Menggagas Ekonomi Karantina
A
A
A
Dr Firman Kurniawan S Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
MUNGKIN baru hari-hari ini setelah pandemi influenza 1918-1920, masyarakat dunia digerakkan kembali oleh isu yang sama, penularan cepat dan masifnya kematian akibat merebaknya virus. Kali ini virus korona yang jadi pangkal kerumitan.
Tak tanggung-tanggung, saat tulisan ini disusun, berdasar data yang dikutip New York Times , 26 Maret 2020, telah 462.800 orang terinfeksi Covid-19, dengan 20.922 orang di antaranya meninggal dunia dan itu tersebar di 171 negara di dunia. Permasalahan kesehatan yang menyebar secara global, segera saja menimbulkan gejala-gejala persoalan ekonomi, sosial, maupun politik.
Sesungguhnya, dari berbagai ulasan, Covid-19 yang menyebar begitu cepat ini, cara penularannya sangat mudah dan cenderung senyap. Lewat droplet, cairan saat bersin atau batuk dari penderita yang positif terinfeksi, ketika tanpa disadari beralih ke orang sehat yang sistem pertahanan tubuhnya tak prima sehingga segera terjadi penularan. Demikian pula ketika droplet tertinggal pada berbagai permukaan benda, penelitian menunjukkan, virus yang tertransfer lewat droplet masih bisa hidup selama beberapa jam dan mampu menimbulkan penularan.
Celakanya, tak semua penderita positif Covid-19 menunjukkan gejala yang jelas. Penyebaran virus yang terjadi di Korea Selatan misalnya, saat menjangkiti kelompok usia 20-29 tahun yang jumlahnya mencapai 30% dari total kasus, tak diikuti gejala sakit.
Persebarannya bersifat senyap. Demikian juga yang terjadi di China, dari 55,1% penderita Covid-19 berusia 15-49 tahun, 57,8% di antaranya tak mengalami keadaan sakit payah. Para spreader , tak bisa segera dikenali hanya dari status kebugarannya. Namun, jejaknya segera menampakkan diri, dengan bertambahnya jumlah yang tertular.
Atas kesenyapan itu, maka gerakan yang marak digencarkan sesungguhnya adalah gerakan bersama sifatnya sangat sederhana: psysical distancing . Sejak Jumat, 20 Maret 2020, WHO sebagai badan yang resmi menyatakan pandemi Covid-19, mengubah istilah dari social distancing jadi psysical distancing .
Secara manifestasi substansinya sama, menjaga jarak dari orang lain yang berpotensi menjadi spreader penularan, tapi tak menampakkan gejala. Jarak fisik terjaga namun secara sosial masih tetap terhubung. Keterhubungan sosial bisa tetap dilakukan dengan memanfaatkan perangkat digital. Jangan ke mana-mana kalau tak terpaksa sekali, work from home , hingga isolasi mandiri dalam jangka waktu 14 hari, merupakan bentuk penerapan dari psysical distancing .
Namun, tak sesederhana itu penerapan psysical distancing saat dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi. Secara sosial di banyak negara dunia, relasi kultural antarorang dilakukan tanpa jarak fisik: bersalaman, saling menyentuhkan pipi, kening, berpelukan, duduk berdekatan, bahkan dalam konteks relasi ekonomi dan bisnis.
Transfer informasi dilakukan dengan memutlakkan kehadiran fisik, kumpul bersama, rapat satu meja atau bercengkerama pagi maupun malam di kedai kopi atau kafe-kafe perkotaan. Budaya yang telah dihayati, meresap di luar kesadaran ini, tiba-tiba memperoleh imbauan untuk dijaga jarak rapatnya. Norma baru yang berlaku: tak menjaga jarak fisik itu tindakan tak bertanggung jawab. Tentu tak disambut kepatuhan yang serta-merta, bahkan ketika ancaman kematian akibat penularan, telah nyata di hadapan. Fenomena ini tak hanya di Indonesia, Italia dan beberapa negara Eropa menunjukkan adopsi psysical distancing yang lamban.
Demikian pula dengan yang terjadi di bidang ekonomi. Bidang yang selama ini melazimkan perjumpaan tanpa pembatasan jarak fisik. Ancaman resesi dunia, perlambatan pertumbuhan, bahkan hingga 0%, gara-gara berubahnya kelaziman. Akibat Covid-19, pertemuan bisnis dibatasi, maka industri MICE (Meetings, incentives, conferencing, exhibitions ) terpukul.
Ini tentu tak hanya berhenti di MICE. Efek menetes ke bawah, seperti pada industri makanan, perbelanjaan, hiburan ikut terimbas. Hampir semua pertemuan hari ini bertumpu pada relasi digital. Transaksi online mengalami lonjakan trafik. Tampaknya sudah berlaku sebuah hukum baru, semakin siap infrastruktur digital sebuah entitas bisnis tertentu, makin selamatlah dari ancaman kebangkrutan.
