Tahun pecah kongsi
A
A
A
Tahun 2012 baru saja berlalu meninggalkan kita. Biasanya, setiap menuju pergantian tahun, selalu ada upaya untuk melakukan perenungan tentang capaian sepanjang tahun yang ditinggalkan.
Tidak hanya sebatas keberhasilan, kegagalan juga menjadi renungan hingga tak terulang lagi pada tahun yang baru menghampiri. Semua itu dilakukan agar tahun yang baru dijalani lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Paling tidak, tahun baru tidak lebih buruk dari tahun sebelumnya.
Apabila diletakkan dalam konteks kehidupan bernegara, berkaca dari perkembangan yang terjadi sepanjang 2012 dan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini menjadi sebuah periode menarik melihat relasi internal pemerintah (eksekutif).
Sebagai sebuah rezim yang dibangun di dalam bingkai koalisi,banyak pihak yakin bahwa tahun ini akan terjadi pembelahan secara terbuka di jajaran eksekutif (divided executive).
Karenanya, sulit mengharapkan pengelolaan pemerintahan akan lebih baik dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Bahkan, dengan telah dimulainya tahapan krusial menuju Pemilu 2014, tahun ini bisa lebih parah dibandingkan tahun 2012.
Bukan tak mungkin, warning Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar anggota kabinet bekerja mati-matian dan tuntas dalam waktu dua tahun ke depan menjadi gambaran adanya kekhawatiran atas ancaman menurunnya kinerja pembantu presiden.
Apabila dilacak perjalanan kabinet selama dua tahun terakhir, peringatan itu tidak mungkin lepas dari keluhan Presiden SBY atas kinerja sejumlah menteri.
Tidak belajar
Sejak awal, banyak pihak mengingatkan Presiden SBY agar tidak membangun koalisi yang tambun alias kedodoran (oversize coalition). Selain tidak mudah bergerak dengan lincah, koalisi tambun berpotensi membangun perangkap permanen dalam kabinet.
Peringatan akan ancaman tersebut bukan tanpa dasar sama sekali. Setidaknya, pengalaman yang terjadi selama pada periode pertama pemerintahan SBY menjadi bukti empirik betapa tidak mudah mengelola kabinet dengan koalisi tambun.
Ketika itu, karena hadir sebagai presiden minoritas (minority president) yang hanya didukung sekira 7 persen suara, SBY memilih merangkul sejumlah partai politik di DPR. Tujuannya jelas, agar pemerintahan SBY mendapatkan dukungan politik yang kuat guna menjalankan roda pemerintahan.
Namun, faktanya, pada salah satu sisi, dukungan yang diharapkan akan diraih dari partai politik itu tidak pernah dicapai. Sejauh yang terlihat di permukaan, koalisi yang dibangun SBY tidak mampu memuluskan semua kebijakan pemerintah di DPR.
Sementara itu, di sisi lain, sejumlah menteri yang berasal dari partai politik tidak pula bekerja sepenuh hati di kabinet. Di antara pemicunya, menteri yang berasal dari partai politik terjebak seperti bekerja di bawah dua kendali, yaitu sulit keluar dari pilihan setia pada partai politik atau setia pada presiden. Puncak dari situasi berada dalam kesetiaan yang terbelah tersebut terjadi ketika hari-hari mendekati Pemilu 2009.
Bagi sejumlah menteri,menunjukkan kesetiaan kepada partai politik mereka menjadi semacam modal dasar membuat perhitungan baru untuk meneruskan langkah politik setelah Pemilu 2009.
Amat disayangkan, pengalaman membentuk dan berada dalam kabinet pada periode pertama tersebut tidak dijadikan sebagai pelajaran penting bagi SBY ketika menyusun Kabinet Indonesia Bersatu II.
Padahal, secara politik, merujuk hasil Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat berjaya meraih suara terbesar di DPR dengan dukungan suara hampir lima kali hasil Pemilu 2004.
Lebih dari itu,SBY pun meraih dukungan suara di atas 60 persen dalam Pemilu Presiden 2009. Kedua raihan tersebut seharusnya menjadi modal besar untuk tidak terjebak kembali dalam sandera koalisi.
