Korona dan Bayang-bayang Resesi Global
A
A
A
Sahara
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB dan Associate Professor Adelaide University
EPIDEMI virus korona yang sekarang disebut Covid-19 telah menyebabkan kematian hingga hampir 3.000 orang di China dan beberapa negara lain di berbagai belahan dunia. Rata-rata tingkat kematian akibat epidemi virus di Wuhan mencapai 100 kematian per hari dengan tingkat kematian sekitar 4% dari mereka yang terinfeksi. Penyebaran Covid-19 mengalami peningkatan baik di Asia, Eropa, maupun Timur Tengah.
Epidemi Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap kesehatan, tetapi juga berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian global. Beberapa pihak menyatakan bahwa epidemi Covid-19 bisa membawa dunia ke jurang resesi. Namun, terdapat juga beberapa pihak menyatakan bahwa epidemi Covid-19 tidak akan menyebabkan resesi dunia karena fenomena ini sama dengan epidemi SARS beberapa tahun lalu.
Seperti kita ketahui epidemi SARS yang terjadi pada 2003 telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Covid-19 terkoreksi 2%. Hanya saja, epidemi tersebut tidak menyebabkan resesi global mengingat pada masa itu perekonomian China belum sebesar sekarang sehingga kontribusi negara tersebut terhadap rantai pasok global juga belum sebesar sekarang.
Pada masa sekarang China merupakan raksasa ekonomi terbesar kedua di dunia yang menyumbang 17% dari produk domestik bruto (PDB) dunia dengan pangsa terhadap perdagangan global mencapai 13,45%. China merupakan negara produsen terbesar di dunia di mana pada 2017 pabrik-pabriknya mampu menghasilkan output senilai USD3,17 triliun yaitu setara dengan nilai output yang dihasilkan oleh Amerika, Inggris, Jerman, dan Korea Selatan.
Mengingat besarnya kontribusi China terhadap perekonomian dunia, penurunan kinerja ekonomi Negeri Panda ini tentu saja akan berdampak terhadap kinerja perekonomian global terutama melalui aktivitas perdagangan, pariwisata, dan investasi.
Dari sisi perdagangan, epidemi Covid-19 telah menyebabkan isolasi besar-besaran di China sehingga mengganggu aktivitas produksi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan negara tersebut. Penurunan produksi akan berdampak terhadap penurunan ekspor dari China. Di sisi yang lain, penurunan produksi tersebut juga akan menurunkan permintaan perusahaan-perusahaan di China terhadap bahan baku yang diimpor dari luar negeri.
Dari sisi pariwisata, epidemi Covid-19 telah menyebabkan pembatalan lebih dari 20 juta penerbangan akibat pembatasan dan larangan penerbangan dari dan keluar China oleh mayoritas negara-negara di dunia. Kondisi tersebut tentu saja berpengaruh terhadap sektor-sektor pendukung pariwisata seperti hotel, restoran, dan agen perjalanan di tingkat global. Dari sisi investasi, dalam rilis yang diberikan oleh BI, dana investasi dari Tiongkok mengalami penurunan USD400 juta.
Dampak negatif dari epidemi Covid-19 terhadap kinerja perekonomian diperkirakan tidak hanya akan berhenti di sektor perdagangan, pariwisata, dan investasi. Melalui multiplier effect kinerja sektor-sektor perekonomian lain juga akan terganggu sehingga di dikhawatirkan akan menyebabkan resesi dunia. Pertanyaannya, seberapa besar penurunan pertumbuhan ekonomi global akibat epidemi Covid-19 tersebut?
