Lockdown:Pemerintah Tidak Siap
A
A
A
Ogiandhafiz Juanda Advokat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional,
Direktur Treas Constituendum Institute
VIRUS korona (Covid-19) terus menyebar dan memicu keadaan darurat nonpolitik dalam skala besar di hampir seluruh belahan dunia. Di Indonesia, jumlah kasus virus korona yang tercatat hingga Rabu (1/4) sebanyak 1.677 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 157 orang.
Selama beberapa hari terakhir, muncul desakan dari sebagian kelompok masyarakat yang menyerukan pemerintah untuk segera melakukan lockdown menyusul terus meningkatnya jumlah kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia. Dalam pandangan mereka, hal ini dilakukan untuk dapat mengurangi tingkat kontaminasi serta memutus rantai penyebaran virus yang dianggap mematikan tersebut. Di lain pihak, kelompok yang tidak setuju dengan wacana atau rencana lockdown menganggap bahwa pandemi virus korona ini tidak bisa hanya dilihat dan berorientasi pada masalah kesehatan. Lebih jauh dari itu, lockdown ini akan berpotensi menimbulkan dampak dan masalah baru bagi kelompok masyarakat tertentu.
Sistem Pencegahan
Perbincangan dan desakan kepada pemerintah untuk segera melakukan lockdown juga didasarkan atas apa yang sedang dan telah dilakukan oleh negara lain. Padahal, hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar bahwa Indonesia harus melakukan skenario yang sama. Keputusan untuk melakukan lockdown bukanlah satu keputusan yang mudah. Apalagi, dinamika yang terjadi di setiap negara juga berbeda sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda pula.
Dalam skema konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tetapi, di dalam undang-undang tersebut tidak ditemukan adanya istilah lockdown . Padahal, definisi lockdown menjadi penting agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran yang justru melahirkan satu masalah baru di tengah perdebatan yang berkembang di dalam masyarakat.
Secara formal, undang-undang tersebut hanya mengatur mengenai karantina dalam rumah (Pasal 1 angka 8), karantina rumah sakit (Pasal 1 angka 9), karantina wilayah (Pasal 1 angka 10) dan pembatasan sosial berskala besar (Pasal 1 angka 11). Tetapi secara teknis, pijakan hukum ini tidaklah sempurna mengingat belum adanya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur mengenai batas-batas dan tata cara pelaksanaannya.
Selanjutnya, kalau kemudian lockdown yang dimaksud ialah karantina wilayah, maka hal tersebut tidak dapat disamakan. Karena lockdown dan karantina wilayah ialah dua hal yang berbeda, yang juga dapat menimbulkan dampak dan konsekuensi yang berbeda pula. Dua-duanya pun tidak perlu untuk dilakukan kalau saja Indonesia memiliki respons dan sistem pencegahan yang lebih sistematis sedari awal.
Tidak Siap
Terkait wacana agar pemerintah segera menggunakan kewenangannya melakukan karantina wilayah, perlu diingat bahwa keputusan untuk melakukan karantina wilayah haruslah didasarkan pada pertimbangan yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan untuk melakukan karantina wilayah haruslah lahir dari satu pertimbangan bahwa telah terjadi situasi kedaruratan kesehatan yang luar biasa dalam masyarakat. Terkait situasi kedaruratan ini, maka haruslah ada aturan yang jelas yang menetapkan mengenai kriteria apa dan bagaimana situasi dapat dikatakan dalam kedararutan dengan juga tetap memperhatikan asas hukum, manfaat, keadilan dan nondiskriminatif serta mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Sayangnya, Indonesia belum menyiapkan aturan yang jelas tentang hal tersebut.
