Menegosiasikan Relasi Islam dan Negara
A
A
A
Ahan Syahrul Arifin
Tenaga Ahli di DPR RI
PERBENTURAN antara agama dan negara kembali menguat. Pemicunya tak lain berasal dari pernyataan kontroversial Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi yang menyatakan agama merupakan musuh Pancasila. Sebelumnya, isu politisasi agama dijadikan komoditas pemenangan dalam perhelatan pemilu. Pertentangannya memecah belah masyarakat secara diametral.
Secara historis, relasi agama dan negara, khususnya Islam seperti roller coster, kadang naik, adakalanya turun, kadang baik, tak jarang berseberangan.
Fluktuatif
Di era Indonesia modern, relasi Islam dan negara bermula dari gerakan Sarikat Dagang Islam. Kesadaran berkumpul dan berorganisasi yang baru tumbuh diiringi dengan perlawanan terhadap kolonialisme. Ekspresi politik Islam makin mencengkeram saat Jepang memberikan ruang bagi berkumpulnya kelompok Islam dalam wadah Masyumi. Kondisi yang berlanjut hingga demokrasi parlementer jatuh bangun. Dominasi kekuatan Islam sangat kentara.
Seiring peristiwa hilangnya tujuh kata dalam piagam Jakarta, pemberontakan DII/TII, dan pembubaran Masyumi kelompok Islam lebih banyak berada di luar kekuasaan. Bahkan, kekalahan komunisme tak membuat politik Islam kembali berjaya. Sebaliknya, kelompok-kelompok fungsional dan profesional yang banyak berada di lingkar kekuasaan, selain tentunya kuasa tentara.
Memasuki era 1980-1990-an kelompok-kelompok cendekiawan muslim memulai ijtihad baru dengan ide-ide nonpolitik. Nilai-nilai Islam diejewantahkan dalam gerakan-gerakan intelektual, pemberdayaan masyarakat, penguatan civil-society dan pemikiran. Lorong waktu yang berubah menunjukkan keberpihakan negara terhadap Islam yang makin intim.
Politik akomodasi tersebut ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) yang mewajibkan diselenggarakannya pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan (1988), disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) pada 1989, pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990, kompilasi hukum Islam (1991), Pembentukan Badan Amil Zakat dan Sedekah atau Bazis (1991), dihapuskannya kebijakan lama yang melarang pengenaan jilbab pada jam-jam sekolah (1991), pelaksanaan Festival Kebudayaan Islam Istiqlal (1991), pembentukan Bank Muamalat Indonesia atau BMI (1992), dan penghapusan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah atau SDSB (1993).
Euforia kebangkitan Islam politik makin meledak setelah jatuhnya Orde Baru. Partai-partai bergenre Islam tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Politik Islam seakan mendapatkan momentum untuk kembali bangkit. Ruang gerak yang selama ini terkekang terbuka lebar seiring derap keterbukaan reformasi.
Pemilu 1999 seakan menjadi de javu kebangkitan Islam politik. Sayangnya, banyaknya partai Islam membuat suara umat terpecah-belah. Kekuatan Islam politik (partai Islam) di parlemen tak pernah dominan sebagaimana asumsi jumlah penganut Islam yang terbanyak. PPP, PKS, PKB dan PAN bahkan tak pernah memenangkan pemilu nasional.
Belakangan, simpul-simpul umat terefleksikan melalui gerakan-gerakan reaksioner seperti Aksi Bela Islam 212. Aksi yang mampu membangkitkan gairah umat dalam beribadah hingga aktivisme politik. Akibatnya politik identitas (agama) dijadikan komoditas politik dalam pilkada dan pemilu.
Wajah umat Islam Indonesia juga banyak berubah akibat persinggungan dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Komodifikasi Islam merambah gaya hidup umat. Tak hanya soal fashion , tetapi juga soal spiritualitas. Ustad-ustad Youtube menjadi tren seiring dengan dengung kekuatan ormas-ormas Islam yang kehilangan aksentuasinya. Strata pendidikan, pekerjaan, pendapatan, serta bonus demografi menjadi takaran baru generasi muslim tumbuh dan berkembang.
Dialog Keterbukaan
Di sisi lain, negara seperti semakin alergi dengan agama (Islam). Stigmatisasi radikal dan intoleran seakan dicapkan untuk umat Islam. Hubungan negara dengan agama memang tak sepenuhnya akur. Relasi negara dan agama tak sepenuhnya tuntas.
Bahtiar Effendi mengatakan, selama belum ada "kesepakatan yang dinegosiasikan" (negotiated settlement ) di antara para elite religio-politik bangsa ini untuk memutuskan bagaimanakah sebaiknya agama berhubungan dengan negara selubung ketakutan akan terus menghantui. Utamanya terhadap gerakan-gerakan kelompok Islam politik legal-formal yang menginginkan terbentuknya negara Islam, khilafah, ataupun NKRI bersyariah.
