Minimnya daya serap anggaran
A
A
A
Beberapa waktu lalu sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) merilis kementerian yang dianggap memiliki kinerja jelek dengan dasar tingkat penyerapan anggaran yang cukup rendah.
Parahnya lagi, total realisasi belanja kementerian baru mencapai sekitar 70% atau masih ada sekitar Rp300 triliun yang harus dibelanjakan selama sebulan terakhir tahun 2012 lalu. Namun, perlu kita ketahui bersama bahwa pengukuran kinerja dengan dasar penyerapan anggaran bukan suatu hal yang tepat.
Sangatlah sulit menentukan kinerja para menteri dengan dasar terserap atau tidaknya anggaran. Menghubungkan uang dan kinerja dalam pemerintahan bukan perkara gampang. Hasil akhir dari kinerja pemerintah atau kementerian adalah outcome dan output, di mana outcome dan output tersebut susah sekali dinilai dengan uang.
Misal dari outcome adalah warga merasa nyaman dengan teratasinya banjir di Jakarta.Adapun contoh dari output yaitu banyaknya sumur resapan yang berhasil dibangun di Jakarta. Menurut ahli dari University of Birmingham, Profesor Rowan Jones, penggunaan anggaran dengan dasar “daripada tidak terserap atau tidak dibelanjakan” hanya akan memicu belanja yang terlalu boros atau terlalu mewah yang sebenarnya kurang begitu dibutuhkan masyarakat.
Lagipula, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tentunya akan sangat tergesa-gesa dan penyedia barang dan jasa pasti akan dipressure habishabisan. Beberapa hal perlu dicermati sebelum menilai kekurangan kinerja menteri, di antaranya proses penyetujuan anggaran ataupun proyek yang terlalu lama mengendap di Dewan.
Fenomena ini sudah sejak lama dilaporkan oleh World Bank dalam Public Expenditure and Financial Accountability in Indonesia2007.Anggota Dewan memiliki kekuasaan yang besar dalam penentuan dan perubahan anggaran. Dominasi anggota Dewan tersebut tentu akan sangat memengaruhi ketepatwaktuan penyerapan anggaran kementerian. Apabila reviu dan persetujuan anggaran atau proyek bisa dilakukan dengan cepat, kemungkinan keterlambatan penyerapan bisa dihindari.
Kapabilitas anggota Dewan tentunya akan sangat memengaruhi proses tersebut. Di samping itu,ada kemungkinan lain untuk bargain tindak penyimpangan, terutama soal penunjukan rekanan dan modusmodus lain. Kedua, rumitnya proses pengadaan barang dan jasa juga akan memengaruhi tingkat penyerapan.Tidak hanya rumit,waktu juga bisa menjadi penghambat.Tender pengadaan barang dan jasa yang cukup besar bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan.
Memang perlu diakui bahwa adanya siklus anggaran tahunan menjadi problem utama dalam hal ini.Belanja anggaran tentunya tidak bisa disamaratakan tiap bulan karena karakter belanja masing-masing pos itu sendiri bisa berbedabeda. Ketidakpastian menjadi satu hal yang menyebabkan susahnya penyamarataan belanja setiap bulannya.
Ambil contoh di Inggris,anggaran untuk mengatasi salju yang menumpuk di jalanan tentu tidak bisa dipastikan sampai musim dingin di akhir tahun tiba. Apabila salju diprediksi sangat lebat,tentu anggaran yang diperlukan untuk menyebar garam di jalanan dan mengeruk salju akan sangat besar.Namun apabila salju yang turun cukup tipis,tentu anggaran kementerian terkait penanggulangan salju yang sudah disiapkan setahun sebelumnya akan menjadi underspending atau tidak terserap.
Dengan tidak terserapnya anggaran tersebut, sekali lagi,bukan berarti kinerja menteri tersebut dianggap kurang. Kesimpulannya,penundaan atau budget freezing di Dewan, rumit dan lamanya proses pengadaan barang dan jasa,dan munculnya ketidakpastian menjadikan poin utama tidak terserapnya anggaran. Karena itu, sudah menjadi hal yang biasa diakhir tahun pemerintah atau kementerian ngebut menghabiskan anggaran.
Memang inilah yang memicu munculnya “hurry up spending”atau “year end rush”.Karena itu, terjadilah pemborosan dan tidak didasarkan pada prioritas program. Misalnya saja belanja komputer atau laptop yang sebetulnya cukup menggunakan notebook seharga sekitar Rp3 juta diubah menjadi laptop Rp10 juta. Prioritas program tentunya juga akan dikesampingkan mengingat terbatasnya waktu yang tersedia.
