Bukan Saatnya Bercanda
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
BANGSA ini dikenal santai, sering menertawakan dirinya sendiri. Bahkan juga bercanda dengan sebuah musibah. Tidak hanya rakyat kecil yang sering bercanda. Para pejabat tinggi pemerintah pun sering begitu.
Misalnya ketika Jakarta dilanda banjir, muncul pernyataan dan komentar pejabat pemerintah, lihat anak-anak pada gembira bisa berenang di halaman rumah. Warga yang terkena banjir, ketika direkam kamerawan TV malah tersenyum sambil melambaikan tangan. Ada lagi ibu-ibu yang bergaya seakan pesiar mengendarai perahu karet di atas genangan air.
Demikianlah, masih banyak cerita dan peristiwa yang menggambarkan bangsa ini senang bersikap santai dan bersahabat dengan bencana. Tentu saja hal ini ada positifnya. Minimal mengurangi stres.
Warga yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, misalnya, sudah akrab dengan ledakan Gunung Merapi yang sering meletus dan menciptakan hujan abu serta hawa panas. Namun, mereka enggan untuk pindah tempat tinggal. Mereka sudah merasa bersahabat dengan bencana alam.
Tetapi sikap santai, suka berkelakar, dan meremehkan persoalan ini ternyata mendatangkan risiko besar ketika menghadapi wabah korona (Covid-19). Baik masyarakat maupun beberapa pejabat pemerintah awalnya masih memandang kecil terhadap virus korona ketika pemerintah China sudah mengumumkan ancaman virus korona yang terjadi di Wuhan pada Desember 2019.
Misalnya muncul pernyataan, Indonesia kebal virus karena letaknya di daerah tropis. Masyarakat Indonesia tidak mempan virus karena biasa makan nasi kucing. Virus korona tidak mempan karena masyarakat terbiasa minum jamu tolak angin dan kerokan.
Ada lagi sikap yang meremehkan, masyarakat Indonesia sudah terbiasa tinggal di daerah kotor dan kumuh, virus korona akan mati lebih dahulu sebelum menyentuh manusia. Dan masih banyak lagi ungkapan, pernyataan, dan sikap yang meremehkan.
Kalau itu disampaikan oleh rakyat biasa, hal itu bisa dimaklumi. Tetapi ketika pernyataan demikian keluar dari mulut pejabat tinggi negara hasil pemilu yang sedemikian mahal ongkos sosial, politik, dan ekonominya, maka sungguh kita sesalkan.
Akhirnya pemerintah terlambat membuat langkah antisipasi. Praktis kehilangan momentum sedikitnya dua bulan, sementara virus sudah menyebar ke berbagai penjuru.Ibarat api, ketika sudah membesar maka semakin sulit dipadamkan serta memakan ongkos yang mahal. Sekian banyak dokter dan tenaga medis meninggal, belum lagi yang ambruk berubah posisi menjadi pasien Covid-19.
Tentu saja saat ini bukan saatnya kita saling menyalahkan. Kita hargai kerja keras presiden. Ini sebuah tragedi kemanusiaan global. Sekian banyak negara yang tergolong maju dari segi ekonomi dan pendidikan seperti halnya Italia dan Amerika Serikat, juga kedodoran.
Salah satu penyebabnya adalah mereka memandang enteng terhadap wabah ini. Yang juga cukup parah adalah Iran yang terlalu yakin bahwa orang yang religius akan mampu mengalahkan virus korona.
Peperangan melawan korona ini tidak mungkin dimenangkan tanpa kerja sama yang kompak antara pemerintah dan masyarakat, tanpa pandang etnis, agama, profesi, dan status sosial. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah catatan kecil.
Satu, kita salut dan mesti memberi dukungan kepada para dokter dan tenaga medis yang telah berkorban dan berjuang maju di garis terdepan dalam melayani pasien. Jumlah dan fasilitas mereka terbatas dihadapkan jumlah pasien yang masih meningkat. Sangat menyentuh hati jika melihat dari dekat dan mendengarkan jeritan hati mereka.
Dua, banyak masyarakat bawah yang tiba-tiba jadi miskin karena tidak bisa bekerja dan mendapatkan upah harian, sehingga kalau hal ini tidak segera diantisipasi pada urutannya potensial menimbukan kerusuhan sosial.
Tiga, para elite berhentilah berdebat di depan publik yang bernada saling menyalahkan dan sebagian bahkan melancarkan manuver politik. Silakan bermusyawarah sebagai negarawan, jangan menambah persoalan yang tengah menghimpit negara dan rakyat.
Empat, semua pejabat negara dan wakil rakyat hendaknya introspeksi, mereka dipilih rakyat lewat pemilu dan pilkada itu untuk memajukan bangsa, menyejahterakan, dan melindungi rakyat. Bukan berbagi jabatan dan proyek.
Saatnya sekarang ini untuk membuktikan pada rakyat, pada konstituen, bahwa mereka itu benar-benar pembela dan pelindung rakyat sehingga rakyat tidak kehilangan kepercayaan pada para politisi, baik yang ada di kursi eksekutif maupun legislatif.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
BANGSA ini dikenal santai, sering menertawakan dirinya sendiri. Bahkan juga bercanda dengan sebuah musibah. Tidak hanya rakyat kecil yang sering bercanda. Para pejabat tinggi pemerintah pun sering begitu.
