Ujian Integritas dan Pilkada 2020
A
A
A
Ferry Kurnia RizkiyansyahPendiri dan Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Pengajar Ilmu Politik dan Ketua Umum Masika ICMI Pusat
Penetapan tersangka WS, salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia bersama tiga orang lainnya atas kasus dugaan penerimaan hadiah/janji terkait dengan proses pergantian antarwaktu anggota DPR RI beberapa waktu lalu, menjadi keprihatinan bersama. Kasus tersebut menjadi pukulan yang cukup berat bagi seluruh jajaran penyelenggara pemilu.
Sungguh sangat disayangkan, kredibilitas KPU yang sudah terbangun lama menjadi runtuh seketika. Padahal, dalam Pemilu 2019 lalu, walaupun dengan segala dinamikanya, masyarakat telah memberikan apresiasi atas kinerja yang telah dilakukan oleh KPU dengan meningkatnya tingkat partisipasi pemilih dan suksesnya perhelatan elektoral yang demokratis. Peringatan keras ini tentunya harus menjadi kehati-hatian penyelenggara pemilu agar tidak lagi main-main dalam menjalankan tugas kepemiluan.
Dari kronologi kasus yang terjadi, tidak bisa dimungkiri bahwa ternyata dugaan suap juga dipengaruhi oleh perilaku koruptif partai politik. Hal ini juga harus dilakukan penelusuran lebih lanjut oleh KPK. Mungkin saja kasus ini hanyalah salah satu yang terungkap. Sementara bisa jadi banyak kasus serupa ataupun kasus lain namun tidak diketahui dan terungkap karena saling mutualisme antara satu dan yang lain.
Setiap perhelatan elektoral, suap-menyuap selalu mewarnai kontestasi. Namun, lagi-lagi tidak dapat dijadikan sebagai pelajaran baik para pemberi ataupun penerima. Apalagi pada 2020 iniakan digelar pilkada serentak di 270 daerah yang tersebar di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Tantangan yang cukup besar bagi penyelenggara pemilu untuk dapat menjaga integritas, moralitas, independensi, dan profesionalitas.
Pada Pilkada 2020 kali ini, tahapan pencalonan akan dimulai pada 16 Februari 2020. Pada tahapan ini dinilai rawan terjadinya suap yang dilakukan oleh kandidat pasangan calon, penyelenggara pemilu, dan partai politik. Kenyataan yang cukup nyata terjadi di Pilkada 2018, di mana adanya kasus gratifikasi atau suap terhadap penyelenggara pemilu untuk meloloskan salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Garut, Jawa Barat di tahapan pencalonan perseorangan. Belum lagi kasus mahar politik yang selalu marak terjadi di tahapan pencalonan partai politik.
Kekhawatiran kasus yang sama terulang kembali tentu saja ada. Karena masalah integritas dan moralitas personal baik itu dari kandidat pasangan calon, partai politik ataupun penyelenggara pemilu tidak ada yang bisa menjamin. Namun, kita harus tetap optimistis bahwa hal itu dapat ditepis dengan pembuktian dan aksi nyata di Pilkada 2020 mendatang.
Pentingnya Integritas Pemilu
Integritas pemilu seharusnya menjadi sesuatu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Hal ini merupakan poin penting yang perlu dijaga dengan baik, sekecil apa pun itu. Integritas pemilu merupakan tuntutan akan politik nilai. Integritas menuntut adanya sikap konsistensi terhadap nilai-nilai kebaikan. Menyangkut etika, moral, termasuk langkah-langkah, suatu metode, dan prinsip-prinsip nilai yang universal (Jimly, 2013). Salah satu kuncinya, aktor penyelenggara pemilu yang betul-betul kompeten dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi, yang dalam istilah Lipset,the social requisites for democracymenjadi unsur strategis dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Oleh karena itu, segala perilaku yang dapat mencederai demokrasi harus menjadi kewaspadaan sejak dini. Tingkatkan kepekaan dan kesadaran dari masing-masing diri. Untuk membantu mewujudkan tersebut perlu dilakukan setidaknya beberapa hal.Pertama, lembaga KPK perlu melakukan penguatan pada hal pencegahan agar dapat meminimalisasi terjadinya pelanggaran. Korupsi di negeri ini telah menjadi ancaman yang sangat serius. KPK perlu mengusut tuntas kasus dugaan korupsi sampai ke akar-akarnya. Tindak dengan tegas sesuai aturan yang berlaku, siapa pun itu tanpa pandang bulu. Dengan segala kontroversinya, KPK di periode kepemimpinan 2019–2023 harus menunjukkan performa primanya serta bisa jauh lebih baik secara kinerja dari periode sebelumnya. Publik menunggu aksi konkret dari KPK. Hadirkan inovasi, gebrakan, dan terobosan baru untuk memberantas hangus koruptor di republik ini. Dalam hal ini, dewan pengawas pun harus dapat kooperatif, bersinergi, dan saling bergandengan. Konsisten pada satu tujuan bersama agar korupsi musnah di bumi Indonesia.