Analisis Dampak
Dengan menggunakan model GTAP (Global Trade Analysis Project), Departemen Ilmu Ekonomi-FEM IPB menganalisis dampak penurunan kinerja ekspor Covid-19 terhadap perekonomian global. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa produk Tiongkok sangat mendominasi rantai pasok global sehingga epidemi Covid-19 akan menurunkan kinerja ekspor negara tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penurunan kinerja ekspor China akan menyebabkan perekonomian negara tersebut terkoreksi 2,5%, lebih tinggi daripada penurunan pertumbuhan ekonomi pada saat epidemi SARS (sekitar 2%). Perlambatan pertumbuhan di China tersebut akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan global sebesar 0,7% dan total penurunan kesejahteraan global mencapai USD215-275 juta. Konsumsi rumah tangga dan investasi global akan mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,96% dan 4%.
Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan hasil analisis jika kinerja ekspor China mengalami penurunan, Indonesia akan mengalami penurunan kesejahteraan sebesar USD458,69 juta, penurunan konsumsi rumah tangga 0,48% dan investasi 3,39%. Hal yang perlu menjadi catatan bahwa skenario yang dilakukan dalam menganalisis dampak epidemi Covid-19 belum memasukkan aspek penurunan investasi dan penurunan produksi di negara China.
Jika investasi dari China ke negara-negara lain mengalami perlambatan, maka perlambatan pertumbuhan ekonomi akan lebih besar. Bahkan beberapa pihak memprediksi bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi China 1% akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,3-0,6%. Proyeksi yang lain menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan 0,7%.
Antisipasi Dampak
Bahwa epidemi Covid-19 berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi Indonesia dan global telah disepakati oleh para ekonom. Pertanyaan selanjutnya, upaya apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut?
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sepakat bahwa aspek kesehatan harus lebih diutamakan dibandingkan aspek ekonomi. Larangan impor terhadap produk segar dan hewan hidup dari Tiongkok juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan upaya pembatasan penyebaran Covid-19 di dalam negeri.
Upaya untuk mempromosikan produk-produk lokal yang dapat menyubstitusi produk yang selama ini diimpor perlu terus dilakukan. Misalnya untuk produk buah-buahan, alih-alih menggantungkan diri dengan China atau negara lain, konsumsi buah lokal harus dipromosikan. Namun, hal yang menjadi catatan bahwa produk dalam negeri tersebut harus berdaya saing dengan produk impor baik dari sisi harga maupun kualitas.
Praktik ekonomi biaya tinggi di Indonesia yang ditengarai merupakan penyebab utama dari lemahnya daya saing produk lokal harus segera diperangi. Misalnya untuk mengangkut buah jeruk dari Sumatera Utara ke daerah konsumen (Jakarta dan sekitarnya), para sopir truk harus mengeluarkan uang yang relatif besar untuk membayar pungutan resmi dan tidak resmi di sepanjang perjalanan.
Selanjutnya, promosi sektor wisata kepada wisatawan domestik juga harus dilakukan. Ketika tiket pesawat dalam negeri mahal, banyak wisatawan domestik yang memilih berlibur ke luar negeri dibandingkan Indonesia. Untuk mendorong kinerja pariwisata, sekaranglah momentum yang tepat bagi regulator pesawat udara untuk meninjau dan melakukan penyesuaian terhadap harga tiket di dalam negeri.
Stimulasi berbagai paket kebijakan pemerintah menjadi penting untuk segera diberlakukan terutama untuk meringankan beban dunia usaha khususnya UMKM. Misalnya kebijakan penurunan suku bunga bagi pelaku UMKM akan membantu UMKM tersebut bertahan di tengah epidemi Covid-19. Insentif perpajakan juga bisa diberlakukan terutama untuk pabrik-pabrik yang banyak menggunakan bahan baku lokal.
Terkait dengan negara tujuan ekspor dan sumber impor maka diperlukan langkah antisipatif bagi para eksportir dan importir untuk mendiversifikasi pasar tujuan ekspor dan sumber impor. Kegiatan ekspor dan impor yang hanya bertumpu kepada satu negara besar diibaratkan seperti menyimpan telur dalam satu keranjang di mana risiko pecahnya telur tersebut sangat tinggi.