Dengan gagal memaknai dan memanfaatkan hasil yang dicapai dalam Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu Presiden 2009, Presiden SBY seperti sengaja membiarkan dirinya kembali masuk perangkap menjelang Pemilu 2009.
Bisa jadi, peringatan agar menteri bekerja matian-matian dalam sisa waktu dua tahun ke depan hanya akan menjadi imbauan. Apalagi, partai politik pendukung koalisi sudah memastikan bahwa SBY tidak lagi akan menjadi presiden pasca- Pemilu 2014.
Karena itu,ibarat sebuah pesan, peringatan SBY hanya akan masuk telinga kanan dan keluar di telinga kiri. Bagi sebagian anggota kabinet, terutama dari partai politik, ajaran klasik “kesetiaan kepada partai berakhir begitu pengabdian bagi negara dimulai” (my loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins) menjadi pesan yang jauh dari relevan.
Karenanya, semakin dekat dengan agenda pemilu, kesetiaan kepada pemerintah akan semakin sulit dipertahankan. Tidak hanya hubungan di dalam kabinet, hubungan dengan DPR pun akan mengalami penurunan secara drastis.
Karena, agenda itu, bila pun ada sebagian dari menteri yang tetap bertahan menjadi anggota kabinet, bukan tidak mungkin pilihan tersebut dilakukan untuk tetap membuka dan mempertahankan akses partai politik pada sumbersumber keuangan negara.
Jamak diketahui, sebagian partai politik tetap mengandalkan kader mereka yang duduk di pemerintahan sebagai salah satu aset berharga.
Evaluasi kabinet
Gangguan mendasar yang akan dihadapi Presiden SBY dalam hari-hari ke depan adalah keinginan partai politik di barisan koalisi menjadikan anggota kabinet sebagai calon anggota legislatif.
Dalam posisi menteri, kader partai politik yang berada di kabinet potensial menjadi target raupan suara (vote-getter) besar guna menambah jumlah kursi di DPR. Dengan adanya angka ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 3,5 persen, mengajukan calon yang dikenal luas di masyarakat menjadi kebutuhan mendesak.
Melacak perkembangan dalam beberapa waktu terakhir, keinginan menjadikan kader partai politik yang berada di kabinet sebagai calon anggota legislatif tidak hanya datang dari pendukung koalisi.
Dalam hal ini, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah mengisyaratkan bahwa kader partainya yang berada di kabinet segera bersiap menjadi calon anggota legislatif.
Terkait dengan hal ini, perhitungan partai politik yang lain tentunya tidak jauh berbeda dengan Anas. Apabila langkah ini diikuti partai politik yang lain, pertimbangan meraih suara sebanyak mungkin akan membawa kabinet dalam periode darurat.
Karena itu,sejak awal tahun ini, Presiden SBY seharusnya melakukan langkah antisipasi menghadapi situasi darurat itu. Keinginan untuk mengevaluasi kabinet tak cukup didasarkan pada kinerja menteri yang mengecewakan.
Apalagi hanya sebatas mengganti kursi yang ditinggalkan Andi Alifian Mallarangeng. Terkait dengan kemungkinan ini, Presiden SBY harus memastikan segera bahwa para menteri tidak akan mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik mereka dalam pemilu legislatif. Kepastian itu tidak hanya dari menteri bersangkutan, tetapi juga dari partai politik yang bersangkutan.
Sekiranya memang ada keinginan mereka maju sebagai calon anggota legislatif, jauh lebih baik mengganti mereka sejak awal tahun ini. Dengan mempercepat mengganti mereka, anggota kabinet yang baru masih memiliki waktu yang cukup untuk bekerja tuntas dan mati-matian hingga akhir kepemimpinan Presiden SBY, 20 Oktober 2014.