Misalnya ketika Jakarta dilanda banjir, muncul pernyataan dan komentar pejabat pemerintah, lihat anak-anak pada gembira bisa berenang di halaman rumah. Warga yang terkena banjir, ketika direkam kamerawan TV malah tersenyum sambil melambaikan tangan. Ada lagi ibu-ibu yang bergaya seakan pesiar mengendarai perahu karet di atas genangan air.
Demikianlah, masih banyak cerita dan peristiwa yang menggambarkan bangsa ini senang bersikap santai dan bersahabat dengan bencana. Tentu saja hal ini ada positifnya. Minimal mengurangi stres.
Warga yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, misalnya, sudah akrab dengan ledakan Gunung Merapi yang sering meletus dan menciptakan hujan abu serta hawa panas. Namun, mereka enggan untuk pindah tempat tinggal. Mereka sudah merasa bersahabat dengan bencana alam.
Tetapi sikap santai, suka berkelakar, dan meremehkan persoalan ini ternyata mendatangkan risiko besar ketika menghadapi wabah korona (Covid-19). Baik masyarakat maupun beberapa pejabat pemerintah awalnya masih memandang kecil terhadap virus korona ketika pemerintah China sudah mengumumkan ancaman virus korona yang terjadi di Wuhan pada Desember 2019.
Misalnya muncul pernyataan, Indonesia kebal virus karena letaknya di daerah tropis. Masyarakat Indonesia tidak mempan virus karena biasa makan nasi kucing. Virus korona tidak mempan karena masyarakat terbiasa minum jamu tolak angin dan kerokan.
Ada lagi sikap yang meremehkan, masyarakat Indonesia sudah terbiasa tinggal di daerah kotor dan kumuh, virus korona akan mati lebih dahulu sebelum menyentuh manusia. Dan masih banyak lagi ungkapan, pernyataan, dan sikap yang meremehkan.
Kalau itu disampaikan oleh rakyat biasa, hal itu bisa dimaklumi. Tetapi ketika pernyataan demikian keluar dari mulut pejabat tinggi negara hasil pemilu yang sedemikian mahal ongkos sosial, politik, dan ekonominya, maka sungguh kita sesalkan.
Akhirnya pemerintah terlambat membuat langkah antisipasi. Praktis kehilangan momentum sedikitnya dua bulan, sementara virus sudah menyebar ke berbagai penjuru.Ibarat api, ketika sudah membesar maka semakin sulit dipadamkan serta memakan ongkos yang mahal. Sekian banyak dokter dan tenaga medis meninggal, belum lagi yang ambruk berubah posisi menjadi pasien Covid-19.
Tentu saja saat ini bukan saatnya kita saling menyalahkan. Kita hargai kerja keras presiden. Ini sebuah tragedi kemanusiaan global. Sekian banyak negara yang tergolong maju dari segi ekonomi dan pendidikan seperti halnya Italia dan Amerika Serikat, juga kedodoran.
Salah satu penyebabnya adalah mereka memandang enteng terhadap wabah ini. Yang juga cukup parah adalah Iran yang terlalu yakin bahwa orang yang religius akan mampu mengalahkan virus korona.
Peperangan melawan korona ini tidak mungkin dimenangkan tanpa kerja sama yang kompak antara pemerintah dan masyarakat, tanpa pandang etnis, agama, profesi, dan status sosial. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah catatan kecil.
Satu, kita salut dan mesti memberi dukungan kepada para dokter dan tenaga medis yang telah berkorban dan berjuang maju di garis terdepan dalam melayani pasien. Jumlah dan fasilitas mereka terbatas dihadapkan jumlah pasien yang masih meningkat. Sangat menyentuh hati jika melihat dari dekat dan mendengarkan jeritan hati mereka.
Dua, banyak masyarakat bawah yang tiba-tiba jadi miskin karena tidak bisa bekerja dan mendapatkan upah harian, sehingga kalau hal ini tidak segera diantisipasi pada urutannya potensial menimbukan kerusuhan sosial.
Tiga, para elite berhentilah berdebat di depan publik yang bernada saling menyalahkan dan sebagian bahkan melancarkan manuver politik. Silakan bermusyawarah sebagai negarawan, jangan menambah persoalan yang tengah menghimpit negara dan rakyat.
Empat, semua pejabat negara dan wakil rakyat hendaknya introspeksi, mereka dipilih rakyat lewat pemilu dan pilkada itu untuk memajukan bangsa, menyejahterakan, dan melindungi rakyat. Bukan berbagi jabatan dan proyek.
Saatnya sekarang ini untuk membuktikan pada rakyat, pada konstituen, bahwa mereka itu benar-benar pembela dan pelindung rakyat sehingga rakyat tidak kehilangan kepercayaan pada para politisi, baik yang ada di kursi eksekutif maupun legislatif.
(poe)