Ketidaksetaraan Pendidikan dan Pembelajaran Abad 21

Sabtu, 22 Februari 2020 - 07:04 WIB
Ketidaksetaraan Pendidikan...
Ketidaksetaraan Pendidikan dan Pembelajaran Abad 21
A A A
R Mustofa
Dosen Ilmu Pendidikan Unusa,
Ph.D Student at Department Education and Human Potentials Development, NDHU, Taiwan

Kita memiliki kegelisahan tentang pendidikan. Sejenak kita memaknai apa yang dikatakan Einstein, “Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan menggunakan jenis pikiran yang sama yang telah digunakan ketika kita menciptakannya”.

Artinya, berpikir “beyond the box” seringkali diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan manusia yang kompleks.

Satu di antara masalah utama pendidikan pascareformasi adalah ketidaksetaraan atau ketimpangan antara perkotaan-perdesaan. Namun, permasalahan tersebut jarang mendapat perhatian secara intens dari pemerintah.

Isu kesetaraan dalam pendidikan (equity in education) menyangkut students outcomes, latar belakang, status sosial ekonomi, tempat tinggal, hingga gender.

Tantangan besar dan mendesak adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan serta meningkatkan kesetaraan dalam menyediakan kualitas pendidikan, terutama antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan.

Equity in education bukan hanya menyangkut keadilan sosial, tetapi juga berkaitan dengan cara memanfaatkan sumber daya yang efektif.

Hasil survei PISA 2018 Indonesia memperoleh skor (reading, mathematics, and science) yang buruk. Kebiasaan lama, kegelisahan dicurahkan pada peningkatan kualitas guru.

Di pembelajaran abad ke-21, pertanyaan yang mengusik kita adalah, apakah guru masih penting? Tentu jawaban masyarakat, “penting”. Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang religius pasti bergantung pada kehadiran sosok guru.

Apalagi, bagi kebanyakan masyarakat nama “guru” punya tafsir filosofis yaitu digugu lan ditiru. Itulah sebabnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2009-2004) menginstruksikan untuk mengintegrasikan 18 nilai yang tercakup dalam religiosity, honesty, discipline, tolerance, creativity, democracy, curiosity, nationalism, respect, independence, togetherness, and social care (Qoyyimah, 2017), yang sekarang kita kenal K-13.

Jika kita amati, nilai-nilai tersebut adalah ciri penguatan pendidikan karakter yang menjadi satu di antara fokus pemerintah saat ini.

Namun, berdasarkan American Statistical Association, guru hanya menyumbang 1% hingga 14% dari variabilitas nilai tes siswa.

Faktor paling penting yang memengaruhi pembelajaran siswa dan kualitas pendidikan justru faktor-faktor di luar sekolah, yakni latar belakang siswa, karakteristik, hingga sosial ekonomi. Karena itu, pemerintah harus benar-benar memperhatikan faktor ini.

Apalagi, permasalahan aktual yang krusial adalah ketidaksetaraan.
Ketimpangan antara area perkotaan dengan area perdesaan sangat lebar.

Saat kami menangani proyek literasi yang bekerja sama dengan INOVASI dan dibiayai oleh Department of Foreign and Trade (Australian Government) di salah satu kota di Jawa Timur ditemukan banyak sekali siswa yang tidak bisa berbahasa Indonesia.

Kelas tiga sekolah dasar bahkan masih banyak yang belum bisa membaca dan menulis.
Banyak ahli berpendapat bahwa pembelajaran abad 21 menekankan pada empat aspek, yaitu pemikiran kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas.

Tentu empat hal tersebut penting, namun wacana tersebut tak lagi baru, namun belum ada hasil yang membanggakan.

Harari dalam bukunya, 21 Lessons for the 21st Century, mengingatkan kita tentang tantangan abad 21 untuk mengembangkan skills siswa yang lebih general, yaitu kemampuan untuk menghadapi perubahan, merangsang untuk mempelajari ihwal baru (curiosity), dan menjaga keseimbangan mental dalam situasi yang tidak femiliar.

Lebih lanjut ia mengatakan di atas semuanya adalah kita tidak hanya perlu menemukan ide dan produk baru, tetapi harus mampu reinvent diri kita lagi dan lagi.

Gagasan Harari bukan tanpa dasar, ia membuktikan dengan data yang kuat tentang perkembangan umat manusia di seluruh dunia. Ia merekam sejarah kehidupan manusia dalam buku pertamanya, yaitu Sapiens: A Brief History of Humankind.

Kemudian dengan perspektif sejarah, ia memprediksi masa depan umat manusia dalam bukunya yang kedua, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Karena itu, pembelajaran harus bermakna tak cukup sekadar “apa dan bagaimana”, namun “mengapa”.

Itu satu di antara pertanyaan terpenting dalam pembelajaran abad 21. Saat ini kita masih terkungkung oleh hegemoni modernisme yang terlalu kaku dalam mengonstruksi kebenaran. Postmodernisme kemudian menawarkan alternatif baru yang lebih bermakna dan dibutuhkan di era sekarang dan mendatang.

Menurutnya, pertanyaan yang paling mendasar bukan “apa yang kamu tahu” atau “apa yang kamu bisa”, tetapi “siapa saya” dan “apa yang bisa saya kontribusikan pada komunitas dunia”.
Modernisme dengan standar objektif yang kaku terbatas untuk menjangkau diversitas siswa seperti latar belakang, budaya, status sosial dan ekonomi.

Padahal, ketimpangan dimulai dari realitas tersebut sehingga gagap mengatasi permasalahan ketidaksetaraan.

Siswa dan guru adalah aktor yang tidak terduga dalam teater pendidikan. Individu memiliki nilai, kemampuan, minat, kecenderungan, sejarah, budaya, dan bahkan persepsi yang berbeda tentang kenyataan. “Tidak ada siswa standar”.

Identifikasi masalah harus komprehensif dan spesifik agar benar-benar memperoleh potret yang utuh. Mari kita simak kembali pernyataan Einstein: Jika saya punya satu jam untuk menyelesaikan permasalahan dan hidup saya bergantung pada solusinya, maka saya akan menghabiskan 55 menit pertama menentukan pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan… saat saya tahu pertanyaan yang tepat, saya akan memecahkan masalah kurang dari 5 menit.

Namun, kita sering terburu-buru dalam mencari solusi tanpa bukti yang kuat, bahkan tidak menyentuh masalah aktual yang akut.

Memang evaluasi tidak pernah selesai. Evaluasi adalah pekerjaan yang menantang dan terus-menerus. Hasil yang diperoleh dan bukti yang dikumpulkan lebih seperti lukisan impresionistik daripada desain yang dihasilkan oleh algoritma dalam program komputer.

Individu yang melihat lukisan impresionistik menarik banyak pembelajaran, wawasan, dan emosi yang selalu berbeda; kita harus menganggap siswa lebih sebagai lukisan daripada sebagai program komputer.
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0974 seconds (0.1#10.140)