Menyoal Monas sebagai Lintasan Formula E
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
INDONESIA akan menggelar balapan mobil seri Formula E di Jakarta pada 6 Juni mendatang. Lintasan balap direncanakan akan melalui kawasan Monas dan sekitarnya. Ajang ini tentu memiliki banyak dampak positif bagi Indonesia. Selain menggelar balapan Formula E, pemerintah juga bisa memperkenalkan Indonesia pada dunia internasional.
Lintasan balap yang melalui kawasan Monas sebagai landmark Jakarta dan Indonesia kota dianggap menjadi daya tarik. Lintasan balap melalui landmark suatu kota dan negara merupakan hal yang lumrah untuk menambah daya tarik dari event balap tersebut. Seperti Singapura dengan lintasan balap yang melewati Merlion yang menjadi landmark negara tersebut.
Event balap seperti Formula E sebenarnya tidak lepas dari agenda pariwisata, di samping seluruh pemangku kepentingan harus memanfaatkan dampak multiplier terhadap perekonomian. Lintasan balap Formula E yang semula direncanakan melalui Monas untuk mengenalkan landmark Indonesia dan Jakarta pada dunia internasional kini justru terganjal izin dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
Ihwal persoalan penyelenggaraan event balap Formula E ini adalah ketika TACB mengirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang pada intinya menolak memberikan rekomendasi penyelenggaraan balap mobil listrik tersebut. Dengan tiadanya rekomendasi dari TACB tersebut maka gelaran Formula E di Jakarta terancam batal digelar.
Sebenarnya seluruh pemangku kepentingan harus melihat persoalan ini secara objektif dan proporsional. Di sini makna proporsional adalah meletakkan masalah pada porsinya. Bagaimanapun setelah Jakarta ditunjuk sebagai salah satu tuan rumah maka event internasional ini seharusnya dapat digelar di Indonesia.
Pembatalan event internasional sekelas Formula E akan berdampak buruk bagi nama baik Indonesia, selain akan kehilangan potensi ekonomi yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat. Sangat disayangkan jika upaya meyakinkan tim inspeksi Formula E untuk memilih Indonesia, dalam hal ini Jakarta, berakhir sia-sia. Karena itu seluruh pihak yang terlibat harus duduk bersama untuk menemukan kompromi sehingga event tersebut tetap dapat digelar sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Kompromi
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, wewenang TACB dalam hal ini adalah memberikan rekomendasi terkait cagar budaya. Oleh sebab itu yang perlu dicermati adalah kewenangan TACB pada UU ini, yakni pada objek cagar budaya dan atau terkait pengelolaan cagar budaya.
Event balap Formula E ini sebenarnya tdak memiliki kaitan langsung dengan Monas sebagai cagar budaya. Balap Formula E ini tidak memiliki kaitan dengan revitalisasi, renovasi, konservasi dan adaptasi cagar budaya yang menjadi kewenangan dari TACB merujuk pada UU Nomor 11 Tahun 2010.
Saat ini persepsi masyarakat awam adalah terkendalanya event internasional balap Formula E adalah karena belum adanya rekomendasi dari TACB. Padahal, jika mengacu pada aturan kewenangan TACB adalah hanya sebatas memberikan rekomendasi terkait cagar budaya.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa secara hukum administrasi sebagaimana diuraikan Lotulung (1994), bahwa rekomendasi bukanlah keputusan melainkan bentuk komunikasi atas kajian lintas instansi, sehingga tanpa rekomendasi pejabat yang berwenang tetap dapat mengambil keputusan, kecuali rekomendasi tersebut nyata-nyata disebutkan dalam peraturan perundangan.
Sejatinya, gelaran balap Formula E rencananya hanya menggunakan area sekitar Monas sebagai lintasan. Jika TACB menolak memberikan rekomendasi dengan retorika “tidak pantas menggelar dangdutan di tempat ibadah” sesungguhnya itu tidak tepat untuk menggambarkan hubungan antara event internasional balap Formula E dengan Monas sebagai cagar budaya yang memiliki nilai historis.
Mengacu pada pernyataan TACB tersebut maka seolah-olah balap Formula E adalah sesuatu yang negatif di tengah objek yang memiliki kesakralan secara historis. Pertanyaan reflektifnya adalah jika event internasional balap Formula E dipandang mengganggu kesakralan nilai-nilai historis Monas, lantas bagaimana dengan “red district” yang terletak tak jauh dari Monas?