Selain itu, menjadi satu hal yang penting untuk melakukan diskusi dan mendengarkan masukan dari masyarakat yang akan paling mungkin terkena dampak dari penerapan kebijakan karantina wilayah tersebut. Jangan sampai keputusan untuk menerapkan karantina wilayah ini menjadi salah langkah yang justru memperlihatkan bahwa negara memang tidak siap dan tidak sigap dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Kembali lagi, keputusan pemerintah untuk tidak melakukan lockdown ialah hal yang penting. Kebijakan untuk melakukan lockdown mungkin terlihat visioner, tetapi tidak bijaksana. Lockdown justru menyebabkan pembatasan pada hak-hak konstitusional yang tentu saja tidak dapat dibenarkan. Hal ini akan memperlihatkan bahwa negara seolah-olah tidak serius dengan mengambil jalan pintas yang justru mengabaikan tanggung jawab negara terhadap masyarakatnya, terutama masyarakat dengan kondisi sosial dan ekonomi lemah yang pada akhirnya menjadi pihak yang paling menderita.
Melakukan lockdown dengan atas nama kepentingan nasional menjadi satu hal lain yang juga tidak bisa dibenarkan karena, sekali lagi, kebijakan tersebut justru menimbulkan kesulitan dan kerugian kepada kelompok rentan tadi. Tentu akan menjadi tidak manusiawi jika lockdown ini dilakukan dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat tersebut yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Walaupun populer dilakukan oleh banyak negara lain, lockdown bukanlah langkah yang masuk akal bagi Indonesia. Bukan karena tidak mau, tetapi karena Indonesia tidak siap untuk melakukan hal tersebut saat ini.
Lebih Profesional
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam fase pertama penanganan virus korona ini, pemerintah sudah melakukan imbauan kepada masyarakat untuk melakukan pembatasan terhadap kegiatan di tempat umum, sampai pada peliburan tempat sekolah dan kerja. Hal tersebut sebenarnya ialah bentuk dari pembatasan sosial berskala besar yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah juga menganjurkan kepada masyarakat untuk tetap tinggal di rumah (self isolation) dan melakukan social distancing agar penyebaran virus korona tersebut tidak semakin eskalatif dengan menetapkan pengecualian terhadap kondisi tertentu.
Langkah ini merupakan langkah ke arah yang benar, tetapi, situasi hari ini tentu saja menyebabkan imbauan tadi menjadi kontraproduktif dan tidak berdampak signifikan jika tidak dibarengi dengan upaya pemerintah untuk mengambil langkah yang lebih aktif, strategis, dan substansial. Artinya, pemerintah juga harus menetapkan solusi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang yang dibarengi dengan penanganan dan sistem yang lebih profesional serta dengan terus menjamin ketersediaan logistik, masker, alat pelindung diri (APD), obat-obatan, makanan, alat kesehatan, vitamin, dan pemenuhan hak-hak lainnya hingga sampai pada peningkatan fasilitas kesehatan bagi masyarakat, terutama bagi tenaga medis dan pasien. Upaya lain seperti disinfektasi berbagai fasilitas umum termasuk melakukan rapid test dengan konsep atau metode yang lebih baik juga masih penting untuk terus dilakukan. Tidak kalah penting juga pemerintah harus berani untuk terus transparan tentang situasi, kondisi dan tantangan yang sedang dihadapi saat ini.
Sekali lagi, penanganan virus korona ini akan menjadi tidak efektif jika tidak dibarengi keterlibatan masyarakat. Artinya, hal ini menuntut peran serta kesadaran dan kepatuhan dari seluruh masyarakat. Pendidikan kesehatan juga perlu untuk diberikan agar masyarakat memiliki pemahaman yang sama tentang apa dan bagaimana dampak dari virus korona tersebut.
Terakhir, atas wacana agar pemerintah memberlakukan karantina wilayah, perlu diingat bahwa karantina wilayah memiliki implikasi domestik yang bisa berimbas pada aspek sosial, ekonomi, dan keamanan. Tentu pemerintah perlu mempertimbangkan secara rasional tentang dampak dan konsekuensi dari penerapan kebijakan karantina wilayah tersebut. Jangan sampai keputusan untuk menerapkan karantina wilayah tersebut justru akan mengganggu postur negara menjadi lebih tidak stabil dan menimbulkan kepanikan dalam skala nasional. Potensi terjadinya kekacauan dalam aspek sosial, ekonomi, dan keamanan penting untuk dipertimbangkan, karena kekacauan tersebut bisa saja berdampak lebih buruk dari virus korona itu sendiri. Jangan sampai blunder, karena kebijakan yang tidak tepat akan melahirkan masalah baru.
