Tuban Petro, TPPI, dan Masa Depan Industri Petrokimia Indonesia
A
A
A
Komaidi Notonegoro Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
BERDASARKAN pencermatan, terdapat sejumlah pihak yang mengkritisi kebijakan pembelian saham Tuban Petro oleh Pertamina. Terdapat pihak yang menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan bailout untuk PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) oleh Pertamina yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian yang melebihi kerugian kasus Jiwasraya.
Dalam perspektif bisnis dan historis, pembelian 51% saham right issue Tuban Petro yang dilakukan Pertamina pada 25 November 2019 tersebut pada dasarnya dapat dikatakan sebagai aksi korporasi biasa. Sementara dari perspektif historis, kebijakan tersebut bagian dari proses restrukturisasi tahap kedua untuk penyelesaian masalah MYB dan pengembangan Group Tuban Petro oleh pemerintah.
Posisi Strategis Grup Tuban Petro memiliki posisi strategis dalam bisnis Petrokimia Indonesia. Saat ini Grup Tuban Petro memiliki saham mayoritas pada tiga perusahaan, yaitu PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) 42,6%, PT Polytama Propindo 80 %, dan PT Petro Oxo Nusantara (PON) 50%. Tiga perusahaan tersebut merupakan penghasil produk-produk petrokimia yang bernilai tambah tinggi.
Kilang TPPI memproduksi paraxylene, benzene, orthoxylene, toluene , LPG, HDPE, LDPE, dan PP. Kilang Polytama memproduksi polypropylene . Sementara kilang PON memproduksi 2-ethylhexanol dan N-butanol . Pengembangan kilang tiga perusahaan tersebut diproyeksikan akan memberikan sejumlah manfaat ekonomi yang di antaranya berpotensi memperoleh penghematan devisa sekitar USD6,1 miliar atau sekitar Rp85 triliun, menyerap sekitar 347.000 tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan pajak sekitar USD500 juta atau sekitar Rp7 triliun.Berdasarkan posisi strategis dan potensi manfaat ekonomi yang akan ditimbulkan tersebut, dapat dikatakan bahwa pembelian saham Tuban Petro oleh Pertamina memiliki dasar atau pertimbangan bisnis yang cukup logis. Apalagi, setelah aksi korporasi Pertamina tersebut, struktur kepemilikan Tuban Petro berubah menjadi Pertamina 51%, Kementerian Keuangan 47%, dan PT Silakencana Tirtalestari 2%.
Pembelian saham Tuban Petro juga memiliki peran strategis bagi Pertamina untuk tetap dapat mengendalikan arah kebijakan pengelolaan kilang TPPI. Sebagaimana diketahui, sebelum proses restrukturisasi porsi kepemilikan Pertamina terhadap TPPI adalah 48,59%. Sementara setelah proses restrukturisasi kepemilikan Pertamina terhadap saham TPPI terdilusi menjadi 37,65%. Hal tersebut terkait dengan restrukturisasi utang dan penerbitan saham baru TPPI ke Tuban Petro yang disetujui oleh RUPS TPPI pada 17 Desember 2019 dan pengambilalihan saham baru oleh Tuban Petro yang disetujui oleh RUPS TPPI pada 20 Desember 2019.
Karena itu, struktur kepemilikan TPPI pascaproses restrukturisasi adalah menjadi Tuban Petro 42,6%, Pertamina 37,65%, dan pihak lain 19,75%. Dengan kepemilikan Pertamina pada Tuban Petro tersebut, secara tidak langsung kepemilikan Pertamina terhadap saham TPPI sekitar 59% atau sebagai pemegang saham mayoritas. Porsi kepemilikan tersebut cukup strategis mengingat TPPI memiliki potensi yang besar di dalam bisnis petrokimia Indonesia.Secara bisnis, potensi masa depan kilang TPPI dapat dikatakan cukup baik. Satu di antara produk yang dihasilkan oleh kilang TPPI sebagaimana disebutkan adalah paraxylene yang merupakan komponen penting untuk industri tekstil, bahan baku kemasan makanan dan minuman, casing telepon genggam, dashboard kendaraan, dan produk turunan lainnya.
