Seputar Lockdown

Rabu, 01 April 2020 - 07:10 WIB
Seputar Lockdown
Seputar Lockdown
A A A
Dinna Prapto Raharja, Ph.D
@Dinna_PR
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional

INDONESIA saat ini sama seperti Sadikin. Semua praktisi jaminan sosial mengenal istilah Sadikin, sakit sedikit menjadi miskin.

Istilah ini terutama ditempel pada keluarga kelas menengah Indonesia yang memiliki penghasilan tinggi, harta yang berlimpah, dan simpanan besar, tetapi tidak dijamin kesehatannya, baik melalui asuransi ataupun masuk dalam sistem kesehatan nasional. Mereka biasanya langsung jatuh bangkrut ketika sang kepala keluarga atau anggota keluarganya mengalami sakit yang membutuhkan biaya besar.

Dalam situasi tersebut biasanya terjadi dilema moral. Apakah seluruh harta dan simpanan dijual untuk bisa membayar pengobatan yang belum tentu juga menghasilkan kesembuhan atau hanya sebagian pengobatan yang dijalankan agar tidak terlalu mahal sehingga masih ada sisa uang untuk makan keesokan harinya untuk anggota keluarga yang lain. Kadang-kadang dalam anggota keluarga pun tidak semua satu pendapat sehingga timbul perdebatan yang bisa memecahkan keutuhan keluarga.

Indonesia juga demikian. Harta dan uang Indonesia banyak, tetapi pandemi Covid-19 ini seperti penyakit serangan jantung yang membutuhkan biaya pengobatan sangat besar.

Pemerintah mengalami dilema, apakah harus mengeluarkan seluruh tabungan yang ada untuk mencegah penyebaran virus ini semakin meluas secara total melalui lockdown atau tetap berhemat agar ada dana untuk menjalankan roda perekonomian dan rakyat tetap bisa makan, dengan mengandalkan partisipasi masyarakat melalui social distancing atau jaga jarak massal.

Kedua pilihan memiliki konsekuensi positif dan negatifnya masing-masing. Sebab itu, pilihan ini adalah pilihan politik yang memasukkan faktor-faktor lain ikut menjadi pertimbangan. Faktor keamanan, kemanusiaan, stabilitas politik, dan sebagainya.

Masyarakat sendiri terbelah, ada yang mendukung total karantina wilayah, ada yang menolak, dan ada yang mendukung karantina terbatas. Semakin tinggi kematian akibat Covid-19 setiap hari, maka semakin ramai juga perdebatan di tengah masyarakat tentang tema tersebut.

Lockdown sebagai solusi secara subjektif diyakini sebagai jalan keluar terbaik untuk menahan laju penyebaran oleh sebagian masyarakat yang memiliki akses ke media baik sosial maupun media tradisional. Solusi ini dianggap terbaik karena jaga jarak massal atau sosial distancing dianggap tidak efektif mencegah penyebaran virus.

Jaga jarak secara massal memang hanya berhasil apabila individu dalam populasi bersama-sama berpartisipasi. Apabila hanya sebagian penduduk yang berpartisipasi dan sebagian lain tidak melakukannya, maka jaga jarak secara massal tidak akan berhasil mencegah meluasnya penyebaran virus.

Ketidakberhasilan itu yang membuat solusi lockdown atau karantina wilayah menjadi sangat populer. Kita menyaksikan beberapa daerah sudah melakukan inisiatif untuk mengarantina wilayah mereka, baik yang dilakukan formal melalui keputusan pemerintah daerah atau secara informal dari komunitas-komunitas.

Sejauh yang bisa saya catat, di antara lima negara dengan penduduk terbesar di dunia, yaitu China (1,4 miliar jiwa), India (1,3 miliar), Amerika Serikat (330 juta), Indonesia (272 juta), dan Pakistan (219 juta) yang melakukan lockdown secara total hanyalah India. China tidak melakukan total lockdown kecuali di 14 kota dengan populasi yang dikarantina sebesar 41 juta orang, tetapi tetap membatasi pergerakan orang di kota-kota lainnya.

Pakistan juga telah menolak lockdown karena khawatir akan terjadi kerusuhan dan masalah kemanusiaan seperti yang terjadi di India. Amerika yang memiliki angka pasien dalam pengawasan dan pasien yang meninggal tertinggi di dunia setelah China akibat virus Covid-19 juga menolak lockdown dan mengatakan wabah ini akan segera berakhir.

Selain lima negara berpenduduk terbesar di atas, negara-negara yang melakukan karantina wilayah total adalah Bangladesh, Italia, Prancis, Spanyol, Belgia, Inggris, Afrika Selatan, Kolombia, Bolivia, Yordania, dan Tunisia. Bangladesh melakukan total lockdown dan mengarantina 164 juta penduduknya selama 10 hari.