Merujuk pendapat Profesor Alen Shick, anggaran total atau bahkan sektoral harus dipatok limitnya. Akan tetapi, fleksibilitas tetap bisa dipenuhi dengan adanya realokasi anggaran antarmenteri. Apabila ada kementerian yang sejak awal sudah bisa disinyalir underspending atau tidak bisa menghabiskan anggaran, anggarannya bisa direalokasikan ke kementerian lain. Tentunya realokasi anggaran harus didasarkan atas prioritas program nasional.
Selain itu, realokasi anggaran mestinya berasal dari kementerian yang kurang produktif ke kementerian yang lebih produktif atau ke kementerian yang sedang membutuhkan anggaran untuk mengatasi, misalnya,bencana alam. Banjir di Jakarta sebagai contoh, sangat baik apabila anggaran kementerian yang masih underspending direalokasikan ke kementerian terkait yang bertugas mengurai masalah banjir.
Selain itu, perpanjangan waktu juga bisa dilaksanakan untuk menyerap anggaran, misalkan daripada kementerian underspending, lebih baik tenggat waktu diundur satu bulan, dengan syarat akhir tahun sudah dimulai proses pengadaan barang dan jasa. Terkait dengan pengukuran kinerja kementerian, akan lebih pas apabila pengukuran kinerja menteri didasarkan pada indikator berupa target yang telah disepakati.
Indikator tersebut akan lebih baik bila dipublikasikan di media dan website masing-masing kementerian. Karena dalam dunia pemerintahan hasil kerja berupa output dan outcome susah sekali dinilai dengan uang, maka indikator bisa digunakan sebagai pengukuran kinerja secara tidak langsung. Indikator dan target tersebut mestinya bersifat kuantitatif yang bisa meminimalisasi unsur subjektivitas dalam penilaian kinerja kementerian.
Tidak berhenti sampai di indikator dan target saja yang dipublikasikan, tetapi laporan hasil pencapaian target juga mestinya dipublikasikan di website masing-masing kementerian. Tentunya pencapaian target tersebut perlu diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor eksternalnya kementerian sehingga laporan pencapaian hasil benar-benar dapat diandalkan. Dengan demikian, publik bisa menilai kinerja pemerintah dengan lebih objektif.
IBRAHIM F WIJAYA
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Master Akuntansi Sektor Publik dari University of Birmingham, Inggris
Parahnya lagi, total realisasi belanja kementerian baru mencapai sekitar 70% atau masih ada sekitar Rp300 triliun yang harus dibelanjakan selama sebulan terakhir tahun 2012 lalu. Namun, perlu kita ketahui bersama bahwa pengukuran kinerja dengan dasar penyerapan anggaran bukan suatu hal yang tepat.
Sangatlah sulit menentukan kinerja para menteri dengan dasar terserap atau tidaknya anggaran. Menghubungkan uang dan kinerja dalam pemerintahan bukan perkara gampang. Hasil akhir dari kinerja pemerintah atau kementerian adalah outcome dan output, di mana outcome dan output tersebut susah sekali dinilai dengan uang.
Misal dari outcome adalah warga merasa nyaman dengan teratasinya banjir di Jakarta.Adapun contoh dari output yaitu banyaknya sumur resapan yang berhasil dibangun di Jakarta. Menurut ahli dari University of Birmingham, Profesor Rowan Jones, penggunaan anggaran dengan dasar “daripada tidak terserap atau tidak dibelanjakan” hanya akan memicu belanja yang terlalu boros atau terlalu mewah yang sebenarnya kurang begitu dibutuhkan masyarakat.
Lagipula, pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tentunya akan sangat tergesa-gesa dan penyedia barang dan jasa pasti akan dipressure habishabisan. Beberapa hal perlu dicermati sebelum menilai kekurangan kinerja menteri, di antaranya proses penyetujuan anggaran ataupun proyek yang terlalu lama mengendap di Dewan.
Fenomena ini sudah sejak lama dilaporkan oleh World Bank dalam Public Expenditure and Financial Accountability in Indonesia2007.Anggota Dewan memiliki kekuasaan yang besar dalam penentuan dan perubahan anggaran. Dominasi anggota Dewan tersebut tentu akan sangat memengaruhi ketepatwaktuan penyerapan anggaran kementerian. Apabila reviu dan persetujuan anggaran atau proyek bisa dilakukan dengan cepat, kemungkinan keterlambatan penyerapan bisa dihindari.