TPPI mampu memproduksikan sekitar 600.000 metrik ton paraxylene per tahun. Saat ini kemampuan produksi tersebut melampaui kebutuhan paraxylene domestik. Terkait itu pada Desember 2018 PT Pertamina (Persero) bersama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) tercatat melakukan ekspor 10.000 metrik ton paraxylene ke China. Perkembangan permintaan paraxylene domestik maupun pasar ekspor berpotensi memberikan dampak positif bagi bisnis TPPI.
Peluang pasar untuk bisnis petrokimia di Indonesia saat ini ditaksir sekitar Rp40-50 triliun per tahun. Nilai tersebut dapat meningkat signifikan jika orientasi industri petrokimia Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga untuk pasar Asia-Pasifik yang saat ini kebutuhannya cukup besar dan diproyeksikan akan terus meningkat sampai beberapa tahun ke depan.
Informasi yang ada menyebutkan bisnis petrokimia memiliki margin yang lebih tinggi dibanding bisnis BBM. Karena itu, pengembangan bisnis kilang berbasis produk-produk petrokimia seperti TPPI secara tidak langsung dapat menjadi insentif bagi pelaku bisnis yang selama ini kurang tertarik dengan industri kilang karena margin yang diperoleh diinformasikan lebih rendah dibandingkan dengan industri hulu migas.
Secara keseluruhan pembelian saham Tuban Petro oleh Pertamina cukup positif jika dilihat hanya dari konteks bisnis. Meski demikian, mengingat TPPI memiliki sejarah yang tidak sederhana di dalam menyelesaikan kewajiban kepada para pihak Pertamina perlu untuk lebih hati-hati di dalam melakukan pengelolaan kilang TPPI. Kilang tersebut memiliki banyak nilai strategis, termasuk dapat diintegrasikan dengan proyek GRR Tuban. Secara bisnis kiranya hal tersebut tidak terbantahkan. Namun, kewajiban TPPI harus clear dan clean juga harus menjadi catatan Pertamina.
Semoga niat baik Pertamina untuk menjadi pelaku utama dalam bisnis petrokimia nasional dapat dilakukan dengan cara-cara yang baik dan sesuai dengan kaidah bisnis sebagaimana mestinya satu di antaranya sebagaimana yang telah dilakukan perusahaan, yaitu membeli saham Tuban Petro.
BERDASARKAN pencermatan, terdapat sejumlah pihak yang mengkritisi kebijakan pembelian saham Tuban Petro oleh Pertamina. Terdapat pihak yang menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan bailout untuk PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) oleh Pertamina yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian yang melebihi kerugian kasus Jiwasraya.
Dalam perspektif bisnis dan historis, pembelian 51% saham right issue Tuban Petro yang dilakukan Pertamina pada 25 November 2019 tersebut pada dasarnya dapat dikatakan sebagai aksi korporasi biasa. Sementara dari perspektif historis, kebijakan tersebut bagian dari proses restrukturisasi tahap kedua untuk penyelesaian masalah MYB dan pengembangan Group Tuban Petro oleh pemerintah.
Posisi Strategis Grup Tuban Petro memiliki posisi strategis dalam bisnis Petrokimia Indonesia. Saat ini Grup Tuban Petro memiliki saham mayoritas pada tiga perusahaan, yaitu PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) 42,6%, PT Polytama Propindo 80 %, dan PT Petro Oxo Nusantara (PON) 50%. Tiga perusahaan tersebut merupakan penghasil produk-produk petrokimia yang bernilai tambah tinggi.
Kilang TPPI memproduksi paraxylene, benzene, orthoxylene, toluene , LPG, HDPE, LDPE, dan PP. Kilang Polytama memproduksi polypropylene . Sementara kilang PON memproduksi 2-ethylhexanol dan N-butanol . Pengembangan kilang tiga perusahaan tersebut diproyeksikan akan memberikan sejumlah manfaat ekonomi yang di antaranya berpotensi memperoleh penghematan devisa sekitar USD6,1 miliar atau sekitar Rp85 triliun, menyerap sekitar 347.000 tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan pajak sekitar USD500 juta atau sekitar Rp7 triliun.Berdasarkan posisi strategis dan potensi manfaat ekonomi yang akan ditimbulkan tersebut, dapat dikatakan bahwa pembelian saham Tuban Petro oleh Pertamina memiliki dasar atau pertimbangan bisnis yang cukup logis. Apalagi, setelah aksi korporasi Pertamina tersebut, struktur kepemilikan Tuban Petro berubah menjadi Pertamina 51%, Kementerian Keuangan 47%, dan PT Silakencana Tirtalestari 2%.