Dalam jangka panjang, eksportir yang selama ini bertransaksi dengan China harus mulai mencari pasar alternatif agar kinerja ekspor tetap terjaga. Bagi importir yang selama ini mengimpor bahan baku/bahan penolong dan barang modal dari Tiongkok juga diharapkan dapat mencari sumber alternatif lainnya agar produksi tetap berjalan. Pada kondisi ini sinergi antara dunia usaha dan kantor perwakilan dagang Indonesia di negara-negara lain sangat diperlukan mengingat perlu waktu yang lama untuk melakukan negosiasi dalam membuat dan mengeksekusi kontrak dengan partner dagang baru.
Hal yang perlu menjadi catatan terkait dengan diversifikasi negara tujuan ekspor adalah perlunya upaya antisipasi dari meningkatnya persaingan antarnegara eksportir dalam mencari pasar alternatif selain China. Tidak hanya Indonesia yang mencari alternatif pasar ekspor baru, tetapi juga negara-negara lain berlomba-lomba mencari pasar ekspor baru. Misal pada kasus industri karet, sebagian besar ekspor Indonesia adalah ke negara Amerika dan hanya sebagian kecil ke China.
Ekspor produk karet ke China didominasi oleh Thailand. Adanya epidemi Covid-19 menyebabkan Thailand mulai melirik Amerika Serikat sebagai alternatif ekspor sehingga persaingan Indonesia dan Thailand ke pasar AS dipastikan akan semakin ketat. Namun, kita harus percaya bahwa selama produk yang dihasilkan oleh Indonesia memiliki daya saing baik dari sisi harga maupun kualitas. Dengan begitu, persaingan tersebut tentu saja akan dapat kita menangkan.
Melalui berbagai upaya di atas di harapkan Indonesia dapat mengantisipasi dampak negatif dari epidemi Covid-19 tersebut. Kita berharap bahwa perlambatan pertumbuhan global hanya terjadi dalam jangka pendek. Jika obat penangkal Covid-19 berhasil ditemukan, perekonomian China diharapkan bisa pulih dan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi global pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB dan Associate Professor Adelaide University
EPIDEMI virus korona yang sekarang disebut Covid-19 telah menyebabkan kematian hingga hampir 3.000 orang di China dan beberapa negara lain di berbagai belahan dunia. Rata-rata tingkat kematian akibat epidemi virus di Wuhan mencapai 100 kematian per hari dengan tingkat kematian sekitar 4% dari mereka yang terinfeksi. Penyebaran Covid-19 mengalami peningkatan baik di Asia, Eropa, maupun Timur Tengah.
Epidemi Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap kesehatan, tetapi juga berdampak negatif terhadap kinerja perekonomian global. Beberapa pihak menyatakan bahwa epidemi Covid-19 bisa membawa dunia ke jurang resesi. Namun, terdapat juga beberapa pihak menyatakan bahwa epidemi Covid-19 tidak akan menyebabkan resesi dunia karena fenomena ini sama dengan epidemi SARS beberapa tahun lalu.
Seperti kita ketahui epidemi SARS yang terjadi pada 2003 telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Covid-19 terkoreksi 2%. Hanya saja, epidemi tersebut tidak menyebabkan resesi global mengingat pada masa itu perekonomian China belum sebesar sekarang sehingga kontribusi negara tersebut terhadap rantai pasok global juga belum sebesar sekarang.
Pada masa sekarang China merupakan raksasa ekonomi terbesar kedua di dunia yang menyumbang 17% dari produk domestik bruto (PDB) dunia dengan pangsa terhadap perdagangan global mencapai 13,45%. China merupakan negara produsen terbesar di dunia di mana pada 2017 pabrik-pabriknya mampu menghasilkan output senilai USD3,17 triliun yaitu setara dengan nilai output yang dihasilkan oleh Amerika, Inggris, Jerman, dan Korea Selatan.
Mengingat besarnya kontribusi China terhadap perekonomian dunia, penurunan kinerja ekonomi Negeri Panda ini tentu saja akan berdampak terhadap kinerja perekonomian global terutama melalui aktivitas perdagangan, pariwisata, dan investasi.
