Mencermati Kebijakan Penarifan Angkutan Penyeberangan
A
A
A
Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI
Sekitar dua minggu lalu terbetik wacana di beberapa media arus utama bahwa Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai dan Penyeberangan (Gapasdap) akan berhenti operasi alias mogok (02/2020).
Sebuah wacana yang amat membahayakan jika dieksekusi mengingat Indonesia adalah negara dengan karakter maritim/kepulauan yang amat bergantung pada angkutan penyeberangan, sungai dan lautan.
Beruntung, wacana itu tidak berlanjut setelah pemerintah mengakomodasi suara keras Ketua Gapasdap terkait kebijakan penarifan angkutan penyeberangan. Gapasdap meradang karena rencana eksekusi kenaikan tarif oleh Kementerian Perhubungan mengalami jalan buntu.
Padahal, terkait hal itu telah melewati lebih dari 27 kali rapat pembahasan. Kendati dari sisi public services dan hak konsumen berhenti operasi/mogok tak bisa ditoleransi, sikap keras Gapasdap bisa dimengerti.
Ada banyak hal yang layak disorot terkait kebijakan penarifan (pricing policy ) dan kebijakan operasional lainnya di sektor angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP). Jika konteksnya tuntutan kenaikan tarif sebagaimana suara Gapasdap mahal, hal itu ada rasionalitasnya.
Pasalnya, sudah tiga tahun belakangan, sejak April 2017, penyesuaian tarif di sektor ASDP belum pernah dilakukan. Sebagai entitas usaha, macetnya penyesuaian tarif adalah sesuatu yang membahayakan mengingat selama tiga tahun itu biaya pokok dan biaya operasional telah banyak mengalami perusahaan.
Laju inflasi, kenaikan upah pegawai, kenaikan harga bahan bakar, kenaikan harga onderdil, kurs rupiah terhadap dolar Amerika, plus biaya maintenance adalah komponen utama kenaikan biaya operasional yang tak terhindarkan. Jika tak ditopang dengan penyesuaian tarif, risikonya pelaku usaha akan kolaps atau minimal menurunkan kualitas pelayanannya.
Masih mendingan jika yang direduksi hanya sisi pelayanannya, bagaimana jika yang direduksi adalah biaya maintenance dan berdimensi safety ?
Kebijakan penarifan untuk sektor public services seperti angkutan penyeberangan memang harus memperhatikan dua kepentingan, yakni kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen sebagai pengguna jasa.
Dari sisi kepentingan pelaku usaha, besaran tarif idealnya memperhatikan HPP (Harga Pokok Penjualan) dan margin profit yang wajar. Jika besaran tarif belum mencerminkan hal itu alias masih ada selisih/kesenjangan, seharusnya pemerintah menggelontorkan insentif dan PSO (Public Service Obligation). Dengan kata lain, besaran kenaikan tarif tidak 100% ditanggung konsumen.
Angkutan penyeberangan adalah public service yang menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya. Pemberian insentif/PSO adalah implementasi untuk hal tersebut.
Sebab, dari sisi kepentingan konsumen, kebijakan kenaikan tarif idealnya mesti memperhatikan dua aspek, yakni aspek ability to pay (kemampuan membayar/daya beli) dan juga aspek willingness to pay , kemauan membayar, yang berdimensi pelayanan.
Kenaikan tarif harus berkelindan dengan kualitas pelayanan. Jika pemerintah menunda kenaikan tarif penyeberangan demi melindungi daya beli konsumen, itu hal yang positif. Namun, pemerintah harus konsisten dengan pemberian insentif dan PSO untuk pelaku usaha. Jangan biarkan pelaku usaha di sektor penyeberangan gulung tikar dan atau mereduksi pelayanan dan mempertaruhkan aspek safety , karena faktor selisih tarif dengan HPP.
Kini, sebagian tuntutan Gapasdap telah dipenuhi oleh pemerintah, Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kemenhub telah melahirkan PM Nomor 66/2020 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang akan diberlakukan per 1 April 2020.
Intinya, untuk rute penyeberangan Merak Bakauheni naik 10%, rute Ketapang Gilimanuk naik 14%, dan rute lainnya menyesuaikan. Tentu saja besaran kenaikan ini belum mampu memenuhi proposalnya Gapasdap yang meminta kenaikan sebesar 28%.
Artinya, besaran kenaikan tarif yang ditetapkan Kemenhub belum mampu memenuhi HPP. Namun demikian, kenaikan itu akan terasa lebih besar bagi konsumen sebab bersamaan dengan itu pemerintah juga menaikkan tarif pelabuhan (seperti airport tax di bandara) yang juga menjadi beban konsumen sehingga kenaikan yang dipikul konsumen bukan ansich 10-14%, tapi plus kenaikan tarif pelabuhan.
