Optimalisasi Program BPNT pada 2020

Selasa, 25 Februari 2020 - 08:02 WIB
Optimalisasi Program...
Optimalisasi Program BPNT pada 2020
A A A
Galuh Octania

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies

HARGA pangan sangat memengaruhi tingkat konsumsi dan pengeluaran masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang termasuk dalam keluarga prasejahtera. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan pada 2018, asupan gizi masyarakat Indonesia paling besar dipengaruhi oleh konsumsi beras (62,14%) dan rendah pada asupan gizi yang lainnya seperti protein, kacang-kacangan, vitamin, dan mineral.Padahal, pemenuhan gizi yang seimbang sangat diperlukan untuk hidup lebih sehat dan berkualitas, salah satunya juga demi menurunkan angka prevalensi stunting di Indonesia. Terkait diet yang tidak proporsional ini, tercatat pula bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan sekitar 51% pendapatan mereka untuk makan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 memperlihatkan bahwa proporsi sebesar 58,66% dari setiap pendapatan masyarakat perdesaan habis untuk konsumsi pangan.

Harga pangan yang mahal berkontribusi pada ketidakmampuan mereka untuk membeli makanan yang bergizi. Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Indonesia pada 2018, dalam kategori diversifikasi pangan, posisi Indonesia terbilang tidak baik karena berada di peringkat 102 dari total 113 negara.Peringkat ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berada di garis ataupun di bawah garis kemiskinan, menghabiskan lebih dari setengah proporsi pendapatan mereka hanya untuk pemenuhan kebutuhan makan, di mana konsumsi itu pun belum tentu seimbang dari sisi kandungan gizi. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan yang lain seperti pendidikan pun menjadi tidak diperhatikan.

Transformasi Program BPNT

Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dikeluarkan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat prasejahtera di Indonesia. BPNT merupakan sebuah pembaharuan dari program pemerintah sebelumnya, yaitu beras miskin/beras sejahtera (raskin/rastra), di mana saat itu pemerintah lewat Bulog menyalurkan beras bersubsidi dengan alokasi sebanyak 10 kilogram per rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTSPM) per bulan.

BPNT sendiri mulai masuk dan bertahap menggantikan program rastra dari tahun 2017, di mana saat itu menyasar 1,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Dengan diterapkannya BPNT, ada harapan bagi pemerintah untuk bertransformasi ke arah perubahan yang lebih baik dari sisi program pemberian bantuan pangan.

Lewat nilai bantuan Rp110.000 untuk setiap KPM, BPNT memberikan kesempatan kepada KPM untuk dapat membelanjakan beras dan telur. Dengan menggunakan kartu elektronik, bantuan dapat ditukarkan di elektronik warong (e-warong ) yang ada di tempat tinggal sekitar.

BPNT sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018, diinisiasi oleh Kementerian Sosial berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan termasuk salah satu bantuan sosial yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017. KPM sebagai penerima bantuan haruslah mereka yang termasuk dalam 25% warga termiskin di wilayah mereka tinggal.

Melalui program BPNT, pemerintah ingin mendorong semangat lahirnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai penyalur produk pangan. Hal inilah yang juga menyebabkan BPNT menerapkan mekanisme pasar dalam pelaksanaannya, diharapkan kompetisi dan persaingan sehat akan hadir dan pemberdayaan masyarakat perdesaan dapat ditingkatkan.Menurut data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, hingga Desember 2019, BPNT sudah disalurkan sebanyak 15.085.385 KPM di seluruh Indonesia dari total target 15,6 juta KPM. Ini juga menandakan berakhirnya program rastra yang ada dalam negeri.

Program Sembako 2020

Menariknya, pada 2020 ini program BPNT kembali mengalami pembaruan. Mulai Januari, BPNT dikembangkan menjadi program sembako. Perubahan ini menaikkan nilai bantuan dari yang sebelumnya berjumlah Rp110.000 menjadi Rp150.000. Sementara untuk target KPM masih sama dengan tahun sebelumnya, yaitu 15,6 juta keluarga.

Peningkatan nilai bantuan ini merupakan langkah pemerintah yang patut diapresiasi. Komoditas bahan pangan yang disalurkan mengalami penambahan dan tidak hanya terbatas pada sumber karbohidrat (beras) dan protein hewani (telur). Kali ini, BPNT lewat e-warong juga dapat memenuhi kebutuhan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (tempe, tahu) serta sumber vitamin dan mineral seperti sayur-mayur dan buah-buahan.