Maka daripada itu, relasi negara dan agama perlu mendapatkan perhatian serius, tak sekadar dikoarkan melalui wacana moderasi agama. Apalagi melihat gejala akhir-akhir ini, sentimen terhadap kekuatan Islam menggelinding di berbagai belahan dunia. Kasus Uighur di China, demo besar di India akibat UU Amendemen Imigrasi yang mendiskreditkan muslim, hingga memanasnya Timur Tengah akibat konflik AS-Iran. Gejala dan tanda yang mengemuka harus dimaknai dengan cara-cara yang bijak agar tentunya hubungan antara negara dan agama dalam bingkai keindonesiaan dapat terjaga dengan baik.
Hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia, menurut Bahtiar Effendi, sesungguhnya tergantung pada jenis diskursus Islam politik yang manakah yang sedang berkembang. Dengan mengurai kembali kiprah Islam politik di negara ini pada periode revolusi (pertengahan 1940-an), liberal (pertengahan 1950-an) dan Orde Baru (akhir 1960-an), menunjukkan artikulasi-artikulasi Islam yang bercorak formalistis dan legalistis, khususnya dalam kerangka idealisme dan aktivisme politiknya, besar perannya dalam menumbuhsuburkan hubungan yang saling mencurigai antara Islam dan negara.
Namun, tentu perlu disadari bersama keanekaragaman etnis, ras, dan basis sosial keagamaan yang terhampar di Nusantara, menjadi pilihan bagi kelompok kepentingan manapun untuk mengartikulasikan dan mengekspresikan kepentingannya dalam konteks keindonesiaan. Maka, dalam rangka penataan relasi antara Islam dan negara, perlunya dialog yang penuh keterbukaan mengenai peran dan posisi agama dalam negara. Jika pada era 1940-an dan 1950-an upaya tersebut terkendala keterbatasan waktu, manuver politik Soekarno dan militer. Selanjutnya pada masa Orde Baru perdebatan ini diendapkan karena stigmatisasi Islam Politik yang hendak mendirikan negara Islam. Kotak Pandora tersebut mesti dibuka dengan lapang dada dengan menjalankan dialog guna mencapai penyelesaian yang semestinya.
Tenaga Ahli di DPR RI
PERBENTURAN antara agama dan negara kembali menguat. Pemicunya tak lain berasal dari pernyataan kontroversial Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi yang menyatakan agama merupakan musuh Pancasila. Sebelumnya, isu politisasi agama dijadikan komoditas pemenangan dalam perhelatan pemilu. Pertentangannya memecah belah masyarakat secara diametral.
Secara historis, relasi agama dan negara, khususnya Islam seperti roller coster, kadang naik, adakalanya turun, kadang baik, tak jarang berseberangan.
Fluktuatif
Di era Indonesia modern, relasi Islam dan negara bermula dari gerakan Sarikat Dagang Islam. Kesadaran berkumpul dan berorganisasi yang baru tumbuh diiringi dengan perlawanan terhadap kolonialisme. Ekspresi politik Islam makin mencengkeram saat Jepang memberikan ruang bagi berkumpulnya kelompok Islam dalam wadah Masyumi. Kondisi yang berlanjut hingga demokrasi parlementer jatuh bangun. Dominasi kekuatan Islam sangat kentara.
Seiring peristiwa hilangnya tujuh kata dalam piagam Jakarta, pemberontakan DII/TII, dan pembubaran Masyumi kelompok Islam lebih banyak berada di luar kekuasaan. Bahkan, kekalahan komunisme tak membuat politik Islam kembali berjaya. Sebaliknya, kelompok-kelompok fungsional dan profesional yang banyak berada di lingkar kekuasaan, selain tentunya kuasa tentara.
Memasuki era 1980-1990-an kelompok-kelompok cendekiawan muslim memulai ijtihad baru dengan ide-ide nonpolitik. Nilai-nilai Islam diejewantahkan dalam gerakan-gerakan intelektual, pemberdayaan masyarakat, penguatan civil-society dan pemikiran. Lorong waktu yang berubah menunjukkan keberpihakan negara terhadap Islam yang makin intim.
Politik akomodasi tersebut ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) yang mewajibkan diselenggarakannya pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan (1988), disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) pada 1989, pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990, kompilasi hukum Islam (1991), Pembentukan Badan Amil Zakat dan Sedekah atau Bazis (1991), dihapuskannya kebijakan lama yang melarang pengenaan jilbab pada jam-jam sekolah (1991), pelaksanaan Festival Kebudayaan Islam Istiqlal (1991), pembentukan Bank Muamalat Indonesia atau BMI (1992), dan penghapusan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah atau SDSB (1993).
