Yusril Sarankan Pemerintah Mulai Bersiap Hadapi Risiko Terburuk
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyarankan pemerintah bersiap menghadapi risiko terburuk jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diputuskan tidak mampu mengatasi pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Awalnya Yusril mengomentari langkah Presiden Jokowi yang mengeluarkan Keputusan Presiden No 11/2020 tanggal 31 Maret 2020 tentang adanya kedaruratan kesehatan masyarakat yang berlaku seluruh Indonesia sehubungan dengan merebaknya wabah virus corona atau Covid-19.
Menurut Yusril, keputusan itu diambil hampir satu bulan setelah Presiden Jokowi mengumumkan adanya dua pasien corona pertama yang dinyatakan positif pada awal Maret yang lalu. Hingga 1 April 2020, jumlah yang terinfeksi corona di Indonesia 1.677 orang, dengan 157 di antaranya meninggal dunia.
Di samping itu, lanjut Yusril, ada ribuan orang dalam status pengawasan dan sebagaian berstatus sebagai terduga terinfeksi virus corona yang sedang menunggu kepastian hasil tes laboratorium kesehatan. Jumlah mereka makin hari makin meningkat.
Yusril menganggap, pernyataan Darurat Kesehatan yang nampak sudah terlambat ini disusul dengan terbitnya PP No 21/2020 yang mengatur pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal dan hari yang sama. (Baca Juga: Jangkauan Luas, Puskesmas Akan Jadi Ujung Tombak Deteksi Virus Corona).
"PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, khusus mengenai PSBB saja, tidak mengenai materi yang lain," papar Yusril kepada wartawa, Kamis (2/4/2020).
Dengan PP PSBB ini, jelas dia, Pemerintah Daerah, Pemerintah kabupaten, Pemerintah kota dan Pemerintah provinsi dengan persetujuan Menteri Kesehatan dapat memutuskan daerahnya menerapkan PSBB. Dengan pemberlakuan PSBB itu, maka daerah berwenang melakukan 'pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu'.
"Pelaksanan PSBB tentu tidak mudah bagi suatu daerah. Daerah-daerah mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya," kata Yusril.
Lebih lanjut Yusril mengatakan, apakah untuk efektivitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI misalnya, hal itu tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 ini.
Di sisi lain, UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB. "Pemda paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah Pemda," papar mantan Menkumham ini.
Polisi, sambung dia, baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika Pemerintah Pusat memutuskan untuk melaksanakan "Karantina Wilayah" sebagaimana diatur Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018. Ia berpendapat, karantina Wilayah hampir sama dengan "lockdown" yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Philipina, di mana satu daerah atau suatu kota dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu.
"Pemerintah memang tidak memilih menerapkan karantina wilayah karena mungkin kuatir dengan masalah ekonomi. Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah," ucap Yusril.
"Kewajiban menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, katakanlah sembako, listrik, dan air bersih di daerah yang dikenakan karantina wilayah itu sepenuhnya 'menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat', bukan tanggung jawab Pemda," imbuh dia.
Bayangkan, kata Yusril, jika Jakarta saja dikenakan karantina wilayah maka Pemerintah Pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 14 juta orang entah untuk berapa lama. Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang kabut dan akhirnya kelaparan. (Baca Juga: Jokowi Nilai Pembatasan yang Dilakukan Daerah Masih Wajar).
"Di Manila juga sempat terjadi berbagai kejahatan perampokan karena rakyat miskin kehabisan bahan makanan. Tentara Filipina akhirnya mendrop sembako ke rumah-rumah penduduk miskin kota," ungkap Yusril.
Yusril menilai, PP 21 Tahun 2020 ini hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2018. PSBB dilaksanakan 'paling sedikit' dalam bentuk (a) peliburan sekolah dan tempat kerja (b) pembatasan kegiatan keagamaan (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Ketiga hal yang dicakup PSBB ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh daerah. Namun, apa yang sudah dilaksanakan itu toh tidak mampu membatasi penyebaran virus Corona. Menjelang akhir bulan Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. "Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas ini," ungkapnya lagi.