Pascakenaikan tarif, dalam perspektif pemenuhan hak-hak konsumen adalah adanya tuntutan kenaikan pelayanan pada konsumen, terutama dalam konteks pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di sektor angkutan penyeberangan. Memang, PT ASDP Indonesia Ferry (BUMN) akan segera menerapkan tiket online dengan jurus FerryEasy adalah patut diapresiasi.
Namun, secara keseluruhan, kita patut khawatir pemenuhan terhadap SPM sulit dipenuhi oleh operator mengingat persentase kenaikannya belum setara dengan HPP. Oleh karenanya, akan lebih fair jika solusinya adalah memberikan insentif dan atau PSO pada operator. Tanpa hal itu, kenaikan pelayanan bisa jadi hanya akan menjadi mimpi dan konsumen yang akan menjadi korban.
Guna mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi maka selain pemberian insentif dan PSO pada operator, regulator juga wajib memperhatikan beberapa hal mendasar. Pertama , mewujudkan kepatuhan pengguna kapal. Ini sangat penting karena terkait safety.
Pasalnya, banyak pengguna kapal yang tidak mematuhi safety , terutama saat di dalam kapal. Misalnya, banyak penumpang yang merokok di dek kapal, tidak mematikan kendaraannya, atau tali lasting (untuk mengikat truk dengan kapal) yang putus, lepas.
Apalagi, jika terjadi pada truk yang mengalami obesitas (truk ODOL, Over Dimention Over Load). Hal-hal seperti yang sering menjadikan kapal mengalami kecelakaan fatal pada kapal, seperti kebakaran atau bahkan tenggelam. Apalagi, manakala ombak besar atau cuaca sedang buruk. Harus ada penegakan hukum secara tegas plus sosialisasi intensif, baik sebelum penumpang naik ke kapal dan atau selama di dalam kapal. Seharusnya tidak ada kompromi soal keamanan dan safety .
Kedua , mewujudkan iklim usaha di sektor angkutan penyeberangan agar lebih sehat, tidak saling membunuh. Saat ini iklim persaingan usaha di sektor penyeberangan cenderung tidak sehat mengingat Kemenhub obral izin operasional.
Dampak dari ini semua, menurut keterangan Gapasdap, secara efektif operasional kapal hanya 11 hari dalam satu bulan alias hanya 40%. Selebihnya kapal idle , padahal operator tetap harus menanggung biaya operasional, seperti upah pegawai, biaya parkir di pelabuhan, dan terutama harus mencicil utang pada perbankan.
Kemenhub harus mengevaluasi pemberian izin, tidak boleh obral, demi mewujudkan sistem persaingan dan iklim usaha yang sehat. Dan, akhirnya adalah pemenuhan pelayanan yang prima serta terjaminnya aspek keselamatan. Patut diduga dengan kuat, dampak dari iklim usaha yang semacam ini plus belum impasnya tarif terhadap HPP maka operator acap mengabaikan faktor keselamatan mengingat banyak operator yang kinerja finansialnya tidak baik, bahkan mengalami bleeding .
Ketiga , memangkas birokrasi kebijakan penarifan. Entah pertimbangan riil apa sehingga mekanisme kebijakan penarifan saat ini harus melalui Menko Maritim dan Investasi plus Kemenkumham.
Banyak keluhan terkait hal ini, karena rantai kebijakannya menjadi panjang dan bertele-tele, bahkan bisa berdimensi inefisiensi bagi operator. Padahal, seharusnya kebijakan di sektor Perhubungan adalah tugas pokok dan fungsi kementerian teknis, yakni Kemenhub.
Jadi, Menko Maritim dan Investasi tak perlu cawe-cawe , apalagi Kemenkumham. Sebaiknya kebijakan itu segera diamendemen dan kembalikan ke khitah awal bahwa masalah kebijakan penarifan adalah tupoksinya kementerian teknis, Kemenhub. Kalau pemerintah konsisten dengan spirit omnibus law , yang kini tengah digadang-gadang, mengembalikan ke Kemenhub adalah langkah urgent untuk menciptakan iklim usaha di sektor penyeberangan agar lebih kondusif.
Keempat , seharusnya kebijakan penarifan di sektor penyeberangan menggunakan pola Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) sebagaimana moda transportasi umum yang lainnya, termasuk pesawat terbang. Kalau ojek online (ojol) saja yang bukan jenis angkutan umum resmi, Kemenhub berani menerapkan TBA dan TBB, kenapa untuk tarif penyeberangan dikecualikan?
