Realisasi pajak melenceng

Selasa, 08 Januari 2013 - 06:29 WIB
Realisasi pajak melenceng
Realisasi pajak melenceng
A A A
Pelaku usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun siap-siap menerima kunjungan petugas pajak. Meski draf peraturan pemerintah (PP) masih dirumuskan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memastikan aturan tersebut sudah bisa diberlakukan tahun ini.

Pelaku usaha dengan omzet sebesar itu akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 1 persen. Kelompok usaha yang kena pajak itu bukan masuk kategori mikro, Ditjen Pajak menggolongkan sebagai kelompok usaha yang tidak terorganisasi dengan pekerja terbatas, tetapi memiliki omzet yang besar.

Untuk kelompok usaha tersebut, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany mengaku belum memiliki angka akurat seberapa banyak jumlahnya, karena data dari Kementerian Koperasi dan UKM masih diragukan keabsahannya. Dengan kebijakan baru tersebut,Dirjen Pajak meyakini akan berdampak terhadap penerimaan pajak.

“Kita meyakini di sini ada potensi perpajakan,” tegas Fuad, yang percaya pengenaan pajak terhadap pelaku usaha dengan omzet minimal Rp4,8 miliar itu tidak memberatkan.

Selama ini, pelaku usaha yang beromzet besar tersebut memang belum tersentuh. Padahal, pemerintah sedang menggenjot penerimaan pajak yang belakangan semakin jauh dari pemenuhan target.

Tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.178,9 triliun atau 70 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp1.683 triliun.

Ironisnya, target pajak yang terus membengkak dari tahun ke tahun tidak berkorelasi langsung terhadap penerimaan.Tengok saja pemerintah mematok target pajak tahun lalu sebesar Rp1.106 triliun, tetapi realisasi penerimaan hanya mencapai sebesar Rp980 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dipublikasikan awal tahun ini,pendapatan pajak hanya terealisasi sekitar 96,1 persen dari APBN Perubahan tahun lalu.

Sebelumnya, Dirjen Pajak sudah “berteriak” bahwa target penerimaan pajak 2012 tidak akan mencapai target. Hal itu dipicu anjloknya nilai ekspor Indonesia dan penurunan harga komoditas tambang di pasar internasional sebagai dampak dari perlambatan krisis ekonomi global, di mana negara-negara tujuan ekspor terpukul krisis tersebut terutama untuk produk tekstil, elektronik, hingga hasil tambang.

“Sektor pertambangan dan manufaktur khususnya yang berorientasi ekspor, paling anjlok penerimaan pajaknya,” jelas Fuad menjelang tutup tahun lalu.

Penerimaan pajak di bawah target yang dipatok pemerintah untuk tahun 2012 bukan sekadar dampak dari krisis perekonomian global yang berkepanjangan,namun juga masih terkendala dengan rendahnya kesadaran masyarakat melaksanakan kewajiban membayar pajak.

Dari 60 juta penduduk yang dinyatakan mampu membayar pajak, realisasinya tidak lebih dari 25 juta. Hal itu sangat menggemaskan bagi petugas pajak yang dipatok menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi.

Bila dibandingkan sejumlah negara di kawasan ASEAN, kesadaran masyarakat untuk membayar pajak belum bisa dibanggakan. Kepatuhan masyarakat membayar pajak di Malaysia sudah mencapai 80 persen dari total wajib pajak.

Kabarnya, para wajib pajak di negeri jiran itu takut berurusan dengan pihak keamanan jika melalaikan kewajibannya untuk membayar pajak. Dan, di negara-negara maju, sistem penarikan pajak memang melibatkan pihak penegak hukum sehingga ada unsur “pemaksaan” bagi wajib pajak. Sementara itu di Indonesia, yang terjadi sebaliknya.

Sebagaimana selalu dikeluhkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, tidak sedikit wajib pajak justru berlindung di balik lingkungan legislatif dan penegak hukum untuk menghindari kewajiban membayar pajak.

Nah, ini pekerjaan rumah baru lagi yang harus diselesaikan pemerintah agar penarikan pajak tahun ini tidak membleseperti tahun lalu.

DJOKO SANTOSO
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud
PjS Rektor UI, Mantan Rektor ITB
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6112 seconds (0.1#10.140)