Euforia kebangkitan Islam politik makin meledak setelah jatuhnya Orde Baru. Partai-partai bergenre Islam tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Politik Islam seakan mendapatkan momentum untuk kembali bangkit. Ruang gerak yang selama ini terkekang terbuka lebar seiring derap keterbukaan reformasi.
Pemilu 1999 seakan menjadi de javu kebangkitan Islam politik. Sayangnya, banyaknya partai Islam membuat suara umat terpecah-belah. Kekuatan Islam politik (partai Islam) di parlemen tak pernah dominan sebagaimana asumsi jumlah penganut Islam yang terbanyak. PPP, PKS, PKB dan PAN bahkan tak pernah memenangkan pemilu nasional.
Belakangan, simpul-simpul umat terefleksikan melalui gerakan-gerakan reaksioner seperti Aksi Bela Islam 212. Aksi yang mampu membangkitkan gairah umat dalam beribadah hingga aktivisme politik. Akibatnya politik identitas (agama) dijadikan komoditas politik dalam pilkada dan pemilu.
Wajah umat Islam Indonesia juga banyak berubah akibat persinggungan dengan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Komodifikasi Islam merambah gaya hidup umat. Tak hanya soal fashion , tetapi juga soal spiritualitas. Ustad-ustad Youtube menjadi tren seiring dengan dengung kekuatan ormas-ormas Islam yang kehilangan aksentuasinya. Strata pendidikan, pekerjaan, pendapatan, serta bonus demografi menjadi takaran baru generasi muslim tumbuh dan berkembang.
Dialog Keterbukaan
Di sisi lain, negara seperti semakin alergi dengan agama (Islam). Stigmatisasi radikal dan intoleran seakan dicapkan untuk umat Islam. Hubungan negara dengan agama memang tak sepenuhnya akur. Relasi negara dan agama tak sepenuhnya tuntas.
Bahtiar Effendi mengatakan, selama belum ada "kesepakatan yang dinegosiasikan" (negotiated settlement ) di antara para elite religio-politik bangsa ini untuk memutuskan bagaimanakah sebaiknya agama berhubungan dengan negara selubung ketakutan akan terus menghantui. Utamanya terhadap gerakan-gerakan kelompok Islam politik legal-formal yang menginginkan terbentuknya negara Islam, khilafah, ataupun NKRI bersyariah.
Maka daripada itu, relasi negara dan agama perlu mendapatkan perhatian serius, tak sekadar dikoarkan melalui wacana moderasi agama. Apalagi melihat gejala akhir-akhir ini, sentimen terhadap kekuatan Islam menggelinding di berbagai belahan dunia. Kasus Uighur di China, demo besar di India akibat UU Amendemen Imigrasi yang mendiskreditkan muslim, hingga memanasnya Timur Tengah akibat konflik AS-Iran. Gejala dan tanda yang mengemuka harus dimaknai dengan cara-cara yang bijak agar tentunya hubungan antara negara dan agama dalam bingkai keindonesiaan dapat terjaga dengan baik.
Hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia, menurut Bahtiar Effendi, sesungguhnya tergantung pada jenis diskursus Islam politik yang manakah yang sedang berkembang. Dengan mengurai kembali kiprah Islam politik di negara ini pada periode revolusi (pertengahan 1940-an), liberal (pertengahan 1950-an) dan Orde Baru (akhir 1960-an), menunjukkan artikulasi-artikulasi Islam yang bercorak formalistis dan legalistis, khususnya dalam kerangka idealisme dan aktivisme politiknya, besar perannya dalam menumbuhsuburkan hubungan yang saling mencurigai antara Islam dan negara.
Namun, tentu perlu disadari bersama keanekaragaman etnis, ras, dan basis sosial keagamaan yang terhampar di Nusantara, menjadi pilihan bagi kelompok kepentingan manapun untuk mengartikulasikan dan mengekspresikan kepentingannya dalam konteks keindonesiaan. Maka, dalam rangka penataan relasi antara Islam dan negara, perlunya dialog yang penuh keterbukaan mengenai peran dan posisi agama dalam negara. Jika pada era 1940-an dan 1950-an upaya tersebut terkendala keterbatasan waktu, manuver politik Soekarno dan militer. Selanjutnya pada masa Orde Baru perdebatan ini diendapkan karena stigmatisasi Islam Politik yang hendak mendirikan negara Islam. Kotak Pandora tersebut mesti dibuka dengan lapang dada dengan menjalankan dialog guna mencapai penyelesaian yang semestinya.
(jon)