Dari sisi perdagangan, epidemi Covid-19 telah menyebabkan isolasi besar-besaran di China sehingga mengganggu aktivitas produksi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan negara tersebut. Penurunan produksi akan berdampak terhadap penurunan ekspor dari China. Di sisi yang lain, penurunan produksi tersebut juga akan menurunkan permintaan perusahaan-perusahaan di China terhadap bahan baku yang diimpor dari luar negeri.
Dari sisi pariwisata, epidemi Covid-19 telah menyebabkan pembatalan lebih dari 20 juta penerbangan akibat pembatasan dan larangan penerbangan dari dan keluar China oleh mayoritas negara-negara di dunia. Kondisi tersebut tentu saja berpengaruh terhadap sektor-sektor pendukung pariwisata seperti hotel, restoran, dan agen perjalanan di tingkat global. Dari sisi investasi, dalam rilis yang diberikan oleh BI, dana investasi dari Tiongkok mengalami penurunan USD400 juta.
Dampak negatif dari epidemi Covid-19 terhadap kinerja perekonomian diperkirakan tidak hanya akan berhenti di sektor perdagangan, pariwisata, dan investasi. Melalui multiplier effect kinerja sektor-sektor perekonomian lain juga akan terganggu sehingga di dikhawatirkan akan menyebabkan resesi dunia. Pertanyaannya, seberapa besar penurunan pertumbuhan ekonomi global akibat epidemi Covid-19 tersebut?
Analisis Dampak
Dengan menggunakan model GTAP (Global Trade Analysis Project), Departemen Ilmu Ekonomi-FEM IPB menganalisis dampak penurunan kinerja ekspor Covid-19 terhadap perekonomian global. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa produk Tiongkok sangat mendominasi rantai pasok global sehingga epidemi Covid-19 akan menurunkan kinerja ekspor negara tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penurunan kinerja ekspor China akan menyebabkan perekonomian negara tersebut terkoreksi 2,5%, lebih tinggi daripada penurunan pertumbuhan ekonomi pada saat epidemi SARS (sekitar 2%). Perlambatan pertumbuhan di China tersebut akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan global sebesar 0,7% dan total penurunan kesejahteraan global mencapai USD215-275 juta. Konsumsi rumah tangga dan investasi global akan mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,96% dan 4%.
Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan hasil analisis jika kinerja ekspor China mengalami penurunan, Indonesia akan mengalami penurunan kesejahteraan sebesar USD458,69 juta, penurunan konsumsi rumah tangga 0,48% dan investasi 3,39%. Hal yang perlu menjadi catatan bahwa skenario yang dilakukan dalam menganalisis dampak epidemi Covid-19 belum memasukkan aspek penurunan investasi dan penurunan produksi di negara China.
Jika investasi dari China ke negara-negara lain mengalami perlambatan, maka perlambatan pertumbuhan ekonomi akan lebih besar. Bahkan beberapa pihak memprediksi bahwa penurunan pertumbuhan ekonomi China 1% akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,3-0,6%. Proyeksi yang lain menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami perlambatan 0,7%.
Antisipasi Dampak
Bahwa epidemi Covid-19 berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi Indonesia dan global telah disepakati oleh para ekonom. Pertanyaan selanjutnya, upaya apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut?
Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, sepakat bahwa aspek kesehatan harus lebih diutamakan dibandingkan aspek ekonomi. Larangan impor terhadap produk segar dan hewan hidup dari Tiongkok juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan upaya pembatasan penyebaran Covid-19 di dalam negeri.
Upaya untuk mempromosikan produk-produk lokal yang dapat menyubstitusi produk yang selama ini diimpor perlu terus dilakukan. Misalnya untuk produk buah-buahan, alih-alih menggantungkan diri dengan China atau negara lain, konsumsi buah lokal harus dipromosikan. Namun, hal yang menjadi catatan bahwa produk dalam negeri tersebut harus berdaya saing dengan produk impor baik dari sisi harga maupun kualitas.