Perlu diluruskan secara objektif bahwa event internasional balap Formula E tidak dilakukan di Monas, melainkan hanya di area sekitarnya. Itu pun jika mengacu pada layout yang beredar maka area sekeliling Monas akan terbagi menjadi beberapa lapis. Sebagaimana diuraikan oleh Walter Hugo (2001), bahwa secara sosiologis ukuran dari gangguan terhadap kesakralan atas objek historis adalah reaksi masyarakat itu sendiri.
Terlepas dari persoalan kewenangan menurut UU, dalam hal ini TACB, sebenarnya lembaga ini juga tidak pernah menyampaikan alasan yang konkret tentang keberatannya memberikan rekomendasi atas event internasional balap Formula E tersebut.
Partisipasi yang diharapkan dari TACB dalam hal ini adalah bukan sebatas retorika dangdutan dan tempat ibadah tetapi adalah masukan yang sifatnya konstruktif sehingga event internasional tersebut tetap dapat digelar tanpa merusak kesakralan dan nilai-nilai historis dari Monas.
Demi nama baik Indonesia di level internasional maka kegaduhan yang bersifat internal semestinya bisa dikelola. Dalam hal ini penting untuk menekan ego sektoral demi tercapainya agenda besar bangsa Indonesia. Seluruh pemangku kepentingan harus mampu menimbang dampak jika gelaran balap Formula E dilaksanakan atau dibatalkan.
Di tengah upaya pemerintah mengejar pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, event berskala internasional seperti Formula E akan mampu menunjang pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan ekonomi. Dampak multiplier dari penyelenggaraan event seperti ini juga dapat menunjang agenda pemerintah di bidang pariwisata, ekonomi kreatif hingga agenda Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Seluruh pihak yang terlibat harus mampu menyingkirkan ego sektoral dan harus mampu memformulasikan solusi bagi terlaksananya event internasional ini. Sangat disayangkan jika momentum Indonesia menjadi tuan rumah event sekelas balap Formula E dengan segala potensi yang melekat justru tidak dapat dimanfaatkan karena hal-hal yang masih bersifat asumsi.
Semua pemangku kepentingan harus sadar bahwa event internasional semacam ini akan langsung dapat menggerakkan perekonomian masyarakat hingga level terendah dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Karenanya, seluruh pihak harus mendukung Indonesia untuk menjadi tuan rumah dan menyingkirkan segala ego sektoral maupun persoalan birokrasi yang menghambat.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
INDONESIA akan menggelar balapan mobil seri Formula E di Jakarta pada 6 Juni mendatang. Lintasan balap direncanakan akan melalui kawasan Monas dan sekitarnya. Ajang ini tentu memiliki banyak dampak positif bagi Indonesia. Selain menggelar balapan Formula E, pemerintah juga bisa memperkenalkan Indonesia pada dunia internasional.
Lintasan balap yang melalui kawasan Monas sebagai landmark Jakarta dan Indonesia kota dianggap menjadi daya tarik. Lintasan balap melalui landmark suatu kota dan negara merupakan hal yang lumrah untuk menambah daya tarik dari event balap tersebut. Seperti Singapura dengan lintasan balap yang melewati Merlion yang menjadi landmark negara tersebut.
Event balap seperti Formula E sebenarnya tidak lepas dari agenda pariwisata, di samping seluruh pemangku kepentingan harus memanfaatkan dampak multiplier terhadap perekonomian. Lintasan balap Formula E yang semula direncanakan melalui Monas untuk mengenalkan landmark Indonesia dan Jakarta pada dunia internasional kini justru terganjal izin dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
Ihwal persoalan penyelenggaraan event balap Formula E ini adalah ketika TACB mengirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang pada intinya menolak memberikan rekomendasi penyelenggaraan balap mobil listrik tersebut. Dengan tiadanya rekomendasi dari TACB tersebut maka gelaran Formula E di Jakarta terancam batal digelar.
Sebenarnya seluruh pemangku kepentingan harus melihat persoalan ini secara objektif dan proporsional. Di sini makna proporsional adalah meletakkan masalah pada porsinya. Bagaimanapun setelah Jakarta ditunjuk sebagai salah satu tuan rumah maka event internasional ini seharusnya dapat digelar di Indonesia.
Pembatalan event internasional sekelas Formula E akan berdampak buruk bagi nama baik Indonesia, selain akan kehilangan potensi ekonomi yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat. Sangat disayangkan jika upaya meyakinkan tim inspeksi Formula E untuk memilih Indonesia, dalam hal ini Jakarta, berakhir sia-sia. Karena itu seluruh pihak yang terlibat harus duduk bersama untuk menemukan kompromi sehingga event tersebut tetap dapat digelar sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Kompromi
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, wewenang TACB dalam hal ini adalah memberikan rekomendasi terkait cagar budaya. Oleh sebab itu yang perlu dicermati adalah kewenangan TACB pada UU ini, yakni pada objek cagar budaya dan atau terkait pengelolaan cagar budaya.