Tanpa langkah itu, penyelenggaraan pemerintahan akan semakin terampas oleh kepentingan menatap Pemilu 2014. Karenanya, diperlukan keberanian ekstra dari Presiden SBY untuk segera mengakhiri situasi pecah kongsi ini.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tidak hanya sebatas keberhasilan, kegagalan juga menjadi renungan hingga tak terulang lagi pada tahun yang baru menghampiri. Semua itu dilakukan agar tahun yang baru dijalani lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Paling tidak, tahun baru tidak lebih buruk dari tahun sebelumnya.
Apabila diletakkan dalam konteks kehidupan bernegara, berkaca dari perkembangan yang terjadi sepanjang 2012 dan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini menjadi sebuah periode menarik melihat relasi internal pemerintah (eksekutif).
Sebagai sebuah rezim yang dibangun di dalam bingkai koalisi,banyak pihak yakin bahwa tahun ini akan terjadi pembelahan secara terbuka di jajaran eksekutif (divided executive).
Karenanya, sulit mengharapkan pengelolaan pemerintahan akan lebih baik dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Bahkan, dengan telah dimulainya tahapan krusial menuju Pemilu 2014, tahun ini bisa lebih parah dibandingkan tahun 2012.
Bukan tak mungkin, warning Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar anggota kabinet bekerja mati-matian dan tuntas dalam waktu dua tahun ke depan menjadi gambaran adanya kekhawatiran atas ancaman menurunnya kinerja pembantu presiden.
Apabila dilacak perjalanan kabinet selama dua tahun terakhir, peringatan itu tidak mungkin lepas dari keluhan Presiden SBY atas kinerja sejumlah menteri.
Tidak belajar
Sejak awal, banyak pihak mengingatkan Presiden SBY agar tidak membangun koalisi yang tambun alias kedodoran (oversize coalition). Selain tidak mudah bergerak dengan lincah, koalisi tambun berpotensi membangun perangkap permanen dalam kabinet.
Peringatan akan ancaman tersebut bukan tanpa dasar sama sekali. Setidaknya, pengalaman yang terjadi selama pada periode pertama pemerintahan SBY menjadi bukti empirik betapa tidak mudah mengelola kabinet dengan koalisi tambun.
Ketika itu, karena hadir sebagai presiden minoritas (minority president) yang hanya didukung sekira 7 persen suara, SBY memilih merangkul sejumlah partai politik di DPR. Tujuannya jelas, agar pemerintahan SBY mendapatkan dukungan politik yang kuat guna menjalankan roda pemerintahan.
Namun, faktanya, pada salah satu sisi, dukungan yang diharapkan akan diraih dari partai politik itu tidak pernah dicapai. Sejauh yang terlihat di permukaan, koalisi yang dibangun SBY tidak mampu memuluskan semua kebijakan pemerintah di DPR.
Sementara itu, di sisi lain, sejumlah menteri yang berasal dari partai politik tidak pula bekerja sepenuh hati di kabinet. Di antara pemicunya, menteri yang berasal dari partai politik terjebak seperti bekerja di bawah dua kendali, yaitu sulit keluar dari pilihan setia pada partai politik atau setia pada presiden. Puncak dari situasi berada dalam kesetiaan yang terbelah tersebut terjadi ketika hari-hari mendekati Pemilu 2009.
Bagi sejumlah menteri,menunjukkan kesetiaan kepada partai politik mereka menjadi semacam modal dasar membuat perhitungan baru untuk meneruskan langkah politik setelah Pemilu 2009.
Amat disayangkan, pengalaman membentuk dan berada dalam kabinet pada periode pertama tersebut tidak dijadikan sebagai pelajaran penting bagi SBY ketika menyusun Kabinet Indonesia Bersatu II.
Padahal, secara politik, merujuk hasil Pemilu Legislatif 2009, Partai Demokrat berjaya meraih suara terbesar di DPR dengan dukungan suara hampir lima kali hasil Pemilu 2004.
Lebih dari itu,SBY pun meraih dukungan suara di atas 60 persen dalam Pemilu Presiden 2009. Kedua raihan tersebut seharusnya menjadi modal besar untuk tidak terjebak kembali dalam sandera koalisi.