Penambahan pilihan pangan tentunya merupakan angin segar bagi konsumen dalam rangka pemenuhan gizi yang lebih seimbang bagi keluarga mereka. Disebutkan oleh Kementerian Sosial, keterlibatan keluarga prasejahtera dalam program BPNT juga dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan dan perbankan di Indonesia.

Selain itu, BPNT juga dapat meningkatkan transaksi nontunai dalam agenda Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Yang terpenting juga, seperti tujuan awalnya, bantuan ini dapat pula meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah utamanya lewat wirausaha dan UMKM yang kemudian muncul.

Kendala Pelaksanaan BPNT

Namun terlepas dari pengembangannya, program ini juga tidak luput dari kendala. Dalam rangka pemenuhan gizi yang seimbang, implementasi program ini tidak diiringi dengan pengetahuan KPM yang memadai akan pentingnya diversifikasi pangan bagi keluarga mereka. Lebih lanjut, perlu juga ada optimalisasi verifikasi dan validasi data KPM yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain faktor KPM, kesiapan e-warong sebagai penyalur bahan pangan di wilayah mereka pun kadang masih tidak maksimal.

Permasalahan penting lainnya adalah banyak daerah di Indonesia yang masih belum mempunyai infrastruktur internet dan jaringan yang baik dan stabil untuk menyokong implementasi BPNT. Hal ini belum termasuk jika ditambah dengan kesulitan untuk mengakses lokasi tersebut.

Terkadang hal ini kemudian diselesaikan dengan mekanisme BPNT offline yang menjadikan penyaluran beras dilakukan secara rapel. Tentunya hal ini akan membawa kerugian bagi para KPM, misalnya saja penurunan kualitas beras. Selain faktor-faktor di atas, polemik penyalur beras pun masih menjadi isu umum dalam kendala pelaksanaan BPNT.

Jika di program rastra sebelumnya pelaksanaan subsidi beras diserahkan pada Bulog, pada sistem BPNT pemasok swasta juga dapat menyalurkan beras ke e-warong yang tersedia. Selain karena memang BPNT menerapkan sistem mekanisme pasar, terdapat pula persaingan sehat dan kompetisi yang ingin diciptakan oleh peraturan pemerintah yang ada.

Di sinilah terkadang beras Bulog masih kalah bersaing dengan beras dari para pemasok swasta, terutama dari segi kualitas beras yang diperjualbelikan. Lewat sistem BPNT, konsumen diberikan kendali untuk dapat memilih beras yang ingin dikonsumsi. Untuk itu, ini merupakan tantangan bagi Bulog untuk kemudian menyediakan beras yang berkualitas dan sesuai dengan selera konsumen di Indonesia.

Terlebih lagi, dalam RPJMN 2020-2024 yang baru-baru ini dikeluarkan, terdapat sasaran untuk meningkatkan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan di mana salah satu target yang ingin dicapai pada 2024 adalah melalui penyaluran beras fortifikasi, utamanya oleh Bulog, bagi keluarga yang kurang mampu dan kurang gizi melalui mekanisme BPNT.

Harapan BPNT ke Depan

Melihat pembahasan sebelumnya dan fenomena di lapangan, pelaksanaan Program Sembako pada 2020 harus dipersiapkan dengan seoptimal mungkin. Kalau BPNT ingin terus menjalankan fungsinya meringankan beban konsumsi pangan masyarakat, pemerintah harus terus menjaga stabilitas harga komoditas pangan di pasar.

Jika harga pangan terus mengalami kenaikan, bukan tidak mungkin masyarakat nantinya justru tidak akan terlalu memperhatikan diversifikasi pangan dalam pemenuhan gizi keluarganya. Padahal tercapainya gizi seimbang merupakan salah satu tujuan diadakannya BPNT, semisal dengan mengurangi konsumsi telur (protein hewani) dan menambah konsumsi beras (karbohidrat).

BPNT merupakan suatu program yang positif dan patut kita tunggu kelanjutannya. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dilakukan demi menumbuhkan semangat berwirausaha di daerah. Diharapkan, penerima bantuan akan semakin berkurang dengan tercapainya tujuan program BPNT.

Berkurangnya jumlah KPM juga menandakan berkurangnya jumlah kemiskinan di Indonesia. Pada akhirnya, program BPNT hadir tidak hanya sebagai program perlindungan masyarakat, tapi harus sebagai program yang juga dapat memberdayakan masyarakat Indonesia.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8711 seconds (0.1#10.140)