Kedua, penguatan integritas pemilu dengan segala komitmennya juga perlu dilakukan oleh partai politik, sebagai pilar demokrasi. Maraknya kasus korupsi yang terjadi mengindikasikan bahwa sistem kepartaian, rekrutmen kader dan pejabat publik, serta pendanaan partai belum memiliki pengaruh yang signifikan. Malah, kasus suap yang selama ini bergeming terjadi, yang menjadi aktor utamanya adalah dari oknum kader partai politik.
Ketiga, penyelenggara pemilu sangat rentan terhadap godaan suap, karena ada oknum-oknum yang ingin mendapatkan kekuasaan secara instan dan tidak terpuji dengan "menggoda" penyelenggara, seperti ingin lolos verifikasi partai politik, verifikasi caleg, seleksi penyelenggara pemilu di daerah, penghitungan dan rekapitulasi suara, dan mungkin yang lainnya. Apabila memang ini sampai terjadi tindakan kontraproduktif tersebut, ini sudah mengkhianati demokrasi. Untuk itu, sebuah keniscayaan pentingnya penyelenggara pemilu yang tangguh, yang punya integritas kuat, independen atau tidak punyainterestterhadap kepentingan orang atau parpol tertentu, dan yang pasti punya komitmen terhadap tegaknya demokrasi.
Penyelenggara pemilu pun harus konsisten mengimplementasikan sumpah jabatan dan komitmennya untuk mengedepankan sisi integritas, independen, dan profesionalitasnya, bahkan untuk tidak tergoda pada hal yang membuat kesenangan sesaat dengan menggadaikan integritas, moralitas, serta nilai asas penyelenggara pemilu. Internalisasikan nilai asas penyelenggara dengan penuh rasa tanggung jawab tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban atau gugur kewajiban semata. Secara implementatif, baik di jajaran komisioner maupun sekretariat, harus mampu menjadi teladan bagi yang lainnya dengan melakukan konsolidasi internal penyelenggara dan komitmen bersih-bersih di lingkungan penyelenggara sampai tingkat daerah, serta mengoptimalkan fungsi kepemimpinan/leadershipyang kolegial dan fungsi pleno sebagaiquality control.
Dari kasus suap yang terjadi, ada kekhawatiran lembaga KPU dapat dipengaruhi pihak-pihak tertentu bahkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu semakin tergerus. Jika opini ini terus berkembang liar, pelaksanaan Pilkada 2020 dapat terancam. Semoga kasus tersebut merupakan yang terakhir dalam catatan penyelenggara pemilu.
Penetapan tersangka WS, salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia bersama tiga orang lainnya atas kasus dugaan penerimaan hadiah/janji terkait dengan proses pergantian antarwaktu anggota DPR RI beberapa waktu lalu, menjadi keprihatinan bersama. Kasus tersebut menjadi pukulan yang cukup berat bagi seluruh jajaran penyelenggara pemilu.
Sungguh sangat disayangkan, kredibilitas KPU yang sudah terbangun lama menjadi runtuh seketika. Padahal, dalam Pemilu 2019 lalu, walaupun dengan segala dinamikanya, masyarakat telah memberikan apresiasi atas kinerja yang telah dilakukan oleh KPU dengan meningkatnya tingkat partisipasi pemilih dan suksesnya perhelatan elektoral yang demokratis. Peringatan keras ini tentunya harus menjadi kehati-hatian penyelenggara pemilu agar tidak lagi main-main dalam menjalankan tugas kepemiluan.
Dari kronologi kasus yang terjadi, tidak bisa dimungkiri bahwa ternyata dugaan suap juga dipengaruhi oleh perilaku koruptif partai politik. Hal ini juga harus dilakukan penelusuran lebih lanjut oleh KPK. Mungkin saja kasus ini hanyalah salah satu yang terungkap. Sementara bisa jadi banyak kasus serupa ataupun kasus lain namun tidak diketahui dan terungkap karena saling mutualisme antara satu dan yang lain.
Setiap perhelatan elektoral, suap-menyuap selalu mewarnai kontestasi. Namun, lagi-lagi tidak dapat dijadikan sebagai pelajaran baik para pemberi ataupun penerima. Apalagi pada 2020 iniakan digelar pilkada serentak di 270 daerah yang tersebar di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Tantangan yang cukup besar bagi penyelenggara pemilu untuk dapat menjaga integritas, moralitas, independensi, dan profesionalitas.
Pada Pilkada 2020 kali ini, tahapan pencalonan akan dimulai pada 16 Februari 2020. Pada tahapan ini dinilai rawan terjadinya suap yang dilakukan oleh kandidat pasangan calon, penyelenggara pemilu, dan partai politik. Kenyataan yang cukup nyata terjadi di Pilkada 2018, di mana adanya kasus gratifikasi atau suap terhadap penyelenggara pemilu untuk meloloskan salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Garut, Jawa Barat di tahapan pencalonan perseorangan. Belum lagi kasus mahar politik yang selalu marak terjadi di tahapan pencalonan partai politik.