Sekitar dua minggu lalu terbetik wacana di beberapa media arus utama bahwa Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai dan Penyeberangan (Gapasdap) akan berhenti operasi alias mogok (02/2020).
Sebuah wacana yang amat membahayakan jika dieksekusi mengingat Indonesia adalah negara dengan karakter maritim/kepulauan yang amat bergantung pada angkutan penyeberangan, sungai dan lautan.
Beruntung, wacana itu tidak berlanjut setelah pemerintah mengakomodasi suara keras Ketua Gapasdap terkait kebijakan penarifan angkutan penyeberangan. Gapasdap meradang karena rencana eksekusi kenaikan tarif oleh Kementerian Perhubungan mengalami jalan buntu.
Padahal, terkait hal itu telah melewati lebih dari 27 kali rapat pembahasan. Kendati dari sisi public services dan hak konsumen berhenti operasi/mogok tak bisa ditoleransi, sikap keras Gapasdap bisa dimengerti.
Ada banyak hal yang layak disorot terkait kebijakan penarifan (pricing policy ) dan kebijakan operasional lainnya di sektor angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP). Jika konteksnya tuntutan kenaikan tarif sebagaimana suara Gapasdap mahal, hal itu ada rasionalitasnya.
Pasalnya, sudah tiga tahun belakangan, sejak April 2017, penyesuaian tarif di sektor ASDP belum pernah dilakukan. Sebagai entitas usaha, macetnya penyesuaian tarif adalah sesuatu yang membahayakan mengingat selama tiga tahun itu biaya pokok dan biaya operasional telah banyak mengalami perusahaan.
Laju inflasi, kenaikan upah pegawai, kenaikan harga bahan bakar, kenaikan harga onderdil, kurs rupiah terhadap dolar Amerika, plus biaya maintenance adalah komponen utama kenaikan biaya operasional yang tak terhindarkan. Jika tak ditopang dengan penyesuaian tarif, risikonya pelaku usaha akan kolaps atau minimal menurunkan kualitas pelayanannya.
Masih mendingan jika yang direduksi hanya sisi pelayanannya, bagaimana jika yang direduksi adalah biaya maintenance dan berdimensi safety ?
Kebijakan penarifan untuk sektor public services seperti angkutan penyeberangan memang harus memperhatikan dua kepentingan, yakni kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen sebagai pengguna jasa.
Dari sisi kepentingan pelaku usaha, besaran tarif idealnya memperhatikan HPP (Harga Pokok Penjualan) dan margin profit yang wajar. Jika besaran tarif belum mencerminkan hal itu alias masih ada selisih/kesenjangan, seharusnya pemerintah menggelontorkan insentif dan PSO (Public Service Obligation). Dengan kata lain, besaran kenaikan tarif tidak 100% ditanggung konsumen.
Angkutan penyeberangan adalah public service yang menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya. Pemberian insentif/PSO adalah implementasi untuk hal tersebut.
Sebab, dari sisi kepentingan konsumen, kebijakan kenaikan tarif idealnya mesti memperhatikan dua aspek, yakni aspek ability to pay (kemampuan membayar/daya beli) dan juga aspek willingness to pay , kemauan membayar, yang berdimensi pelayanan.
Kenaikan tarif harus berkelindan dengan kualitas pelayanan. Jika pemerintah menunda kenaikan tarif penyeberangan demi melindungi daya beli konsumen, itu hal yang positif. Namun, pemerintah harus konsisten dengan pemberian insentif dan PSO untuk pelaku usaha. Jangan biarkan pelaku usaha di sektor penyeberangan gulung tikar dan atau mereduksi pelayanan dan mempertaruhkan aspek safety , karena faktor selisih tarif dengan HPP.
Kini, sebagian tuntutan Gapasdap telah dipenuhi oleh pemerintah, Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kemenhub telah melahirkan PM Nomor 66/2020 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang akan diberlakukan per 1 April 2020.
Intinya, untuk rute penyeberangan Merak Bakauheni naik 10%, rute Ketapang Gilimanuk naik 14%, dan rute lainnya menyesuaikan. Tentu saja besaran kenaikan ini belum mampu memenuhi proposalnya Gapasdap yang meminta kenaikan sebesar 28%.
Artinya, besaran kenaikan tarif yang ditetapkan Kemenhub belum mampu memenuhi HPP. Namun demikian, kenaikan itu akan terasa lebih besar bagi konsumen sebab bersamaan dengan itu pemerintah juga menaikkan tarif pelabuhan (seperti airport tax di bandara) yang juga menjadi beban konsumen sehingga kenaikan yang dipikul konsumen bukan ansich 10-14%, tapi plus kenaikan tarif pelabuhan.