Dengan gagal memaknai dan memanfaatkan hasil yang dicapai dalam Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu Presiden 2009, Presiden SBY seperti sengaja membiarkan dirinya kembali masuk perangkap menjelang Pemilu 2009.
Bisa jadi, peringatan agar menteri bekerja matian-matian dalam sisa waktu dua tahun ke depan hanya akan menjadi imbauan. Apalagi, partai politik pendukung koalisi sudah memastikan bahwa SBY tidak lagi akan menjadi presiden pasca- Pemilu 2014.
Karena itu,ibarat sebuah pesan, peringatan SBY hanya akan masuk telinga kanan dan keluar di telinga kiri. Bagi sebagian anggota kabinet, terutama dari partai politik, ajaran klasik “kesetiaan kepada partai berakhir begitu pengabdian bagi negara dimulai” (my loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins) menjadi pesan yang jauh dari relevan.
Karenanya, semakin dekat dengan agenda pemilu, kesetiaan kepada pemerintah akan semakin sulit dipertahankan. Tidak hanya hubungan di dalam kabinet, hubungan dengan DPR pun akan mengalami penurunan secara drastis.
Karena, agenda itu, bila pun ada sebagian dari menteri yang tetap bertahan menjadi anggota kabinet, bukan tidak mungkin pilihan tersebut dilakukan untuk tetap membuka dan mempertahankan akses partai politik pada sumbersumber keuangan negara.
Jamak diketahui, sebagian partai politik tetap mengandalkan kader mereka yang duduk di pemerintahan sebagai salah satu aset berharga.
Evaluasi kabinet
Gangguan mendasar yang akan dihadapi Presiden SBY dalam hari-hari ke depan adalah keinginan partai politik di barisan koalisi menjadikan anggota kabinet sebagai calon anggota legislatif.
Dalam posisi menteri, kader partai politik yang berada di kabinet potensial menjadi target raupan suara (vote-getter) besar guna menambah jumlah kursi di DPR. Dengan adanya angka ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 3,5 persen, mengajukan calon yang dikenal luas di masyarakat menjadi kebutuhan mendesak.
Melacak perkembangan dalam beberapa waktu terakhir, keinginan menjadikan kader partai politik yang berada di kabinet sebagai calon anggota legislatif tidak hanya datang dari pendukung koalisi.
Dalam hal ini, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah mengisyaratkan bahwa kader partainya yang berada di kabinet segera bersiap menjadi calon anggota legislatif.
Terkait dengan hal ini, perhitungan partai politik yang lain tentunya tidak jauh berbeda dengan Anas. Apabila langkah ini diikuti partai politik yang lain, pertimbangan meraih suara sebanyak mungkin akan membawa kabinet dalam periode darurat.
Karena itu,sejak awal tahun ini, Presiden SBY seharusnya melakukan langkah antisipasi menghadapi situasi darurat itu. Keinginan untuk mengevaluasi kabinet tak cukup didasarkan pada kinerja menteri yang mengecewakan.
Apalagi hanya sebatas mengganti kursi yang ditinggalkan Andi Alifian Mallarangeng. Terkait dengan kemungkinan ini, Presiden SBY harus memastikan segera bahwa para menteri tidak akan mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik mereka dalam pemilu legislatif. Kepastian itu tidak hanya dari menteri bersangkutan, tetapi juga dari partai politik yang bersangkutan.
Sekiranya memang ada keinginan mereka maju sebagai calon anggota legislatif, jauh lebih baik mengganti mereka sejak awal tahun ini. Dengan mempercepat mengganti mereka, anggota kabinet yang baru masih memiliki waktu yang cukup untuk bekerja tuntas dan mati-matian hingga akhir kepemimpinan Presiden SBY, 20 Oktober 2014.
Tanpa langkah itu, penyelenggaraan pemerintahan akan semakin terampas oleh kepentingan menatap Pemilu 2014. Karenanya, diperlukan keberanian ekstra dari Presiden SBY untuk segera mengakhiri situasi pecah kongsi ini.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
(maf)