Direktur Treas Constituendum Institute
VIRUS korona (Covid-19) terus menyebar dan memicu keadaan darurat nonpolitik dalam skala besar di hampir seluruh belahan dunia. Di Indonesia, jumlah kasus virus korona yang tercatat hingga Rabu (1/4) sebanyak 1.677 kasus, dengan jumlah kematian mencapai 157 orang.
Selama beberapa hari terakhir, muncul desakan dari sebagian kelompok masyarakat yang menyerukan pemerintah untuk segera melakukan lockdown menyusul terus meningkatnya jumlah kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia. Dalam pandangan mereka, hal ini dilakukan untuk dapat mengurangi tingkat kontaminasi serta memutus rantai penyebaran virus yang dianggap mematikan tersebut. Di lain pihak, kelompok yang tidak setuju dengan wacana atau rencana lockdown menganggap bahwa pandemi virus korona ini tidak bisa hanya dilihat dan berorientasi pada masalah kesehatan. Lebih jauh dari itu, lockdown ini akan berpotensi menimbulkan dampak dan masalah baru bagi kelompok masyarakat tertentu.
Sistem Pencegahan
Perbincangan dan desakan kepada pemerintah untuk segera melakukan lockdown juga didasarkan atas apa yang sedang dan telah dilakukan oleh negara lain. Padahal, hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar bahwa Indonesia harus melakukan skenario yang sama. Keputusan untuk melakukan lockdown bukanlah satu keputusan yang mudah. Apalagi, dinamika yang terjadi di setiap negara juga berbeda sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda pula.
Dalam skema konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tetapi, di dalam undang-undang tersebut tidak ditemukan adanya istilah lockdown . Padahal, definisi lockdown menjadi penting agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran yang justru melahirkan satu masalah baru di tengah perdebatan yang berkembang di dalam masyarakat.
Secara formal, undang-undang tersebut hanya mengatur mengenai karantina dalam rumah (Pasal 1 angka 8), karantina rumah sakit (Pasal 1 angka 9), karantina wilayah (Pasal 1 angka 10) dan pembatasan sosial berskala besar (Pasal 1 angka 11). Tetapi secara teknis, pijakan hukum ini tidaklah sempurna mengingat belum adanya peraturan pemerintah (PP) yang mengatur mengenai batas-batas dan tata cara pelaksanaannya.
Selanjutnya, kalau kemudian lockdown yang dimaksud ialah karantina wilayah, maka hal tersebut tidak dapat disamakan. Karena lockdown dan karantina wilayah ialah dua hal yang berbeda, yang juga dapat menimbulkan dampak dan konsekuensi yang berbeda pula. Dua-duanya pun tidak perlu untuk dilakukan kalau saja Indonesia memiliki respons dan sistem pencegahan yang lebih sistematis sedari awal.
Tidak Siap
Terkait wacana agar pemerintah segera menggunakan kewenangannya melakukan karantina wilayah, perlu diingat bahwa keputusan untuk melakukan karantina wilayah haruslah didasarkan pada pertimbangan yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan untuk melakukan karantina wilayah haruslah lahir dari satu pertimbangan bahwa telah terjadi situasi kedaruratan kesehatan yang luar biasa dalam masyarakat. Terkait situasi kedaruratan ini, maka haruslah ada aturan yang jelas yang menetapkan mengenai kriteria apa dan bagaimana situasi dapat dikatakan dalam kedararutan dengan juga tetap memperhatikan asas hukum, manfaat, keadilan dan nondiskriminatif serta mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Sayangnya, Indonesia belum menyiapkan aturan yang jelas tentang hal tersebut.
Selain itu, menjadi satu hal yang penting untuk melakukan diskusi dan mendengarkan masukan dari masyarakat yang akan paling mungkin terkena dampak dari penerapan kebijakan karantina wilayah tersebut. Jangan sampai keputusan untuk menerapkan karantina wilayah ini menjadi salah langkah yang justru memperlihatkan bahwa negara memang tidak siap dan tidak sigap dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Kembali lagi, keputusan pemerintah untuk tidak melakukan lockdown ialah hal yang penting. Kebijakan untuk melakukan lockdown mungkin terlihat visioner, tetapi tidak bijaksana. Lockdown justru menyebabkan pembatasan pada hak-hak konstitusional yang tentu saja tidak dapat dibenarkan. Hal ini akan memperlihatkan bahwa negara seolah-olah tidak serius dengan mengambil jalan pintas yang justru mengabaikan tanggung jawab negara terhadap masyarakatnya, terutama masyarakat dengan kondisi sosial dan ekonomi lemah yang pada akhirnya menjadi pihak yang paling menderita.