Pascakenaikan tarif, dalam perspektif pemenuhan hak-hak konsumen adalah adanya tuntutan kenaikan pelayanan pada konsumen, terutama dalam konteks pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di sektor angkutan penyeberangan. Memang, PT ASDP Indonesia Ferry (BUMN) akan segera menerapkan tiket online dengan jurus FerryEasy adalah patut diapresiasi.
Namun, secara keseluruhan, kita patut khawatir pemenuhan terhadap SPM sulit dipenuhi oleh operator mengingat persentase kenaikannya belum setara dengan HPP. Oleh karenanya, akan lebih fair jika solusinya adalah memberikan insentif dan atau PSO pada operator. Tanpa hal itu, kenaikan pelayanan bisa jadi hanya akan menjadi mimpi dan konsumen yang akan menjadi korban.
Guna mengantisipasi agar hal itu tidak terjadi maka selain pemberian insentif dan PSO pada operator, regulator juga wajib memperhatikan beberapa hal mendasar. Pertama , mewujudkan kepatuhan pengguna kapal. Ini sangat penting karena terkait safety.
Pasalnya, banyak pengguna kapal yang tidak mematuhi safety , terutama saat di dalam kapal. Misalnya, banyak penumpang yang merokok di dek kapal, tidak mematikan kendaraannya, atau tali lasting (untuk mengikat truk dengan kapal) yang putus, lepas.
Apalagi, jika terjadi pada truk yang mengalami obesitas (truk ODOL, Over Dimention Over Load). Hal-hal seperti yang sering menjadikan kapal mengalami kecelakaan fatal pada kapal, seperti kebakaran atau bahkan tenggelam. Apalagi, manakala ombak besar atau cuaca sedang buruk. Harus ada penegakan hukum secara tegas plus sosialisasi intensif, baik sebelum penumpang naik ke kapal dan atau selama di dalam kapal. Seharusnya tidak ada kompromi soal keamanan dan safety .
Kedua , mewujudkan iklim usaha di sektor angkutan penyeberangan agar lebih sehat, tidak saling membunuh. Saat ini iklim persaingan usaha di sektor penyeberangan cenderung tidak sehat mengingat Kemenhub obral izin operasional.
Dampak dari ini semua, menurut keterangan Gapasdap, secara efektif operasional kapal hanya 11 hari dalam satu bulan alias hanya 40%. Selebihnya kapal idle , padahal operator tetap harus menanggung biaya operasional, seperti upah pegawai, biaya parkir di pelabuhan, dan terutama harus mencicil utang pada perbankan.
Kemenhub harus mengevaluasi pemberian izin, tidak boleh obral, demi mewujudkan sistem persaingan dan iklim usaha yang sehat. Dan, akhirnya adalah pemenuhan pelayanan yang prima serta terjaminnya aspek keselamatan. Patut diduga dengan kuat, dampak dari iklim usaha yang semacam ini plus belum impasnya tarif terhadap HPP maka operator acap mengabaikan faktor keselamatan mengingat banyak operator yang kinerja finansialnya tidak baik, bahkan mengalami bleeding .
Ketiga , memangkas birokrasi kebijakan penarifan. Entah pertimbangan riil apa sehingga mekanisme kebijakan penarifan saat ini harus melalui Menko Maritim dan Investasi plus Kemenkumham.
Banyak keluhan terkait hal ini, karena rantai kebijakannya menjadi panjang dan bertele-tele, bahkan bisa berdimensi inefisiensi bagi operator. Padahal, seharusnya kebijakan di sektor Perhubungan adalah tugas pokok dan fungsi kementerian teknis, yakni Kemenhub.
Jadi, Menko Maritim dan Investasi tak perlu cawe-cawe , apalagi Kemenkumham. Sebaiknya kebijakan itu segera diamendemen dan kembalikan ke khitah awal bahwa masalah kebijakan penarifan adalah tupoksinya kementerian teknis, Kemenhub. Kalau pemerintah konsisten dengan spirit omnibus law , yang kini tengah digadang-gadang, mengembalikan ke Kemenhub adalah langkah urgent untuk menciptakan iklim usaha di sektor penyeberangan agar lebih kondusif.
Keempat , seharusnya kebijakan penarifan di sektor penyeberangan menggunakan pola Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) sebagaimana moda transportasi umum yang lainnya, termasuk pesawat terbang. Kalau ojek online (ojol) saja yang bukan jenis angkutan umum resmi, Kemenhub berani menerapkan TBA dan TBB, kenapa untuk tarif penyeberangan dikecualikan?
(zil)