Hakikat Sekolah Sesungguhnya

Sabtu, 29 Februari 2020 - 06:30 WIB
Hakikat Sekolah Sesungguhnya
Hakikat Sekolah Sesungguhnya
A A A
Fajar Anugrah Tumanggor

Aktivis Pendidikan

ADA satu hal yang paling saya suka dari konsep sekolah masa Yunani Kuno. Pendidikan di era sebelum Masehi itu berada di tempat terbuka. Diskusi dan dialog terjadi dengan suasana yang interaktif. Konsep berbagi tidak terikat ruang dan sistem administrasi. Ada aturan tetapi tidak menjadi yang terpenting.

Makna. Itulah yang disajikan dari konsep pendidikan sekolah masa lalu. Hal tersebut sesuai dengan arti dari sekolah itu sendiri yang berasal dari kata scola yang artinya waktu luang. Secara eksplisit juga mengarah ke taman bermain. Di sana tidak ada ketegangan, orang-orang dibuat suka dengan apa yang dipelajari. Tidak ada paksaan.

Percaya atau tidak, sistem yang sudah ada ribuan tahun lalu itu sedikit banyak diadopsi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim lewat konsep Merdeka Belajar. Secara literal, merdeka artinya bebas. Maka belajar itu adalah membebaskan. Lantas, yang jadi pertanyaan, apa arti bebas di sini? Apakah sekolah jadi liar dan meliarkan siswanya?

Bebas

Nadiem mengakui bahwa di Indonesia banyak sekali masalah yang menghambat laju peningkatan kualitas pendidikan masyarakat kita. Persoalan birokrasi, perangai guru masa lalu yang tidak relevan lagi hingga karakter siswa generasi milenial jadi sekelumit permasalahan yang harus dicarikan solusinya. Terutama bagi guru sebagai pionir mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia pun berkeinginan merampingkan administrasi yang menyulitkan guru dengan bantuan digitalisasi sistem.

Tak hanya itu, Nadiem juga ingin membebaskan konsep pendidikan lama yang masih dipakai hingga kini. Salah satunya menghapuskan ujian nasional (UN) pada 2021. Selama ini UN seperti mimpi buruk. Proses pembelajaran enam tahun untuk SD atau tiga tahun untuk SMP/SMA ditentukan syarat kelulusannya oleh UN yang hanya dilakukan tiga atau empat hari itu. Yang benar saja?

UN seolah menyamaratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Padahal kemampuan masyarakat bagian timur dan barat itu timpang. Di Papua misalnya. Jangankan UN, ketersediaan guru dan fasilitas saja masih minim. Bagaimana mungkin kita ingin melihat kualitas UN di Papua setara dengan daerah di bagian barat, sementara mereka masih mengalami kendala dalam fasilitas dan sumber daya?

Komika Pandji Pragiwaksono mengatakan itu tak adil. "Masa proses pembelajaran yang tidak sama, dengan kualitas yang tidak serupa, lulusnya harus distandardisasi? Ya gak bisa dong." Begitu katanya dalam sebuah video komedi tunggal. Alhasil tak mengherankan jika banyak siswa yang akhirnya berbuat curang dalam mengerjakan UN. Guru pun terdorong untuk melakukannya. Akhirnya sekolah menjadi tempat yang tidak sehat.

Maka saya pun mendukung untuk penilaian dikembalikan ke sekolah. Guru memang yang paling mengerti kualitas muridnya. Tapi jika ini dilakukan, pengawasan harus kuat. Terutama dari komite atau dewan pendidikan sekolah. Tujuannya meminimalisasi kecurangan yang ada. Untuk menghindari kongkalikong bawah kolong.

Soal UN memang hanya satu dari sekian masalah yang harus diselesaikan. Hal berikutnya yang perlu diperhatikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ke depan ialah sistem pendidikan yang sesuai dengan generasi milenial. Kita tahu tipe generasi yang lahir sejak 1995 hingga sekarang itu orangnya kreatif, suka dengan tantangan, dan ekspresif.