Melakukan lockdown dengan atas nama kepentingan nasional menjadi satu hal lain yang juga tidak bisa dibenarkan karena, sekali lagi, kebijakan tersebut justru menimbulkan kesulitan dan kerugian kepada kelompok rentan tadi. Tentu akan menjadi tidak manusiawi jika lockdown ini dilakukan dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat tersebut yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Walaupun populer dilakukan oleh banyak negara lain, lockdown bukanlah langkah yang masuk akal bagi Indonesia. Bukan karena tidak mau, tetapi karena Indonesia tidak siap untuk melakukan hal tersebut saat ini.
Lebih Profesional
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam fase pertama penanganan virus korona ini, pemerintah sudah melakukan imbauan kepada masyarakat untuk melakukan pembatasan terhadap kegiatan di tempat umum, sampai pada peliburan tempat sekolah dan kerja. Hal tersebut sebenarnya ialah bentuk dari pembatasan sosial berskala besar yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah juga menganjurkan kepada masyarakat untuk tetap tinggal di rumah (self isolation) dan melakukan social distancing agar penyebaran virus korona tersebut tidak semakin eskalatif dengan menetapkan pengecualian terhadap kondisi tertentu.
Langkah ini merupakan langkah ke arah yang benar, tetapi, situasi hari ini tentu saja menyebabkan imbauan tadi menjadi kontraproduktif dan tidak berdampak signifikan jika tidak dibarengi dengan upaya pemerintah untuk mengambil langkah yang lebih aktif, strategis, dan substansial. Artinya, pemerintah juga harus menetapkan solusi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang yang dibarengi dengan penanganan dan sistem yang lebih profesional serta dengan terus menjamin ketersediaan logistik, masker, alat pelindung diri (APD), obat-obatan, makanan, alat kesehatan, vitamin, dan pemenuhan hak-hak lainnya hingga sampai pada peningkatan fasilitas kesehatan bagi masyarakat, terutama bagi tenaga medis dan pasien. Upaya lain seperti disinfektasi berbagai fasilitas umum termasuk melakukan rapid test dengan konsep atau metode yang lebih baik juga masih penting untuk terus dilakukan. Tidak kalah penting juga pemerintah harus berani untuk terus transparan tentang situasi, kondisi dan tantangan yang sedang dihadapi saat ini.
Sekali lagi, penanganan virus korona ini akan menjadi tidak efektif jika tidak dibarengi keterlibatan masyarakat. Artinya, hal ini menuntut peran serta kesadaran dan kepatuhan dari seluruh masyarakat. Pendidikan kesehatan juga perlu untuk diberikan agar masyarakat memiliki pemahaman yang sama tentang apa dan bagaimana dampak dari virus korona tersebut.
Terakhir, atas wacana agar pemerintah memberlakukan karantina wilayah, perlu diingat bahwa karantina wilayah memiliki implikasi domestik yang bisa berimbas pada aspek sosial, ekonomi, dan keamanan. Tentu pemerintah perlu mempertimbangkan secara rasional tentang dampak dan konsekuensi dari penerapan kebijakan karantina wilayah tersebut. Jangan sampai keputusan untuk menerapkan karantina wilayah tersebut justru akan mengganggu postur negara menjadi lebih tidak stabil dan menimbulkan kepanikan dalam skala nasional. Potensi terjadinya kekacauan dalam aspek sosial, ekonomi, dan keamanan penting untuk dipertimbangkan, karena kekacauan tersebut bisa saja berdampak lebih buruk dari virus korona itu sendiri. Jangan sampai blunder, karena kebijakan yang tidak tepat akan melahirkan masalah baru.
(kri)