana Jokowi tentang deep tunnel senilai Rp16 triliun serta keyakinan Jokowi bahwa investor akan mengantre begitu proyek tersebut diumumkan pada Januari 2013, perlu dijadikan catatan dan dijadikan pembelajaran.Deep tunnel ternyata sudah lama dijadikan studi dan dianggap tidak layak. Pernyataan tentang investor yang akan mengantre juga berlawanan dengan fakta di lapangan, terkait begitu sulitnya mencari investor untuk proyek infrastruktur di Indonesia.
Terlepas dari berbagai catatan di atas, Jokowi-Ahok patut diapresiasi atas berbagai terobosan dan kesungguhan yang telah ditunjukkan.Paling tidak mereka membawa angin segar dan harapan baru bagi masyarakat Jakarta. Karena Jokowi-Ahok bukan Superman yang selalu mampu mengatasi masalah, mereka perlu menerapkan strategi yang lebih matang baik dalam me-manage harapan masyarakat dan dalam menyusun kebijakan publik beserta implementasinya. Semoga “bulan madu” Jokowi-Ahok dan masyarakat Jakarta akan berlangsung lama,syukur-syukur hingga masa jabatan berakhir. Selamat berkarya,Pak!
WIJAYANTO SAMIRIN
Deputi Rektor Universitas Paramadina; Co-founder &
Managing Director Paramadina Public Policy Institute Twitter: @wija_samirin
Seperti virus,gaya Jokowi-Ahok seolah menjadi acuan baru pejabat ataupun calon pejabat publik, mulai gaya melayani media hingga pendekatan kepada masyarakat melalui serangkaian blusukan. Sama halnya dengan dunia nyata, di dunia maya pun hal yang sama terjadi. Fenomena tersebut tidak lepas dari kerinduan masyarakat Jakarta akan pemimpin yang dapat “disentuh”. Sosok yang jauh dari kesan formal dan kaku seperti selama ini ditunjukkan oleh Foke.
Barangkali, kelemahan Foke ini lebih berperan dalam mengantar Jokowi- Ahok ke kursi DKI-1 dan DKI-2 daripada prestasi Jokowi dan Ahok ketika memimpin Solo dan Belitung. Tinggal masalah waktu saja, masyarakat akan mengalami habituasi terhadap pendekatan unik Jokowi-Ahok, mereka akan melupakan kegeraman terhadap gaya Foke, dan menuntut prestasi kerja. Dalam konteks ini, Jokowi- Ahok harus memberikan solusi riil. Kinerja tersebut akan menjadi tolok ukur apakah eluelu tersebut akan berlanjut dan berapa lama “bulan madu” akan berlangsung.
Manajemen Harapan
Ketidakpuasan muncul akibat gap antara harapan dan kenyataan. Ketidakpuasan publik bisa dihindari dengan menjaga harapan agar selalu realistis sekaligus bekerja keras untuk mewujudkan kenyataan yang diidamkan.Permasalahan muncul ketika harapan terlalu melambung,sementara tantangan yang dihadapi adalah permasalahan yang perlu waktu panjang untuk memecahkannya.
Masyarakat DKI mempunyai harapan yang tinggi, tetapi masih realistis terhadap kepemimpinan Jokowi-Ahok.Masyarakat paham bahwa permasalahan Jakarta tidaklah sederhana. Sayangnya, dalam berbagai kesempatan, Jokowi-Ahok justru sering melemparkan wacana yang melambungkan harapan publik. Mungkin saja haltersebutsemata-mataakibat karakter kedua sosok yang decisivedan solution oriented.
Dalam seratus hari kepemimpinannya Jokowi-Ahok telah melempar begitu banyak janji dan wacana jangka pendek, misalnya: memberikan akses metromini untuk memasuki busway, meremajakan Metromini, pengadaan 1.000 bus Transjakarta, menggaji pemulung Rp 2 juta per bulan,memutuskan kelanjutan MRT dan monorel pada Januari, membeli PPD dari Kementerian BUMN, dan menolak jalan tol enam jalur.