Praktik ekonomi biaya tinggi di Indonesia yang ditengarai merupakan penyebab utama dari lemahnya daya saing produk lokal harus segera diperangi. Misalnya untuk mengangkut buah jeruk dari Sumatera Utara ke daerah konsumen (Jakarta dan sekitarnya), para sopir truk harus mengeluarkan uang yang relatif besar untuk membayar pungutan resmi dan tidak resmi di sepanjang perjalanan.
Selanjutnya, promosi sektor wisata kepada wisatawan domestik juga harus dilakukan. Ketika tiket pesawat dalam negeri mahal, banyak wisatawan domestik yang memilih berlibur ke luar negeri dibandingkan Indonesia. Untuk mendorong kinerja pariwisata, sekaranglah momentum yang tepat bagi regulator pesawat udara untuk meninjau dan melakukan penyesuaian terhadap harga tiket di dalam negeri.
Stimulasi berbagai paket kebijakan pemerintah menjadi penting untuk segera diberlakukan terutama untuk meringankan beban dunia usaha khususnya UMKM. Misalnya kebijakan penurunan suku bunga bagi pelaku UMKM akan membantu UMKM tersebut bertahan di tengah epidemi Covid-19. Insentif perpajakan juga bisa diberlakukan terutama untuk pabrik-pabrik yang banyak menggunakan bahan baku lokal.
Terkait dengan negara tujuan ekspor dan sumber impor maka diperlukan langkah antisipatif bagi para eksportir dan importir untuk mendiversifikasi pasar tujuan ekspor dan sumber impor. Kegiatan ekspor dan impor yang hanya bertumpu kepada satu negara besar diibaratkan seperti menyimpan telur dalam satu keranjang di mana risiko pecahnya telur tersebut sangat tinggi.
Dalam jangka panjang, eksportir yang selama ini bertransaksi dengan China harus mulai mencari pasar alternatif agar kinerja ekspor tetap terjaga. Bagi importir yang selama ini mengimpor bahan baku/bahan penolong dan barang modal dari Tiongkok juga diharapkan dapat mencari sumber alternatif lainnya agar produksi tetap berjalan. Pada kondisi ini sinergi antara dunia usaha dan kantor perwakilan dagang Indonesia di negara-negara lain sangat diperlukan mengingat perlu waktu yang lama untuk melakukan negosiasi dalam membuat dan mengeksekusi kontrak dengan partner dagang baru.
Hal yang perlu menjadi catatan terkait dengan diversifikasi negara tujuan ekspor adalah perlunya upaya antisipasi dari meningkatnya persaingan antarnegara eksportir dalam mencari pasar alternatif selain China. Tidak hanya Indonesia yang mencari alternatif pasar ekspor baru, tetapi juga negara-negara lain berlomba-lomba mencari pasar ekspor baru. Misal pada kasus industri karet, sebagian besar ekspor Indonesia adalah ke negara Amerika dan hanya sebagian kecil ke China.
Ekspor produk karet ke China didominasi oleh Thailand. Adanya epidemi Covid-19 menyebabkan Thailand mulai melirik Amerika Serikat sebagai alternatif ekspor sehingga persaingan Indonesia dan Thailand ke pasar AS dipastikan akan semakin ketat. Namun, kita harus percaya bahwa selama produk yang dihasilkan oleh Indonesia memiliki daya saing baik dari sisi harga maupun kualitas. Dengan begitu, persaingan tersebut tentu saja akan dapat kita menangkan.
Melalui berbagai upaya di atas di harapkan Indonesia dapat mengantisipasi dampak negatif dari epidemi Covid-19 tersebut. Kita berharap bahwa perlambatan pertumbuhan global hanya terjadi dalam jangka pendek. Jika obat penangkal Covid-19 berhasil ditemukan, perekonomian China diharapkan bisa pulih dan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi global pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
(thm)