Kata Yusril, setidaknya sampai 1 April 2020 nampaknya belum ada Keputusan Menkes atau Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangangan Corona Virus yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk daerahnya dinyatakan diberlakukan PSBB. Daerah-daerah itu sebagiannya malah sudah bertindak lebih jauh dari apa yang mungkin dapat dilakukan dengan sekadar tiga hal dalam PSBB seperti di atas.
"Pertanyaannya kini adalah, apakah dengan kebijakan PSBB yang harus diminta oleh daerah dan disetujui atau bisa juga ditolak oleh Menkes itu, penyebaran wabah virus corona dapat dikurangi atau dihentikan sama sekali? Jawabannya tentu: wallahu 'alam, hanya Allah Ta'ala saja yang lebih mengetahuinya," ujar Yusril.
Selain itu, apabila dalam dua minggu atau dalam sebulan ke depan PSBB ternyata tidak berjalan efektif, apa pemerintah lantas mau mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya dengan tingkatan Darurat Sipil sebagaimana diatur dalam Perppu No 23 Tahun 1959? Ketua Umum DPP PBB ini pun menilai tidak akan menyelesaikan masalah.
Yusril menambahkan, jika keadaan makin memburuk, ia menduga pemerintah tidak akan punya pilihan lain kecuali menerapkan karantina wilayah, sebuah konsep yang mendekati konsep "lockdown" yang dikenal di beberapa negara, dengan segala risiko ekonomi, sosial, dan politiknya.
"Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus corona, kecuali memilih menerapkan karantina wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB," pungkasnya.
Awalnya Yusril mengomentari langkah Presiden Jokowi yang mengeluarkan Keputusan Presiden No 11/2020 tanggal 31 Maret 2020 tentang adanya kedaruratan kesehatan masyarakat yang berlaku seluruh Indonesia sehubungan dengan merebaknya wabah virus corona atau Covid-19.
Menurut Yusril, keputusan itu diambil hampir satu bulan setelah Presiden Jokowi mengumumkan adanya dua pasien corona pertama yang dinyatakan positif pada awal Maret yang lalu. Hingga 1 April 2020, jumlah yang terinfeksi corona di Indonesia 1.677 orang, dengan 157 di antaranya meninggal dunia.
Di samping itu, lanjut Yusril, ada ribuan orang dalam status pengawasan dan sebagaian berstatus sebagai terduga terinfeksi virus corona yang sedang menunggu kepastian hasil tes laboratorium kesehatan. Jumlah mereka makin hari makin meningkat.
Yusril menganggap, pernyataan Darurat Kesehatan yang nampak sudah terlambat ini disusul dengan terbitnya PP No 21/2020 yang mengatur pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal dan hari yang sama. (Baca Juga: Jangkauan Luas, Puskesmas Akan Jadi Ujung Tombak Deteksi Virus Corona).
"PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, khusus mengenai PSBB saja, tidak mengenai materi yang lain," papar Yusril kepada wartawa, Kamis (2/4/2020).
Dengan PP PSBB ini, jelas dia, Pemerintah Daerah, Pemerintah kabupaten, Pemerintah kota dan Pemerintah provinsi dengan persetujuan Menteri Kesehatan dapat memutuskan daerahnya menerapkan PSBB. Dengan pemberlakuan PSBB itu, maka daerah berwenang melakukan 'pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu'.
"Pelaksanan PSBB tentu tidak mudah bagi suatu daerah. Daerah-daerah mana saja yang orang dan barang tidak boleh masuk ke daerahnya? Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya," kata Yusril.
Lebih lanjut Yusril mengatakan, apakah untuk efektivitas pembatasan mobilitas orang dan barang itu pemda setempat dapat meminta bantuan polisi atau malah TNI misalnya, hal itu tidak diatur dalam PP No 21 Tahun 2020 ini.
Di sisi lain, UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga tidak memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB. "Pemda paling hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang memang berada di bawah Pemda," papar mantan Menkumham ini.
