Membela korban, mengutuk pemerkosaan

Kamis, 17 Januari 2013 - 07:38 WIB
Membela korban, mengutuk...
Membela korban, mengutuk pemerkosaan
A A A
Kegeraman masyarakat kepada M Daming Sunusi, calon hakim agung dalam uji kelaikan, bisa dimengerti dan bisa dipahami. “Damned” Sunusi seolah tokoh terkutuk di saat masyarakat begitu suntuk, terlukai nuraninya dengan kasus-kasus pemerkosaan yang terkulai tanpa pemecahan yang diharapkan.

Contoh paling menyakitkan sekaligus mengerikan adalah dugaan pemerkosaan kepada RI, gadis berusia 10 tahun yang belum mengalami menstruasi, dengan penderitaan alat vitalnya membusuk bagai borok selama dua bulan sebelum akhirnya gadis RI-saya menerjemahkan nama panjangnya adalah Republik Indonesia-meninggal dunia. Ada dua hal yang harus ditindaklanjuti. Bagaimana membela korban dan terutama melindungi calon-calon korban, selain mengutuk kasus pemerkosaan yang masih terjadi ketika kekuatan lebih bisa menindih kelemahan.

Memilih Bungkam

Dalam salah satu bincangbincang di televisi, dan bukan hanya sekali, saya menggolongkan pemerkosaan adalah tindakan biadab yang menghancurkan kemanusiaan, sebagaimana kasus narkoba, korupsi, dan terorisme, sehingga perlu penanganan khusus meskipun tidak selalu berarti adanya Forum Pembela Korban Pemerkosaan. Dalam dunia kriminalis,pemerkosaan adalah kasus yang paling dikutuk.

Bahkan para penjahat pun amat sangat mengutuk dan memerangi. Tersangka kasus pemerkosaan akan ditempatkan di sel isolasi yang tak mudah didatangi napi lain. Para napi lain berhak memerkosanya dan atau yang ringan memaksa melakukan onani dengan daun sembukan yang gatal atau minyak gosok panas sampai yang keluar hanyalah angin.

Tak ada toleransi sama sekali untuk kasus “belah duren”. Para kriminalis menemukan tata cara sendiri untuk memberi hukuman yang menjerakan dan memenuhi pelampiasan kegeramannya. Sementara di luar itu,di dunia yang lebih beradab dengan tertib hukum, urusannya panjang dan berbelit-belit. Apa yang dikatakan “Damning” Sunusi,“... yang diperkosa dengan yang memerkosa ini samasama menikmati...,” mencerminkan hal ini. Korban pemerkosaan yang ikut bergerakgerak ketika diperkosa bisa dinilai ikut menikmati.

Korban yang melepas sendiri celana dalamnya dianggap suka sama suka. Korban tidak melawan ketika datang ke lokasi pemerkosaan dianggap mengetahui dan menyetujui. Dan berbagai ayat atau pasal yang melemahkan kasus pemerkosaan ini. Semua bisa terjadi di awal ketika polisi memeriksa. Sang korban yang dalam keadaan kalah, salah, hina, malu ditanya ulang bagaimana prosesnya, direkonstruksi kejadiannya dan diperagakan. Yang kesemuanya itu membuat korban dan atau keluarganya memilih lebih baik diam dan tidak melaporkan.

Memilih Bersuara

Barang kali film The Accused (1988) yang dibuat berdasarkan kisah sebenarnya lima tahun sebelumnya bisa memberi gambaran betapa korban menjadi putus asa lantaran menjalani pemeriksaan karena dianggap tahu risiko datang ke sebuah bar dan menari-nari, yang bisa diartikan “asking for it”. Korban yang gadis kelas pekerja biasa-diperankan oleh Jodie Foster dan meraih Piala Oscar-terlukai berkalikali perasaannya dan dihina lingkungannya.

Sampai sang jaksa dengan berani-yang diperankan seorang yang mengalami pemerkosaan-dan meyakinkan korban untuk maju ke sidang. Tiga pemerkosa berhasil dipenjarakan dan mereka yang tertawa-tawa gembira melihat pemerkosaan-bukan anggota DPR, mereka pelanggan di bar tersebut-juga kena sanksi . Bisa jadi inilah yang harus dilakukan di negeri ini. Selain mencemooh hakim yang tidak memberi contoh baik, juga memihak korban.

Terutama mengenai pasal atau ayat atau model pemeriksaan yang tidak menghinakan kesekian kalinya. Terobosan hukum menjadi lebih penting,di samping memperlihatkan kegeraman. Dan itu dengan segera dengan terjabarkan sebagai bentuk operasional. Keterpihakan pada korban adalah mutlak dan hanya bisa mempunyai makna manakala unsur pendukungnya nyata. Dengan begitu,kita bisa mengurangi dosa kita bersama atas terjadinya kasus-kasus pemerkosaan, penderitaan sampai mati seorang gadis kecil dari keluarga pemulung yang menjadi sia-sia. Bersuara dengan tindakan dan bukan sekadar menyalahkan.

ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
(rsa)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0840 seconds (0.1#10.140)