Wacana E-Voting dalam Pemilu Harus Kedepankan Kerahasiaan Pemilih
A
A
A
JAKARTA - Wacana penggunaan electronic voting (e-voting) dalam Pemilu 2024 kembali mencuat. Hal ini disinggung Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian yang menilai, e-voting diperlukan sebagai usaha untuk menekan biaya pemilu ke depan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik M Patama menyatakan berangkat dari wacana itu, pihaknya mendorong pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang untuk mempertimbangkan beberapa hal. (Baca Juga: Diklaim Lebih Hemat, KPU Usulkan Penggunaan E-Rekap ke Jokowi)
Pertama, kata Heroik, pilihan penggunaan teknologi informasi harus mengedapankan prinsip pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia dalam rangka menciptakan pemilu yang berintegritas.
"Pemilihan terbaik bukanlah pemilihan dengan teknologi yang paling canggih, melainkan pemilihan yang memenuhi prinsip-prinsip pemilu, disepakati oleh semua pihak sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah pemilu, dan dipahami dengan baik oleh semua pihak. Banyaknya masalah pada tahap rekapitulasi suara menunjukkan urgensi diterapkannya e-rekap, bukan e-voting," ujar dia kepada SINDOnews, Kamis (12/3/2020).
Kedua, lanjut Heroik, wacana pemanfaatan teknologi informasi perlu dibarengi dengan kajian yang mendalam dengan melibatkan berbagai pihak di dalamnya seperti penyelenggara pemilu, akademisi, dan kalangan masyarakat sipil. Namun, untuk memungkinkan teknologi pungut-hitung dapat diterapkan di Indonesia, ruang bagi penggunaannya mesti diatur di dalam revisi UU Pemilu.
Dalam hal ini, pemerintah dan DPR dapat mengkaji Undang-undang Pemilu di berbagai negara terkait pengaturan teknologi pungut hitung. UU Pemilu Filipina misalnya, alih-alih menyebutkan secara spesifik teknologi pungut-hitung yang boleh diterapkan, UU Pemilu memberikan ruang bagi teknologi pungut-hitung secara umum untuk digunakan.
"Hal ini akan memberikan fleksibilitas kepada penyelenggara pemilu untuk mengkaji dan memilih teknologi pungut-hitung terbaik untuk Indonesia," jelasnya.
Ketiga, kata dia, proses adopsi teknologi pungut-hitung mesti dilakukan secara transparan dan akuntabel agar terbangun kepercayaan publik. Berdasarkan, pengalaman di berbagai negara, teknologi pungut-hitung digunakan secara bertahap, yakni dari pemilihan dalam lingkup terkecil hingga lingkup terbesar, dan dari teknologi yang paling minim resiko hingga dengan resiko peretasan paling besar.
Sehingga menurutnya, kesuksesan penggunaan teknologi secara bertahap akan menjadi modal kepercayaan publik dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penyelenggara pemilu.
Adapun yang keempat, dibandingkan dengan e-voting penggunaan teknologi informasi dalam bentuk rekapitulasi elektronik atau e-recap lebih relevan digunakan di Indonesia karena selain tetap membuka ruang pengawasan partisipatif dari publik, rekapitulasi elektronik dapat menghadirikan efisiensi dan mempercepat proses rekapitulasi. (Baca juga: Perludem Minta Wacana E-Voting Pemilu Dipertimbangkan Ulang )
"Meski demikian, penggunaan e-recap perlu dilakukan secara bertahap dengan persiapan yang matang dan uji coba berulang-ulang guna mendorong kepercayaan publik terhadap sistem e-recap," tukasnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik M Patama menyatakan berangkat dari wacana itu, pihaknya mendorong pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang untuk mempertimbangkan beberapa hal. (Baca Juga: Diklaim Lebih Hemat, KPU Usulkan Penggunaan E-Rekap ke Jokowi)
Pertama, kata Heroik, pilihan penggunaan teknologi informasi harus mengedapankan prinsip pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia dalam rangka menciptakan pemilu yang berintegritas.
"Pemilihan terbaik bukanlah pemilihan dengan teknologi yang paling canggih, melainkan pemilihan yang memenuhi prinsip-prinsip pemilu, disepakati oleh semua pihak sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah pemilu, dan dipahami dengan baik oleh semua pihak. Banyaknya masalah pada tahap rekapitulasi suara menunjukkan urgensi diterapkannya e-rekap, bukan e-voting," ujar dia kepada SINDOnews, Kamis (12/3/2020).
Kedua, lanjut Heroik, wacana pemanfaatan teknologi informasi perlu dibarengi dengan kajian yang mendalam dengan melibatkan berbagai pihak di dalamnya seperti penyelenggara pemilu, akademisi, dan kalangan masyarakat sipil. Namun, untuk memungkinkan teknologi pungut-hitung dapat diterapkan di Indonesia, ruang bagi penggunaannya mesti diatur di dalam revisi UU Pemilu.
Dalam hal ini, pemerintah dan DPR dapat mengkaji Undang-undang Pemilu di berbagai negara terkait pengaturan teknologi pungut hitung. UU Pemilu Filipina misalnya, alih-alih menyebutkan secara spesifik teknologi pungut-hitung yang boleh diterapkan, UU Pemilu memberikan ruang bagi teknologi pungut-hitung secara umum untuk digunakan.
"Hal ini akan memberikan fleksibilitas kepada penyelenggara pemilu untuk mengkaji dan memilih teknologi pungut-hitung terbaik untuk Indonesia," jelasnya.
Ketiga, kata dia, proses adopsi teknologi pungut-hitung mesti dilakukan secara transparan dan akuntabel agar terbangun kepercayaan publik. Berdasarkan, pengalaman di berbagai negara, teknologi pungut-hitung digunakan secara bertahap, yakni dari pemilihan dalam lingkup terkecil hingga lingkup terbesar, dan dari teknologi yang paling minim resiko hingga dengan resiko peretasan paling besar.
Sehingga menurutnya, kesuksesan penggunaan teknologi secara bertahap akan menjadi modal kepercayaan publik dan menumbuhkan kepercayaan diri pada penyelenggara pemilu.
Adapun yang keempat, dibandingkan dengan e-voting penggunaan teknologi informasi dalam bentuk rekapitulasi elektronik atau e-recap lebih relevan digunakan di Indonesia karena selain tetap membuka ruang pengawasan partisipatif dari publik, rekapitulasi elektronik dapat menghadirikan efisiensi dan mempercepat proses rekapitulasi. (Baca juga: Perludem Minta Wacana E-Voting Pemilu Dipertimbangkan Ulang )
"Meski demikian, penggunaan e-recap perlu dilakukan secara bertahap dengan persiapan yang matang dan uji coba berulang-ulang guna mendorong kepercayaan publik terhadap sistem e-recap," tukasnya.
(kri)