Polisi, sambung dia, baru berwenang melakukan pengawasan keluar masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, jika Pemerintah Pusat memutuskan untuk melaksanakan "Karantina Wilayah" sebagaimana diatur Pasal 54 ayat (3) UU No 6 Tahun 2018. Ia berpendapat, karantina Wilayah hampir sama dengan "lockdown" yang dikenal di negara-negara lain seperti Malaysia dan Philipina, di mana satu daerah atau suatu kota dinyatakan tertutup, orang tidak diizinkan keluar atau masuk ke daerah atau kota itu.
"Pemerintah memang tidak memilih menerapkan karantina wilayah karena mungkin kuatir dengan masalah ekonomi. Pemerintah juga mungkin tidak akan mampu menyediakan kebutuhan dasar hidup masyarakat dan hewan ternak yang ada di daerah yang diterapkan Karantina Wilayah," ucap Yusril.
"Kewajiban menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, katakanlah sembako, listrik, dan air bersih di daerah yang dikenakan karantina wilayah itu sepenuhnya 'menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat', bukan tanggung jawab Pemda," imbuh dia.
Bayangkan, kata Yusril, jika Jakarta saja dikenakan karantina wilayah maka Pemerintah Pusat harus menyediakan sembako buat sekitar 14 juta orang entah untuk berapa lama. Bisa-bisa kita seperti India. Lockdown yang dilakukan tanpa persiapan matang, bisa membuat rakyat kalang kabut dan akhirnya kelaparan. (Baca Juga: Jokowi Nilai Pembatasan yang Dilakukan Daerah Masih Wajar).
"Di Manila juga sempat terjadi berbagai kejahatan perampokan karena rakyat miskin kehabisan bahan makanan. Tentara Filipina akhirnya mendrop sembako ke rumah-rumah penduduk miskin kota," ungkap Yusril.
Yusril menilai, PP 21 Tahun 2020 ini hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU No 6 Tahun 2018. PSBB dilaksanakan 'paling sedikit' dalam bentuk (a) peliburan sekolah dan tempat kerja (b) pembatasan kegiatan keagamaan (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Ketiga hal yang dicakup PSBB ini sebenarnya sudah dilaksanakan oleh daerah. Namun, apa yang sudah dilaksanakan itu toh tidak mampu membatasi penyebaran virus Corona. Menjelang akhir bulan Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. "Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas ini," ungkapnya lagi.
Kata Yusril, setidaknya sampai 1 April 2020 nampaknya belum ada Keputusan Menkes atau Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangangan Corona Virus yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk daerahnya dinyatakan diberlakukan PSBB. Daerah-daerah itu sebagiannya malah sudah bertindak lebih jauh dari apa yang mungkin dapat dilakukan dengan sekadar tiga hal dalam PSBB seperti di atas.
"Pertanyaannya kini adalah, apakah dengan kebijakan PSBB yang harus diminta oleh daerah dan disetujui atau bisa juga ditolak oleh Menkes itu, penyebaran wabah virus corona dapat dikurangi atau dihentikan sama sekali? Jawabannya tentu: wallahu 'alam, hanya Allah Ta'ala saja yang lebih mengetahuinya," ujar Yusril.
Selain itu, apabila dalam dua minggu atau dalam sebulan ke depan PSBB ternyata tidak berjalan efektif, apa pemerintah lantas mau mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya dengan tingkatan Darurat Sipil sebagaimana diatur dalam Perppu No 23 Tahun 1959? Ketua Umum DPP PBB ini pun menilai tidak akan menyelesaikan masalah.
Yusril menambahkan, jika keadaan makin memburuk, ia menduga pemerintah tidak akan punya pilihan lain kecuali menerapkan karantina wilayah, sebuah konsep yang mendekati konsep "lockdown" yang dikenal di beberapa negara, dengan segala risiko ekonomi, sosial, dan politiknya.
"Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus corona, kecuali memilih menerapkan karantina wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB," pungkasnya.
(zik)