Negara yang melakukan partial lockdown, tetapi mengakibatkan karantina penduduk besar antara lain Nigeria. Nigeria mengarantina 30 juta warga di tiga kota besarnya selama 14 hari.

Kita tidak pernah tahu apa alasan sebenarnya sebuah negara melakukan atau tidak melakukan lockdown karena biasanya itu menjadi rahasia negara. Covid-19 sudah menjadi panggung diplomasi bagi negara-negara di dunia untuk membuktikan kepemimpinannya atau minimal mengurangi rasa malu dituduh tidak becus menangani pandemi ini.Meski demikian, kita sudah sama-sama tahu bahwa lockdown membutuhkan biaya besar dan pemerintah di sebuah negara harus kreatif dalam menyeimbangkan antara besarnya dana yang dikeluarkan sesuai dengan besarnya risiko yang siap ditanggung.
Sebagian negara yang melakukan total lockdown bisa menjalani karantina itu dengan tenang tanpa ada gejolak politik. Tetapi, ada juga negara seperti India yang justru menimbulkan kekhawatiran bahwa penyebaran virus ini semakin cepat karena migrasi pekerja dari kota-kota besar di India. Salah satu penyebab adalah lamanya waktu karantina yang ditetapkan pemerintah, yaitu 21 hari.

Populasi pekerja migran secara matematis berhitung bahwa mereka pasti akan kelaparan di kota apabila tidak segera mudik. Seandainya lockdown hanya 10–14 hari, mungkin tidak akan menyebabkan eksodus massal. Banyak juga penduduk yang tidak mudik, tetapi berpotensi melakukan kejahatan dan penjarahan karena bantuan keuangan untuk mereka selama tidak bekerja dianggap tidak cukup.

Konsekuen pada pilihan
Di Indonesia satu hal yang relatif masih menantang untuk diterapkan ketika berbagai model lockdown dilakukan adalah pemenuhan prosedur pencegahan penyebaran Covid-19 di pintu-pintu terdepan Indonesia, yakni daerah perbatasan. Daerah perbatasan yang relatif terantisipasi dan terjaga dengan baik adalah pelabuhan-pelabuhan udara dan laut utama yang menerima arus masuk dari luar negeri.

Hal yang masih luput diperhatikan dan difasilitasi adalah pelabuhan laut yang lebih kecil, tetapi justru bisa secara massal dan masif digunakan WNI sebagai jalur masuk. Ketika pemerintah pusat Indonesia masih menimbang-nimbang soal lockdown, negara-negara di sekeliling kita sudah menerapkan lockdown. Malaysia contohnya. Penduduk Indonesia yang secara legal berada di luar negeri lebih dari 1,8 juta orang, belum lagi yang kepergiannya tidak tercatat dan tanpa dokumen.

Ketika pintu Malaysia ditutup, secara terpaksa maupun sukarela terjadilah gelombang kepulangan lewat pintu-pintu kecil tadi. Sama seperti keberangkatan, ada yang legal dan ilegal, kepulangan mereka pun demikian.

Jadi, ketika Dumai dan Bengkalis menutup diri dari kepulangan WNI, sejumlah pelabuhan lain kebanjiran WNI, padahal fasilitas seperti alat pelindung diri (APD), masker, tes Covid-19, dan sumber daya manusia sangat terbatas. Meskipun disampaikan oleh pemerintah bahwa tidak ada lockdown yang boleh dilakukan tanpa koordinasi, kenyataannya tidak ada yang menghentikan ini. Akibatnya, Karimun, Batam, dan Tanjung Pinang, saat ini menanggung arus balik yang sangat banyak.

Menurut data Kementerian Luar Negeri antara tanggal 18–26 Maret telah masuk 21.308 WNI, dengan rata-rata jumlah penumpang per hari mencapai 2.000-3.000 orang. Di Batam diputuskan yang datang akan dikarantina selama 14 hari di Rusun Batu Ampar dan sebagian ditampung di tempat para relawan. Sementara di Karimun sudah ada 6.000 orang yang masuk. Namun, tidak ada tempat yang memadai untuk karantina.

Mereka pun dilakukan pendataan penumpang per kapal yang masuk (sekitar 200 orang per kapal) dengan cara dibawa ke gelanggang olahraga dengan kendaraan-kendaraan besar. Sesudah didata, semua diarahkan untuk pulang ke daerah masing-masing.

Dengan situasi seperti ini, pemerintah pusat wajib memprioritaskan penyediaan alat-alat pelindung diri, masker, dan tes Covid-19 di pelabuhan-pelabuhan yang sedang ramai tersebut. Praktik pencegahan juga harus konsisten dilakukan di semua tahapan. Kita tidak bisa cuma memerhatikan WNI yang sudah ada di rumah masing-masing, tetapi perlu juga melindungi mereka yang baru saja tiba dan membutuhkan perhatian.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6342 seconds (0.1#10.140)