Teka-teki Sketsa Slenderman

Senin, 09 Maret 2020 - 06:00 WIB
Teka-teki Sketsa Slenderman
Teka-teki Sketsa Slenderman
A A A
Rio Christiawan

Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

MASYARAKAT kembali dikejutkan dengan peristiwa pembunuhan yang dilakukan seorang remaja 15 tahun terhadap anak berusia lima tahun. Ihwal terbongkarnya kasus pembunuhan ini karena remaja yang menjadi pelaku pembunuhan melapor ke kantor polisi atas pembunuhan yang dilakukannya. Setelah pihak kepolisian memeriksa tempat kejadian perkara (TKP) ditemukan mayat korban yang disimpan dalam lemari sebagaimana pengakuan korban. Selain itu, polisi juga menemukan banyak sketsa dan tulisan dalam buku sketsa tersebut.

Kini kepolisian dan masyarakat sedang mencari makna sketsa Slenderman yang mendominasi gambar sketsa pelaku maupun makna kata-kata yang menyertainya misalnya "Mau siksa baby ? Dengan senang hati atau enggak tega?"

Peristiwa pembunuhan oleh remaja NA terhadap anak-anak A termasuk dalam tipe kejahatan confirm crime karena pelaku telah mengakui perbuatannya. Namun, hal yang masih menjadi teka-teki adalah motif pelaku dalam melakukan perbuatannya.

Kini petunjuk atas motif pelaku adalah sketsa Slenderman dan sketsa lainnya serta teks yang ada di buku yang ditemukan penyidik. Menurut Bonger (1990), motif kejahatan ditemukan dalam relasi pelaku dan korban. Dalam kasus pembunuhan ini tampaknya korban bukan targeted victim , artinya sudah ada motif di antara pelaku dan korban. Sebaliknya, posisi korban tampaknya random victim , yakni korban dipilih karena situasi pelaku. Dalam hal ini karena korban adalah tetangga dari pelaku, maka ia mudah dijangkau.

Selain korban bukan targeted victim , pelaku juga tidak mendapat keuntungan atas peristiwa ini. Pemeriksaan kejiwaan terhadap pelaku dan pemeriksaan yang mendalam terhadap orang dekat pelaku menjadi kunci dalam mengungkap motif pembunuhan remaja NA terhadap anak A. Pemeriksaan kejiwaan menjadi kunci karena dengan situasi batin pelaku tidak menunjukkan ada penyesalan ketika melakukan pembunuhan sebagaimana hasil pemeriksaan penyidik. Pelaku sempat menulis di akun media sosialnya terkait peristiwa pembunuhan yang dilakukan. Tampaknya perlu digali terkait kemungkinan gangguan jiwa atau kondisi batin pelaku ketika melakukan pembunuhan tersebut.

Sketsa Slenderman

Slenderman sebenarnya adalah tokoh fiksi yang digambarkan suka menculik dan melukai anak-anak. Percobaan pembunuhan dengan bukti petunjuk gambar tokoh Slenderman sebelumnya juga pernah terjadi di Wisconsin, Amerika Serikat dengan pelaku remaja putri berusia 16 tahun pada 2014. Pada akhirnya pelaku dihukum rehabilitasi 25 tahun karena ada gangguan jiwa. Mengacu pada keterangan Bill Muray (2015) atas relasi kekerasan dan Slenderman, hubungan antara pelaku dengan figur yang digambarkan sebagai Slenderman ada tiga kemungkinan.

Pertama, sejatinya ada orang lain yang digambarkan sebagai Slenderman (Slenderman sebagai personifikasi) dan menyakiti pelaku semasa kecil (hubungan superior - inferior). Dalam kemungkinan ini, pelaku melakukan kejahatannya karena ingin mengubah rasa inferior menjadi superior karena pelaku tertekan pada posisi inferior sehingga pelaku memersonifikasikan Slenderman sebagai dirinya.

Kemungkinan kedua, Slenderman adalah gambaran dari pelaku sendiri, pelaku merasa nyaman untuk "menjadi" Slenderman. Pada posisi ini umumnya gambaran Slenderman merupakan bentuk deffence mechanism dari pelaku terhadap segala bentuk gangguan yang diterima sehingga ketika pelaku terstimulus gangguan yang menyudutkan, maka defence mechanism pada dirinya akan muncul. Misalnya relasi antara pelaku dan teman yang sebelumnya melakukan bullying terhadap pelaku.

