Koperasi Merah Putih dan Problematika Kesejahteraan Petani
loading...

Fandi Ahmad Saiful Haadii, Mahasiswa Doktoral UIII dan Peneliti Puspoll Indonesia
A
A
A
Fandi Ahmad Saiful Haadii
Mahasiswa Doktoral UIII dan Peneliti Puspoll Indonesia
KETIMPANGAN ekonomi menjadi salah satu permasalahan akut Indonesia hari ini. Merujuk pada data World Inequality Database (WID) 2023 10% elit teratas Indonesia memperoleh 48% dari total pendapatan dan menguasai 60% kekayaan rumah tangga.
Sebaliknya, 50% penduduk terbawah hanya memperoleh 12,4% pendapatan dan hanya menguasai 5,5% kekayaan rumah tangga.
Gambaran ketimpangan ekonomi indonesia tidak hanya tercermin pada skala nasional, bahkan ketimpangan yang paling tajam terjadi di daerah pedesaan. Berdasarkan laporan Smeru (2017), 5% penduduk terkaya desa memiliki pertumbuhan pendapatan sekitar 7-8% pertahun sedangan sisanya hanya dapat mencapai pertumbuhan kurang dari 4,5%.
Kondisi ini juga di perparah dengan fakta bahwa sebagian besar lahan di pedesaan dikuasai oleh negara, korporasi ataupun penduduk kota. Ketimpangan kepemilikan lahan sebagai alat produksi utama masyarakat desa yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian menjadi sumber permasalahan kesejahteraan mereka.
Tidak hanya itu, sektor pertanian desa juga menghadapi problem sistemik ketimpangan struktural rantai produksi dan distribusi pertanian yang menyebabkan para petani memiliki daya tawar rendah di pasar, baik ketika mereka berperan sebagai pembeli (benih atau pupuk) ataupun ketika mereka bertindak sebagai penjual hasil panen.
Kompleksitas permasalahan sektor pertanian ini mengakibatkan naiknya angka urbanisasi. Hal ini bisa kita lihat dari laporan Smeru (2018) yang mencatat bahwa persentase penduduk yang memutuskan untuk menetap dan bekerja di desa semakin menurun dari tahun ke tahun. Minimnya akses terhadap lahan dan jaminan kesejahteraan di sektor pertanian menyebabkan generasi muda tidak tertarik untuk bekerja di sektor pertanian.
Jika kita meminjam analisa Carolan (2018) dalam bukunya The Real Cost of Cheap Food, maka kita akan melihat bagaimana permasalahan pembangunan desa dan para petani bukan pada kurangnnya teknologi ataupun kepemilikan lahan akan tetapi terletak pada rezim pangan murah dan ketimpangan pasar.
Carolan mengibaratkan rantai pasokan pangan itu seperti pasir di jam gelas pasir dimana para petani menghadapi dua kondisi pasar yang tidak sehat dalam rantai produksinya: yaitu monopoli bahan produksi dan monopsoni hasil pertanian.
Para petani menghadapi monopoli bahan produksi inputnya dimana penyedia/penjual komoditas seperti benih, pupuk dam pestisida terbatas sedangkan konsumen sangat banyak. Tiga jenis komoditas produksi pertanian ini disediakan oleh segelintir aktor/perusahaan untuk diakses oleh 29,36 juta unit usaha pertanian perorangan.
Dalam kondisi monopoli pasar komoditas produksi ini para petani tidak memiliki daya tawar terhadap penjual sehingga harga komoditas tersebut ditentukan penuh oleh penyedia/penjual alih-alih oleh harga kompetitif pasar.
Mahasiswa Doktoral UIII dan Peneliti Puspoll Indonesia
KETIMPANGAN ekonomi menjadi salah satu permasalahan akut Indonesia hari ini. Merujuk pada data World Inequality Database (WID) 2023 10% elit teratas Indonesia memperoleh 48% dari total pendapatan dan menguasai 60% kekayaan rumah tangga.
Sebaliknya, 50% penduduk terbawah hanya memperoleh 12,4% pendapatan dan hanya menguasai 5,5% kekayaan rumah tangga.
Gambaran ketimpangan ekonomi indonesia tidak hanya tercermin pada skala nasional, bahkan ketimpangan yang paling tajam terjadi di daerah pedesaan. Berdasarkan laporan Smeru (2017), 5% penduduk terkaya desa memiliki pertumbuhan pendapatan sekitar 7-8% pertahun sedangan sisanya hanya dapat mencapai pertumbuhan kurang dari 4,5%.
Kondisi ini juga di perparah dengan fakta bahwa sebagian besar lahan di pedesaan dikuasai oleh negara, korporasi ataupun penduduk kota. Ketimpangan kepemilikan lahan sebagai alat produksi utama masyarakat desa yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian menjadi sumber permasalahan kesejahteraan mereka.
Tidak hanya itu, sektor pertanian desa juga menghadapi problem sistemik ketimpangan struktural rantai produksi dan distribusi pertanian yang menyebabkan para petani memiliki daya tawar rendah di pasar, baik ketika mereka berperan sebagai pembeli (benih atau pupuk) ataupun ketika mereka bertindak sebagai penjual hasil panen.
Kompleksitas permasalahan sektor pertanian ini mengakibatkan naiknya angka urbanisasi. Hal ini bisa kita lihat dari laporan Smeru (2018) yang mencatat bahwa persentase penduduk yang memutuskan untuk menetap dan bekerja di desa semakin menurun dari tahun ke tahun. Minimnya akses terhadap lahan dan jaminan kesejahteraan di sektor pertanian menyebabkan generasi muda tidak tertarik untuk bekerja di sektor pertanian.
Permasalahan Struktural Pertanian
Jika kita meminjam analisa Carolan (2018) dalam bukunya The Real Cost of Cheap Food, maka kita akan melihat bagaimana permasalahan pembangunan desa dan para petani bukan pada kurangnnya teknologi ataupun kepemilikan lahan akan tetapi terletak pada rezim pangan murah dan ketimpangan pasar.
Carolan mengibaratkan rantai pasokan pangan itu seperti pasir di jam gelas pasir dimana para petani menghadapi dua kondisi pasar yang tidak sehat dalam rantai produksinya: yaitu monopoli bahan produksi dan monopsoni hasil pertanian.
Para petani menghadapi monopoli bahan produksi inputnya dimana penyedia/penjual komoditas seperti benih, pupuk dam pestisida terbatas sedangkan konsumen sangat banyak. Tiga jenis komoditas produksi pertanian ini disediakan oleh segelintir aktor/perusahaan untuk diakses oleh 29,36 juta unit usaha pertanian perorangan.
Dalam kondisi monopoli pasar komoditas produksi ini para petani tidak memiliki daya tawar terhadap penjual sehingga harga komoditas tersebut ditentukan penuh oleh penyedia/penjual alih-alih oleh harga kompetitif pasar.
Lihat Juga :