Berpolitik untuk Apa?
A
A
A
Berpolitik dan berpartai politik untuk apa? Pertanyaan inilah yang patut ditelaah politisi. Apakah mereka terjun untuk tujuan politik sesungguhnya yang sejatinya sangat mulia yakni untuk membangun bangsa, masyarakat, atau mereduksinya menjadi kepentingan yang sangat sempit yakni kepentingan kelompok atau diri sendiri.
Pertanyaan ini relevan untuk disampaikan terkait gonjang-ganjing yang menimpa Partai NasDem. Partai yang sebenarnya sangat potensial menjadi the big five pada Pemilu 2014 nanti harus ditinggalkan Ketua Dewan Pakar Hary Tanoesoedibjo (HT) dan beberapa tokoh yang selama ini dikenal sebagai motor pergerakan NasDem yakni Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq, Wakil Sekretaris Jenderal Saiful Haq, dan Ketua Internal DPP Endang Tirtana.
CEO MNC grup itu memilih keluar dari partai yang sebenarnya sangat dibanggakan dan dia harapkan sebagai motor perubahan untuk masa depan bangsa lebih baik ternyata melenceng dari desain ideal yang diharapkan. Hal ini terkait ambisi Surya Paloh untuk merebut posisi ketua umum dan merombak kepengurusan DPP yang diisi kalangan muda dan selama ini sudah menunjukkan kinerja sangat baik. Jika dilihat dari fakta di lapangan, hal tersebut bukanlah isapan jempol.
Sejak HT masuk dan melakukan pembenahan dengan segala pikiran, dana, dan kekuatan jaringan informasi yang dimilikinya, Partai NasDem bukan hanya tampil sebagai satusatunya partai politik yang lolos verifikasi, melainkan konsisten menunjukkan kenaikan elektabilitas. Pada Januari 2012 misalnya survei yang dilakukan CSIS menemukan elektabilitas NasDem hanya sebesar 1,6 persen.
Tak berselang lama, LSI yang melakukan survei pada periode Februari hingga Maret 2012 secara mengejutkan mendapatkan fakta NasDem menerobos empat besar di bawah Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat dengan dukungan 5,9 persen.
Sedangkan Ahmad Rofiq menyatakan keluar dari NasDem karena prihatin dengan sikap-sikap dan cara kerja Surya Paloh dan pengikutnya dalam berpartai yakni menabrak aturan AD/ART partai.
Berbagai ambisi politik juga diwujudkan dengan pola pemaksaan kehendak atau otoriter. Jika melihat alasan HT, Ahmad Rofiq, dan lainnya keluar NasDem dan fakta perkembangan NasDem yang sangat impresif dan terbukti mampu memprovokasi gerakan perubahan sebagai isu penting menghadapi 2014, sangat sulit dipahami urgensi perombakan kepengurusan partai tersebut.
Sebaliknya, yang terlihat adalah masuknya kelompok tua yang menggusur kalangan muda yang bersemangat membawa idealisme dan masuknya avonturir politik yang tidak mau berkeringat, tapi hanya ingin menikmati madu politik.
Kalau demikian adanya, kembali lagi pada pertanyaan awal, untuk apa berpolitik dan berpartai politik? Idealnya, seperti tercantum dalam UU No 2/2008, politik diarahkan untuk tujuan seperti mewujudkan cita-cita bangsa, menjaga NKRI, mengembangkan demokrasi, mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan membangun etika dan budaya politik. Tujuan tersebut mustahil bisa diwujudkan bila di level internal partai politik sendiri tidak bisa membangun demokrasi dan etika yang baik sesuai AD/ART.
Belum lagi jika kemudian motivasi dan orientasi politik orang-orang yang menguasai partai politik, termasuk NasDem, hanya berdasar ambisi kekuasaan,kapitalisasi kekuasaan,atau bahkan politik transaksional, maka yang muncul adalah residu politik.
Misi restorasi atau perubahan semestinya bisa menjadi godam untuk kembali menggairahkan minat masyarakat dalam berpolitik yang saat ini berada di titik nadir terendah sebagai buah perilaku koruptif dan pragmatis sebagian politisi. Tetapi, dengan melihat perkembangan terakhir, misi tersebut tidak lebih dari isu yang dijual dan sebagai kamuflase untuk mengelabui masyarakat dan melanggengkan sisi gelap politik.