Itu pula terjadi pada Zoom , sebuah perusahaan penyedia fasilitas videoconferencing yang tercatat mengalami pertumbuhan meroket bahkan sudah lebih dari Uber, sejak merebaknya Covid-19 (Adweek 19 Maret 2020). Sebaran Covid-19 ini melahirkan realitas ekonomi karantina, sebuah bentuk ekonomi dan bisnis yang dijalankan pelakunya, mana kala dalam keadaan terkarantina mandiri di rumah masing-masing. Namun, tak semuanya harus menunggu nasib baik seperti Zoom kan?
Di Indonesia, yang petani-petaninya telah mulai menanam sejak sebelum Covid-19 merebak, tentu tanaman-tanaman itu tak bisa menunda proses kematangan maupun panennya, menunggu pandemi lewat. Demikian pula dengan peternakan, sebagai penghasil protein. Banyak buah, sayur, daging, susu, dan telur yang siap dipanen.
Sementara itu, kebutuhan yang tak bakal berhenti separah apa pun Covid-19 menyebar adalah kebutuhan orang terhadap pangan. Persoalannya, pertemuan antara pemasok dengan konsumen akhir terbatasi oleh psysical distancing . Orang disarankan tetap tinggal di rumah. Banyak bahan pangan tersedia yang terancam busuk, sedangkan banyak kebutuhan pangan yang tak terpasok.
Dilema keterputusan ini tampaknya bisa dipecahkan oleh perusahaan berbasis online : ojek online , pasar online , belanja online, kafe online, warung online. Mereka menjadikan pengemudi maupun pelaksana pengirimannya sebagai penghubung antarsimpul: produsen, konsumen tingkat I, konsumen tingkat II, hingga konsumen akhir.
Berfungsinya salah satu bentuk ekonomi karantina ini akan makin sempurna, mana kala tiap pemerintah daerah, propinsi maupun pusat melakukan tes Covid-19 kepada para pengantar produk ini. Dengan jelasnya status mereka, kehadirannya bisa diterima dengan tanpa kekhawatiran dan memaksa tiap orang belanja sendiri. Jika ini berhasil, tentu pelebaran skala ekonomi karantina bisa dilakukan.
Pendiri LITEROS.org
MUNGKIN baru hari-hari ini setelah pandemi influenza 1918-1920, masyarakat dunia digerakkan kembali oleh isu yang sama, penularan cepat dan masifnya kematian akibat merebaknya virus. Kali ini virus korona yang jadi pangkal kerumitan.
Tak tanggung-tanggung, saat tulisan ini disusun, berdasar data yang dikutip New York Times , 26 Maret 2020, telah 462.800 orang terinfeksi Covid-19, dengan 20.922 orang di antaranya meninggal dunia dan itu tersebar di 171 negara di dunia. Permasalahan kesehatan yang menyebar secara global, segera saja menimbulkan gejala-gejala persoalan ekonomi, sosial, maupun politik.
Sesungguhnya, dari berbagai ulasan, Covid-19 yang menyebar begitu cepat ini, cara penularannya sangat mudah dan cenderung senyap. Lewat droplet, cairan saat bersin atau batuk dari penderita yang positif terinfeksi, ketika tanpa disadari beralih ke orang sehat yang sistem pertahanan tubuhnya tak prima sehingga segera terjadi penularan. Demikian pula ketika droplet tertinggal pada berbagai permukaan benda, penelitian menunjukkan, virus yang tertransfer lewat droplet masih bisa hidup selama beberapa jam dan mampu menimbulkan penularan.
Celakanya, tak semua penderita positif Covid-19 menunjukkan gejala yang jelas. Penyebaran virus yang terjadi di Korea Selatan misalnya, saat menjangkiti kelompok usia 20-29 tahun yang jumlahnya mencapai 30% dari total kasus, tak diikuti gejala sakit.
Persebarannya bersifat senyap. Demikian juga yang terjadi di China, dari 55,1% penderita Covid-19 berusia 15-49 tahun, 57,8% di antaranya tak mengalami keadaan sakit payah. Para spreader , tak bisa segera dikenali hanya dari status kebugarannya. Namun, jejaknya segera menampakkan diri, dengan bertambahnya jumlah yang tertular.
Atas kesenyapan itu, maka gerakan yang marak digencarkan sesungguhnya adalah gerakan bersama sifatnya sangat sederhana: psysical distancing . Sejak Jumat, 20 Maret 2020, WHO sebagai badan yang resmi menyatakan pandemi Covid-19, mengubah istilah dari social distancing jadi psysical distancing .