Event balap Formula E ini sebenarnya tdak memiliki kaitan langsung dengan Monas sebagai cagar budaya. Balap Formula E ini tidak memiliki kaitan dengan revitalisasi, renovasi, konservasi dan adaptasi cagar budaya yang menjadi kewenangan dari TACB merujuk pada UU Nomor 11 Tahun 2010.
Saat ini persepsi masyarakat awam adalah terkendalanya event internasional balap Formula E adalah karena belum adanya rekomendasi dari TACB. Padahal, jika mengacu pada aturan kewenangan TACB adalah hanya sebatas memberikan rekomendasi terkait cagar budaya.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa secara hukum administrasi sebagaimana diuraikan Lotulung (1994), bahwa rekomendasi bukanlah keputusan melainkan bentuk komunikasi atas kajian lintas instansi, sehingga tanpa rekomendasi pejabat yang berwenang tetap dapat mengambil keputusan, kecuali rekomendasi tersebut nyata-nyata disebutkan dalam peraturan perundangan.
Sejatinya, gelaran balap Formula E rencananya hanya menggunakan area sekitar Monas sebagai lintasan. Jika TACB menolak memberikan rekomendasi dengan retorika “tidak pantas menggelar dangdutan di tempat ibadah” sesungguhnya itu tidak tepat untuk menggambarkan hubungan antara event internasional balap Formula E dengan Monas sebagai cagar budaya yang memiliki nilai historis.
Mengacu pada pernyataan TACB tersebut maka seolah-olah balap Formula E adalah sesuatu yang negatif di tengah objek yang memiliki kesakralan secara historis. Pertanyaan reflektifnya adalah jika event internasional balap Formula E dipandang mengganggu kesakralan nilai-nilai historis Monas, lantas bagaimana dengan “red district” yang terletak tak jauh dari Monas?
Perlu diluruskan secara objektif bahwa event internasional balap Formula E tidak dilakukan di Monas, melainkan hanya di area sekitarnya. Itu pun jika mengacu pada layout yang beredar maka area sekeliling Monas akan terbagi menjadi beberapa lapis. Sebagaimana diuraikan oleh Walter Hugo (2001), bahwa secara sosiologis ukuran dari gangguan terhadap kesakralan atas objek historis adalah reaksi masyarakat itu sendiri.
Terlepas dari persoalan kewenangan menurut UU, dalam hal ini TACB, sebenarnya lembaga ini juga tidak pernah menyampaikan alasan yang konkret tentang keberatannya memberikan rekomendasi atas event internasional balap Formula E tersebut.
Partisipasi yang diharapkan dari TACB dalam hal ini adalah bukan sebatas retorika dangdutan dan tempat ibadah tetapi adalah masukan yang sifatnya konstruktif sehingga event internasional tersebut tetap dapat digelar tanpa merusak kesakralan dan nilai-nilai historis dari Monas.
Demi nama baik Indonesia di level internasional maka kegaduhan yang bersifat internal semestinya bisa dikelola. Dalam hal ini penting untuk menekan ego sektoral demi tercapainya agenda besar bangsa Indonesia. Seluruh pemangku kepentingan harus mampu menimbang dampak jika gelaran balap Formula E dilaksanakan atau dibatalkan.
Di tengah upaya pemerintah mengejar pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, event berskala internasional seperti Formula E akan mampu menunjang pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan ekonomi. Dampak multiplier dari penyelenggaraan event seperti ini juga dapat menunjang agenda pemerintah di bidang pariwisata, ekonomi kreatif hingga agenda Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Seluruh pihak yang terlibat harus mampu menyingkirkan ego sektoral dan harus mampu memformulasikan solusi bagi terlaksananya event internasional ini. Sangat disayangkan jika momentum Indonesia menjadi tuan rumah event sekelas balap Formula E dengan segala potensi yang melekat justru tidak dapat dimanfaatkan karena hal-hal yang masih bersifat asumsi.
Semua pemangku kepentingan harus sadar bahwa event internasional semacam ini akan langsung dapat menggerakkan perekonomian masyarakat hingga level terendah dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Karenanya, seluruh pihak harus mendukung Indonesia untuk menjadi tuan rumah dan menyingkirkan segala ego sektoral maupun persoalan birokrasi yang menghambat.
(thm)