Pertanyaan ini relevan untuk disampaikan terkait gonjang-ganjing yang menimpa Partai NasDem. Partai yang sebenarnya sangat potensial menjadi the big five pada Pemilu 2014 nanti harus ditinggalkan Ketua Dewan Pakar Hary Tanoesoedibjo (HT) dan beberapa tokoh yang selama ini dikenal sebagai motor pergerakan NasDem yakni Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq, Wakil Sekretaris Jenderal Saiful Haq, dan Ketua Internal DPP Endang Tirtana.
CEO MNC grup itu memilih keluar dari partai yang sebenarnya sangat dibanggakan dan dia harapkan sebagai motor perubahan untuk masa depan bangsa lebih baik ternyata melenceng dari desain ideal yang diharapkan. Hal ini terkait ambisi Surya Paloh untuk merebut posisi ketua umum dan merombak kepengurusan DPP yang diisi kalangan muda dan selama ini sudah menunjukkan kinerja sangat baik. Jika dilihat dari fakta di lapangan, hal tersebut bukanlah isapan jempol.
Sejak HT masuk dan melakukan pembenahan dengan segala pikiran, dana, dan kekuatan jaringan informasi yang dimilikinya, Partai NasDem bukan hanya tampil sebagai satusatunya partai politik yang lolos verifikasi, melainkan konsisten menunjukkan kenaikan elektabilitas. Pada Januari 2012 misalnya survei yang dilakukan CSIS menemukan elektabilitas NasDem hanya sebesar 1,6 persen.
Tak berselang lama, LSI yang melakukan survei pada periode Februari hingga Maret 2012 secara mengejutkan mendapatkan fakta NasDem menerobos empat besar di bawah Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat dengan dukungan 5,9 persen.
Sedangkan Ahmad Rofiq menyatakan keluar dari NasDem karena prihatin dengan sikap-sikap dan cara kerja Surya Paloh dan pengikutnya dalam berpartai yakni menabrak aturan AD/ART partai.
Berbagai ambisi politik juga diwujudkan dengan pola pemaksaan kehendak atau otoriter. Jika melihat alasan HT, Ahmad Rofiq, dan lainnya keluar NasDem dan fakta perkembangan NasDem yang sangat impresif dan terbukti mampu memprovokasi gerakan perubahan sebagai isu penting menghadapi 2014, sangat sulit dipahami urgensi perombakan kepengurusan partai tersebut.
Sebaliknya, yang terlihat adalah masuknya kelompok tua yang menggusur kalangan muda yang bersemangat membawa idealisme dan masuknya avonturir politik yang tidak mau berkeringat, tapi hanya ingin menikmati madu politik.
Kalau demikian adanya, kembali lagi pada pertanyaan awal, untuk apa berpolitik dan berpartai politik? Idealnya, seperti tercantum dalam UU No 2/2008, politik diarahkan untuk tujuan seperti mewujudkan cita-cita bangsa, menjaga NKRI, mengembangkan demokrasi, mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan membangun etika dan budaya politik. Tujuan tersebut mustahil bisa diwujudkan bila di level internal partai politik sendiri tidak bisa membangun demokrasi dan etika yang baik sesuai AD/ART.
Belum lagi jika kemudian motivasi dan orientasi politik orang-orang yang menguasai partai politik, termasuk NasDem, hanya berdasar ambisi kekuasaan,kapitalisasi kekuasaan,atau bahkan politik transaksional, maka yang muncul adalah residu politik.
Misi restorasi atau perubahan semestinya bisa menjadi godam untuk kembali menggairahkan minat masyarakat dalam berpolitik yang saat ini berada di titik nadir terendah sebagai buah perilaku koruptif dan pragmatis sebagian politisi. Tetapi, dengan melihat perkembangan terakhir, misi tersebut tidak lebih dari isu yang dijual dan sebagai kamuflase untuk mengelabui masyarakat dan melanggengkan sisi gelap politik.
(lns)