Selain itu, ia juga menjanjikan kesehatan dan pendidikan gratis, serta jaminan oleh pemda atas kredit warga tertentu di bank dan menanggung bunga pinjaman (Tempo, 21/1/2013). Janji-janji tersebut telah melambungkan harapan masyarakat yang pada gilirannya justru akan memberatkan Jokowi-Ahok sendiri.Apalagi dalam konteks kepemimpinan publik, pernyataan yang disampaikan di depan publik merupakan janji di mana masyarakat berhak menuntutnya,karena pemimpin mempunyai otoritas yang besar dan diskresi yang luas.
Mengaca pada fenomena di atas Jokowi-Ahok perlu lebih serius mengelola harapan masyarakat. Kalaupun harus melemparkan janji, perlu diyakini agar janji-janji tersebut terukur dan realistis.Ia bisa disampaikan apabila mayoritas variabel, katakanlah 85%, yang diperlukan untuk mewujudkannya sudah berada dalam genggaman.
Objektif, Simpel, dan Kredibel
Bekerja keras untuk mengurangi gap antara harapan dan kenyataan merupakan esensi kepemimpinan dan cara paling mujarab untuk menjaga kepercayaan publik.Sebagai pemimpin, Jokowi-Ahok mempunyai alat yang disebut kebijakan publik. Alat ini sangat kuat.Ia tidak saja sanggup mengubah fisik Jakarta,tetapi juga budaya dan perilaku warga yang tinggal di dalamnya asalkan tiga syarat terpenuhi, yaitu objektif, simpel, dan kredibel.
Kebijakan harus objektif, artinya ditujukan untuk kepentingan masyarakat bukan kelompok tertentu saja.Ini merupakan esensi penting kepemimpinan publik yaitu berdiri di atas semua golongan.Kebijakan juga harus simpel,untuk mempermudah implementasi di lapangan sekaligus mengurangi potensi salah persepsi di kalangan publik yang berujung pada resistensi. Selain itu, kebijakan juga harus kredibel.
Selain untuk mendapatkan impact yang sesuai harapan, hal ini juga penting guna meyakinkan para pemangku kepentingan, termasuk di antaranya politisi,pemerintah pusat, kalangan bisnis, dan masyarakat. Kredibilitas akan hadir jika kebijakan disusun berdasarkan data yang sahih dan melalui perhitungan yang masak. Dalam seratus hari kepemimpinan Jokowi-Ahok, terlihat jelas bahwa umumnya pernyataan atau kebijakan mereka memenuhi dua kriteria, yaitu objektif dan simpel; yang dikomunikasikan dengan gaya yang mudah dipahami.
Sayangnya, cukup banyak yang belum memenuhi aspek ketiga, yaitu kredibilitas. Sebagai contoh, Kartu Jakarta Pintar termasuk kebijakan yang kurang kredibel, terutama dalam konteks penerapan good governance. Kartu Jakarta Sehat setali tiga uang. Cukup banyak kalangan menengah- atas yang menerima kartu ini. Singkatnya, kedua kebijakan berpotensi menyuburkan moral hazardyang akan terlalu membebani APBD.
Rencana Jokowi tentang deep tunnel senilai Rp16 triliun serta keyakinan Jokowi bahwa investor akan mengantre begitu proyek tersebut diumumkan pada Januari 2013, perlu dijadikan catatan dan dijadikan pembelajaran.Deep tunnel ternyata sudah lama dijadikan studi dan dianggap tidak layak. Pernyataan tentang investor yang akan mengantre juga berlawanan dengan fakta di lapangan, terkait begitu sulitnya mencari investor untuk proyek infrastruktur di Indonesia.
Terlepas dari berbagai catatan di atas, Jokowi-Ahok patut diapresiasi atas berbagai terobosan dan kesungguhan yang telah ditunjukkan.Paling tidak mereka membawa angin segar dan harapan baru bagi masyarakat Jakarta. Karena Jokowi-Ahok bukan Superman yang selalu mampu mengatasi masalah, mereka perlu menerapkan strategi yang lebih matang baik dalam me-manage harapan masyarakat dan dalam menyusun kebijakan publik beserta implementasinya. Semoga “bulan madu” Jokowi-Ahok dan masyarakat Jakarta akan berlangsung lama,syukur-syukur hingga masa jabatan berakhir. Selamat berkarya,Pak!
WIJAYANTO SAMIRIN
Deputi Rektor Universitas Paramadina; Co-founder &
Managing Director Paramadina Public Policy Institute Twitter: @wija_samirin
(mhd)