Kemungkinan ketiga adalah adanya kekaguman yang berlebihan terhadap figur Slenderman sehingga muncul perilaku imitatif. Pertanyaan pada kemungkinan ketiga yang harus digali pada pemeriksaan kejiwaan adalah mengapa pelaku memiliki kekaguman pada figur Slenderman yang kerapkali melakukan perbuatan yang negatif. Pada kemungkinan ini, perlu digali adalah mengapa pelaku menyimpan kekaguman pada figur yang menciptakan kekacauan (disorder )?

Meskipun tetap harus dipastikan melalui serangkaian tes kejiwaan, tampaknya remaja pelaku pembunuhan memiliki impresi terhadap figur Slenderman. Dalam hal ini serangkaian pemeriksaan kejiwaan dan pemeriksaan terhadap orang terdekat pelaku seperti orang tua, orang tua tiri, guru, maupun teman dekat akan dapat membantu penyidik maupun penegak hukum dalam mengungkap motif pembunuhan remaja NA terhadap bocah A. Demikian motif pada remaja NA tersebut tentu akan berkaitan secara teknis dengan penanganan terhadap kasus pembunuhan tersebut.

Penanganan Kasus

Terlepas dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku, baik masyarakat maupun penegak hukum harus menyadari bahwa pelaku yang masih anak-anak menurut undang-undang harus diperlakukan sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH) dan harus diadili menurut sistem peradilan pidana anak. Penegakan hukum yang melibatkan anak harus berorientasi pada pembinaan dari anak itu sendiri meskipun anak sebagai pelaku.

Demikian juga penegakan hukum pada anak harus berorientasi pada restorative justice , yakni setelah mengetahui motif NA melakukan perbuatannya, maka fokus penegakan hukum adalah membina NA, bukan "menghakim", termasuk oleh masyarakat. Menghakimi pelaku hanya akan menghasilkan stigma bagi anak tersebut dan stigma akan membuat pelaku kejahatan akan mengulangi perbuatannya lagi.

Membina dalam konsep restorative justice adalah melakukan penegakan hukum yang berorientasi pada kesadaran pelaku (dalam pengertian lahir dan batin). Termasuk dalam hal ini jika ditemukan ada gangguan kejiwaan atau psikis pada pelaku yang menjadi pendorong terjadinya tindak pidana, maka penegakan hukum harus berorientasi pada aspek rehabilitatif sehingga di samping pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi, pelaku juga memiliki pedoman yang benar tentang nilai baik dan buruk sehingga setelah dinyatakan dapat bermasyarakat lagi pelaku tidak lagi mengulangi perbuatannya.

Dalam hal ada partisipasi aktif dari masyarakat, orang tua termasuk guru untuk memberikan edukasi tentang perilaku positif anak. Dengan demikian, maka peristiwa pembunuhan oleh remaja NA pada anak A tidak terulang kembali. Tanpa ada edukasi dampak negatif yang mungkin timbul adalah perilaku remaja NA akan menimbulkan dampak imitatif, yakni remaja N dan "perilaku Slenderman" akan menjadi role model bagi anak-anak yang memiliki kondisi psikis serupa.

Demikian juga dalam hal ini pengawasan akan tumbuh kembang anak-anak menjadi hal serius yang harus diperhatikan bagi orang tua, guru, maupun lingkungan terdekatnya. Artinya, perbuatan pelaku akan dapat dicegah jika lingkungan terdekat memberikan tuntunan yang sportif pada persoalan yang dihadapi pelaku (pelaku mungkin mengurungkan niatnya tersebut). Sebaliknya, jika ada pengawasan orang tua terhadap korban, tentu peristiwa yang menimpa korban akan dapat dihindarkan (mempersempit kesempatan terjadinya kejahatan). Satu di antara faktor yang menyebabkan terjadi kejahatan adalah ada niat dan kesempatan.
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9116 seconds (0.1#10.140)