Kekhawatiran kasus yang sama terulang kembali tentu saja ada. Karena masalah integritas dan moralitas personal baik itu dari kandidat pasangan calon, partai politik ataupun penyelenggara pemilu tidak ada yang bisa menjamin. Namun, kita harus tetap optimistis bahwa hal itu dapat ditepis dengan pembuktian dan aksi nyata di Pilkada 2020 mendatang.
Pentingnya Integritas Pemilu
Integritas pemilu seharusnya menjadi sesuatu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Hal ini merupakan poin penting yang perlu dijaga dengan baik, sekecil apa pun itu. Integritas pemilu merupakan tuntutan akan politik nilai. Integritas menuntut adanya sikap konsistensi terhadap nilai-nilai kebaikan. Menyangkut etika, moral, termasuk langkah-langkah, suatu metode, dan prinsip-prinsip nilai yang universal (Jimly, 2013). Salah satu kuncinya, aktor penyelenggara pemilu yang betul-betul kompeten dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi, yang dalam istilah Lipset,the social requisites for democracymenjadi unsur strategis dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Oleh karena itu, segala perilaku yang dapat mencederai demokrasi harus menjadi kewaspadaan sejak dini. Tingkatkan kepekaan dan kesadaran dari masing-masing diri. Untuk membantu mewujudkan tersebut perlu dilakukan setidaknya beberapa hal.Pertama, lembaga KPK perlu melakukan penguatan pada hal pencegahan agar dapat meminimalisasi terjadinya pelanggaran. Korupsi di negeri ini telah menjadi ancaman yang sangat serius. KPK perlu mengusut tuntas kasus dugaan korupsi sampai ke akar-akarnya. Tindak dengan tegas sesuai aturan yang berlaku, siapa pun itu tanpa pandang bulu. Dengan segala kontroversinya, KPK di periode kepemimpinan 2019–2023 harus menunjukkan performa primanya serta bisa jauh lebih baik secara kinerja dari periode sebelumnya. Publik menunggu aksi konkret dari KPK. Hadirkan inovasi, gebrakan, dan terobosan baru untuk memberantas hangus koruptor di republik ini. Dalam hal ini, dewan pengawas pun harus dapat kooperatif, bersinergi, dan saling bergandengan. Konsisten pada satu tujuan bersama agar korupsi musnah di bumi Indonesia.
Kedua, penguatan integritas pemilu dengan segala komitmennya juga perlu dilakukan oleh partai politik, sebagai pilar demokrasi. Maraknya kasus korupsi yang terjadi mengindikasikan bahwa sistem kepartaian, rekrutmen kader dan pejabat publik, serta pendanaan partai belum memiliki pengaruh yang signifikan. Malah, kasus suap yang selama ini bergeming terjadi, yang menjadi aktor utamanya adalah dari oknum kader partai politik.
Ketiga, penyelenggara pemilu sangat rentan terhadap godaan suap, karena ada oknum-oknum yang ingin mendapatkan kekuasaan secara instan dan tidak terpuji dengan "menggoda" penyelenggara, seperti ingin lolos verifikasi partai politik, verifikasi caleg, seleksi penyelenggara pemilu di daerah, penghitungan dan rekapitulasi suara, dan mungkin yang lainnya. Apabila memang ini sampai terjadi tindakan kontraproduktif tersebut, ini sudah mengkhianati demokrasi. Untuk itu, sebuah keniscayaan pentingnya penyelenggara pemilu yang tangguh, yang punya integritas kuat, independen atau tidak punyainterestterhadap kepentingan orang atau parpol tertentu, dan yang pasti punya komitmen terhadap tegaknya demokrasi.
Penyelenggara pemilu pun harus konsisten mengimplementasikan sumpah jabatan dan komitmennya untuk mengedepankan sisi integritas, independen, dan profesionalitasnya, bahkan untuk tidak tergoda pada hal yang membuat kesenangan sesaat dengan menggadaikan integritas, moralitas, serta nilai asas penyelenggara pemilu. Internalisasikan nilai asas penyelenggara dengan penuh rasa tanggung jawab tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban atau gugur kewajiban semata. Secara implementatif, baik di jajaran komisioner maupun sekretariat, harus mampu menjadi teladan bagi yang lainnya dengan melakukan konsolidasi internal penyelenggara dan komitmen bersih-bersih di lingkungan penyelenggara sampai tingkat daerah, serta mengoptimalkan fungsi kepemimpinan/leadershipyang kolegial dan fungsi pleno sebagaiquality control.
Dari kasus suap yang terjadi, ada kekhawatiran lembaga KPU dapat dipengaruhi pihak-pihak tertentu bahkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu semakin tergerus. Jika opini ini terus berkembang liar, pelaksanaan Pilkada 2020 dapat terancam. Semoga kasus tersebut merupakan yang terakhir dalam catatan penyelenggara pemilu.
(mhd)