Kapabilitas anggota Dewan tentunya akan sangat memengaruhi proses tersebut. Di samping itu,ada kemungkinan lain untuk bargain tindak penyimpangan, terutama soal penunjukan rekanan dan modusmodus lain. Kedua, rumitnya proses pengadaan barang dan jasa juga akan memengaruhi tingkat penyerapan.Tidak hanya rumit,waktu juga bisa menjadi penghambat.Tender pengadaan barang dan jasa yang cukup besar bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan.
Memang perlu diakui bahwa adanya siklus anggaran tahunan menjadi problem utama dalam hal ini.Belanja anggaran tentunya tidak bisa disamaratakan tiap bulan karena karakter belanja masing-masing pos itu sendiri bisa berbedabeda. Ketidakpastian menjadi satu hal yang menyebabkan susahnya penyamarataan belanja setiap bulannya.
Ambil contoh di Inggris,anggaran untuk mengatasi salju yang menumpuk di jalanan tentu tidak bisa dipastikan sampai musim dingin di akhir tahun tiba. Apabila salju diprediksi sangat lebat,tentu anggaran yang diperlukan untuk menyebar garam di jalanan dan mengeruk salju akan sangat besar.Namun apabila salju yang turun cukup tipis,tentu anggaran kementerian terkait penanggulangan salju yang sudah disiapkan setahun sebelumnya akan menjadi underspending atau tidak terserap.
Dengan tidak terserapnya anggaran tersebut, sekali lagi,bukan berarti kinerja menteri tersebut dianggap kurang. Kesimpulannya,penundaan atau budget freezing di Dewan, rumit dan lamanya proses pengadaan barang dan jasa,dan munculnya ketidakpastian menjadikan poin utama tidak terserapnya anggaran. Karena itu, sudah menjadi hal yang biasa diakhir tahun pemerintah atau kementerian ngebut menghabiskan anggaran.
Memang inilah yang memicu munculnya “hurry up spending”atau “year end rush”.Karena itu, terjadilah pemborosan dan tidak didasarkan pada prioritas program. Misalnya saja belanja komputer atau laptop yang sebetulnya cukup menggunakan notebook seharga sekitar Rp3 juta diubah menjadi laptop Rp10 juta. Prioritas program tentunya juga akan dikesampingkan mengingat terbatasnya waktu yang tersedia.
Merujuk pendapat Profesor Alen Shick, anggaran total atau bahkan sektoral harus dipatok limitnya. Akan tetapi, fleksibilitas tetap bisa dipenuhi dengan adanya realokasi anggaran antarmenteri. Apabila ada kementerian yang sejak awal sudah bisa disinyalir underspending atau tidak bisa menghabiskan anggaran, anggarannya bisa direalokasikan ke kementerian lain. Tentunya realokasi anggaran harus didasarkan atas prioritas program nasional.
Selain itu, realokasi anggaran mestinya berasal dari kementerian yang kurang produktif ke kementerian yang lebih produktif atau ke kementerian yang sedang membutuhkan anggaran untuk mengatasi, misalnya,bencana alam. Banjir di Jakarta sebagai contoh, sangat baik apabila anggaran kementerian yang masih underspending direalokasikan ke kementerian terkait yang bertugas mengurai masalah banjir.
Selain itu, perpanjangan waktu juga bisa dilaksanakan untuk menyerap anggaran, misalkan daripada kementerian underspending, lebih baik tenggat waktu diundur satu bulan, dengan syarat akhir tahun sudah dimulai proses pengadaan barang dan jasa. Terkait dengan pengukuran kinerja kementerian, akan lebih pas apabila pengukuran kinerja menteri didasarkan pada indikator berupa target yang telah disepakati.
Indikator tersebut akan lebih baik bila dipublikasikan di media dan website masing-masing kementerian. Karena dalam dunia pemerintahan hasil kerja berupa output dan outcome susah sekali dinilai dengan uang, maka indikator bisa digunakan sebagai pengukuran kinerja secara tidak langsung. Indikator dan target tersebut mestinya bersifat kuantitatif yang bisa meminimalisasi unsur subjektivitas dalam penilaian kinerja kementerian.
Tidak berhenti sampai di indikator dan target saja yang dipublikasikan, tetapi laporan hasil pencapaian target juga mestinya dipublikasikan di website masing-masing kementerian. Tentunya pencapaian target tersebut perlu diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor eksternalnya kementerian sehingga laporan pencapaian hasil benar-benar dapat diandalkan. Dengan demikian, publik bisa menilai kinerja pemerintah dengan lebih objektif.
IBRAHIM F WIJAYA
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Master Akuntansi Sektor Publik dari University of Birmingham, Inggris
(mhd)