Secara manifestasi substansinya sama, menjaga jarak dari orang lain yang berpotensi menjadi spreader penularan, tapi tak menampakkan gejala. Jarak fisik terjaga namun secara sosial masih tetap terhubung. Keterhubungan sosial bisa tetap dilakukan dengan memanfaatkan perangkat digital. Jangan ke mana-mana kalau tak terpaksa sekali, work from home , hingga isolasi mandiri dalam jangka waktu 14 hari, merupakan bentuk penerapan dari psysical distancing .
Namun, tak sesederhana itu penerapan psysical distancing saat dikaitkan dengan aspek sosial ekonomi. Secara sosial di banyak negara dunia, relasi kultural antarorang dilakukan tanpa jarak fisik: bersalaman, saling menyentuhkan pipi, kening, berpelukan, duduk berdekatan, bahkan dalam konteks relasi ekonomi dan bisnis.
Transfer informasi dilakukan dengan memutlakkan kehadiran fisik, kumpul bersama, rapat satu meja atau bercengkerama pagi maupun malam di kedai kopi atau kafe-kafe perkotaan. Budaya yang telah dihayati, meresap di luar kesadaran ini, tiba-tiba memperoleh imbauan untuk dijaga jarak rapatnya. Norma baru yang berlaku: tak menjaga jarak fisik itu tindakan tak bertanggung jawab. Tentu tak disambut kepatuhan yang serta-merta, bahkan ketika ancaman kematian akibat penularan, telah nyata di hadapan. Fenomena ini tak hanya di Indonesia, Italia dan beberapa negara Eropa menunjukkan adopsi psysical distancing yang lamban.
Demikian pula dengan yang terjadi di bidang ekonomi. Bidang yang selama ini melazimkan perjumpaan tanpa pembatasan jarak fisik. Ancaman resesi dunia, perlambatan pertumbuhan, bahkan hingga 0%, gara-gara berubahnya kelaziman. Akibat Covid-19, pertemuan bisnis dibatasi, maka industri MICE (Meetings, incentives, conferencing, exhibitions ) terpukul.
Ini tentu tak hanya berhenti di MICE. Efek menetes ke bawah, seperti pada industri makanan, perbelanjaan, hiburan ikut terimbas. Hampir semua pertemuan hari ini bertumpu pada relasi digital. Transaksi online mengalami lonjakan trafik. Tampaknya sudah berlaku sebuah hukum baru, semakin siap infrastruktur digital sebuah entitas bisnis tertentu, makin selamatlah dari ancaman kebangkrutan.
Itu pula terjadi pada Zoom , sebuah perusahaan penyedia fasilitas videoconferencing yang tercatat mengalami pertumbuhan meroket bahkan sudah lebih dari Uber, sejak merebaknya Covid-19 (Adweek 19 Maret 2020). Sebaran Covid-19 ini melahirkan realitas ekonomi karantina, sebuah bentuk ekonomi dan bisnis yang dijalankan pelakunya, mana kala dalam keadaan terkarantina mandiri di rumah masing-masing. Namun, tak semuanya harus menunggu nasib baik seperti Zoom kan?
Di Indonesia, yang petani-petaninya telah mulai menanam sejak sebelum Covid-19 merebak, tentu tanaman-tanaman itu tak bisa menunda proses kematangan maupun panennya, menunggu pandemi lewat. Demikian pula dengan peternakan, sebagai penghasil protein. Banyak buah, sayur, daging, susu, dan telur yang siap dipanen.
Sementara itu, kebutuhan yang tak bakal berhenti separah apa pun Covid-19 menyebar adalah kebutuhan orang terhadap pangan. Persoalannya, pertemuan antara pemasok dengan konsumen akhir terbatasi oleh psysical distancing . Orang disarankan tetap tinggal di rumah. Banyak bahan pangan tersedia yang terancam busuk, sedangkan banyak kebutuhan pangan yang tak terpasok.
Dilema keterputusan ini tampaknya bisa dipecahkan oleh perusahaan berbasis online : ojek online , pasar online , belanja online, kafe online, warung online. Mereka menjadikan pengemudi maupun pelaksana pengirimannya sebagai penghubung antarsimpul: produsen, konsumen tingkat I, konsumen tingkat II, hingga konsumen akhir.
Berfungsinya salah satu bentuk ekonomi karantina ini akan makin sempurna, mana kala tiap pemerintah daerah, propinsi maupun pusat melakukan tes Covid-19 kepada para pengantar produk ini. Dengan jelasnya status mereka, kehadirannya bisa diterima dengan tanpa kekhawatiran dan memaksa tiap orang belanja sendiri. Jika ini berhasil, tentu pelebaran skala ekonomi karantina bisa dilakukan.
(nag)