Harus saya akui sistem pendidikan kita masih menerapkan pola yang disebut Paulo Freire dalam bukunya Pedagogi Pendidikan sebagai bank system . Sekolah hanya berkutat seperti bank yang mendulang tabungan dari pelanggan. Guru dijadikan pelayan. Murid sebagai tabungan atau sebagai objek.

Di titik inilah sekolah tak ubahnya penjara. Menampung para tahanan, memberi makan setiap hari, tetapi tak ada kebebasan di situ. Siswa dipaksa mengikuti sistem yang bisa jadi tak relevan lagi dengan masa kini. Dalam hal inilah Nadiem ingin "membebaskan" sistem yang ruwet itu terlebih dahulu, kemudian baru bisa mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya.

Berlatar pengusaha dan orang muda, dia tentu memahami karakter generasi milenial. Sosok yang akrab dengan dunia digital itu pun ingin siswa lebih banyak berkarya daripada sekadar menjadi pendengar. Mereka harus menjadi subjek dan bukan objek dari pendidikan itu sendiri. Guru hanya sebagai fasilitator dan pengarah.

Itulah yang terus saya lakukan sebagai praktisi pendidikan. Saya ingat sekali pengabdian di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, beberapa tahun lalu. Anak-anak sekolah kami ajak bermain. Ya seperti beraktivitas di waktu luang. Di setiap permainan kami selipkan pelajaran. Jadi anak-anak suka belajar. Mereka senang.

Selain edukasi soal mata pelajaran, kami juga memberikan pendidikan lingkungan. Mereka kami ajak ke alam terbuka, melihat banyaknya sampah yang bertebaran di situ. Selain kami ajak untuk mengutip sampah dan menaruhnya di tong sampah, kami juga ajari untuk mengolah sampah jadi bahan yang lebih berguna. Bisa dibuat vas bunga atau pakaian.

Sistem belajar itu sebenarnya sudah diterapkan di Surabaya lewat konsep adiwiyata. Saya sering meliput bagaimana siswa berkreasi dan mengolah sampah jadi lebih berguna. Mereka tidak dipaksa. Hanya rekomendasi. Beberapa siswa pun memilihnya. Siswa tak hanya berkreasi sekali, tetapi berkali-kali. Bahkan dalam setiap kegiatannya anak-anak itu nge-vlog juga. Itu menandakan mereka kreatif dan tidak bosan. Siswa menjadikan pelajaran sebagai permainan, sebagai hobi.

Tan Malaka dalam bukunya Madilog mengatakan sekolah tidak boleh merobotkan siswanya dengan konsep otomatisasi. Justru sekolah harus menjadi pionir pembebasan, seperti Tuhan Yesus yang membebaskan manusia dari dosa. Seperti Nabi Muhammad yang membebaskan umatnya dari masa jahiliah. Seperti itulah seyogianya sekolah berperan.

Tantangan di era milenial dan pascamilenial ini semakin berat. Globalisasi dan pergerakan ekspansional negara-negara kawasan semakin masif. Jika kita tidak siap menghadapinya, alamat kapal akan tenggelam. Kita akan menjadi penonton abadi. Atau minimal kita jadi bangsa konsumeris sejati.

Finlandia, Amerika, Inggris, dan bahkan Vietnam sudah selangkah lebih maju di depan kita. Murid-murid mereka tidak hanya kompeten dalam bidang teknologi, tetapi juga kompeten lewat kreasi literasi dan aksi nyata di lapangan. Sekolah harus mau berbenah dan dibenahi. Tidak boleh lagi menjadi penjara. Justru sekolah harus menjadi taman.

Di sana ada keceriaan. Kita bisa bermain sesukanya tanpa harus terikat oleh ruang dan administrasi yang kaku. Akan tetapi moralitas tetap harus dikedepankan. Itulah sejatinya yang harus menjadi kompas konsep Merdeka Belajar. Nadiem harus mengembalikan sekolah ke hakikat sesungguhnya. Pendidikan harus membebaskan. Begitu kata Paulo Freire. Bebas dari kebodohan, kebatilan, dan ketidakmerataan. Kita tunggu gebrakannya berjalan.
(jon)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4063 seconds (0.1#10.140)