Pembelian saham Tuban Petro juga memiliki peran strategis bagi Pertamina untuk tetap dapat mengendalikan arah kebijakan pengelolaan kilang TPPI. Sebagaimana diketahui, sebelum proses restrukturisasi porsi kepemilikan Pertamina terhadap TPPI adalah 48,59%. Sementara setelah proses restrukturisasi kepemilikan Pertamina terhadap saham TPPI terdilusi menjadi 37,65%. Hal tersebut terkait dengan restrukturisasi utang dan penerbitan saham baru TPPI ke Tuban Petro yang disetujui oleh RUPS TPPI pada 17 Desember 2019 dan pengambilalihan saham baru oleh Tuban Petro yang disetujui oleh RUPS TPPI pada 20 Desember 2019.
Karena itu, struktur kepemilikan TPPI pascaproses restrukturisasi adalah menjadi Tuban Petro 42,6%, Pertamina 37,65%, dan pihak lain 19,75%. Dengan kepemilikan Pertamina pada Tuban Petro tersebut, secara tidak langsung kepemilikan Pertamina terhadap saham TPPI sekitar 59% atau sebagai pemegang saham mayoritas. Porsi kepemilikan tersebut cukup strategis mengingat TPPI memiliki potensi yang besar di dalam bisnis petrokimia Indonesia.Secara bisnis, potensi masa depan kilang TPPI dapat dikatakan cukup baik. Satu di antara produk yang dihasilkan oleh kilang TPPI sebagaimana disebutkan adalah paraxylene yang merupakan komponen penting untuk industri tekstil, bahan baku kemasan makanan dan minuman, casing telepon genggam, dashboard kendaraan, dan produk turunan lainnya.
TPPI mampu memproduksikan sekitar 600.000 metrik ton paraxylene per tahun. Saat ini kemampuan produksi tersebut melampaui kebutuhan paraxylene domestik. Terkait itu pada Desember 2018 PT Pertamina (Persero) bersama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) tercatat melakukan ekspor 10.000 metrik ton paraxylene ke China. Perkembangan permintaan paraxylene domestik maupun pasar ekspor berpotensi memberikan dampak positif bagi bisnis TPPI.
Peluang pasar untuk bisnis petrokimia di Indonesia saat ini ditaksir sekitar Rp40-50 triliun per tahun. Nilai tersebut dapat meningkat signifikan jika orientasi industri petrokimia Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga untuk pasar Asia-Pasifik yang saat ini kebutuhannya cukup besar dan diproyeksikan akan terus meningkat sampai beberapa tahun ke depan.
Informasi yang ada menyebutkan bisnis petrokimia memiliki margin yang lebih tinggi dibanding bisnis BBM. Karena itu, pengembangan bisnis kilang berbasis produk-produk petrokimia seperti TPPI secara tidak langsung dapat menjadi insentif bagi pelaku bisnis yang selama ini kurang tertarik dengan industri kilang karena margin yang diperoleh diinformasikan lebih rendah dibandingkan dengan industri hulu migas.
Secara keseluruhan pembelian saham Tuban Petro oleh Pertamina cukup positif jika dilihat hanya dari konteks bisnis. Meski demikian, mengingat TPPI memiliki sejarah yang tidak sederhana di dalam menyelesaikan kewajiban kepada para pihak Pertamina perlu untuk lebih hati-hati di dalam melakukan pengelolaan kilang TPPI. Kilang tersebut memiliki banyak nilai strategis, termasuk dapat diintegrasikan dengan proyek GRR Tuban. Secara bisnis kiranya hal tersebut tidak terbantahkan. Namun, kewajiban TPPI harus clear dan clean juga harus menjadi catatan Pertamina.
Semoga niat baik Pertamina untuk menjadi pelaku utama dalam bisnis petrokimia nasional dapat dilakukan dengan cara-cara yang baik dan sesuai dengan kaidah bisnis sebagaimana mestinya satu di antaranya sebagaimana yang telah dilakukan perusahaan, yaitu membeli saham Tuban Petro.
(mhd)