Senjakala KPK
A
A
A
Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik dan
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) di ambang senjakala. Komisi anti rasuah ini secara perlahan menuju kehancuran. Tak seganas periode sebelumnya. KPK memble berhadapan dengan kekuatan besar elite politik. Operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap pergantian antarwaktu calon anggota legislatif (caleg) PDI Perjuangan (PDIP) layak diapresiasi.Namun, pada saat bersamaan KPK dicibir karena penyidik mereka balik badan dihadang se k urit i saat ingin melakukan penyegelan kantor DPP PDIP karena dianggap tak memiliki dokumen lengkap. KPK juga tak berkutik mengejar pelaku suap Harun Masiku yang kabur tanpa jejak.
Awalnya publik respek dengan OTT yang dilakukan KPK. Dua pembuktian awal bahwa mereka tetap ganas sekalipun selalu dicibir. Bukan tanpa alasan KPK cita rasa baru ini dituding miring. Sosok Firli Bahuri yang sejak awal menuai kontroversi serta revisi UU KPK yang melemahkan KPK menjadi alasan kunci. Terutama soal penyidikan dan penggeledahan harus seizin dewan pengawas.
Belakangan respek publik punah. Pengembangan kasus suap yang diselidiki KPK berjalan di tempat. Tak mampu menyentuh elite politik yang ditengarai menjadi bagian kasus OTT Wahyu Setiawan. Penjelasannya banyak, mulai dari regulasi yang menghambat hingga taji tumpul. Bayangkan, menangkap Harun Masiku saja KPK tak sanggup. Berlarut-larut penuh drama politik. Apalagi mengungkap kasus besar lain yang melibatkan elite negara. Sangat sulit dibayangkan.
Kasus suap OTT caleg antarwaktu jangan berhenti di Wahyu Setiawan. Kasus ini harus dikembangkan ke berbagai kalangan yang potensial terlibat. Tak mungkin berdiri sendiri. Pasti melibatkan banyak pihak. KPK perlu mengungkap siapa aktor elite yang memberi perintah suap, sumber dana, dan apakah Wahyu Setiawan bermain sendirian di KPU? Pertanyaan sumir yang perlu dijawab dengan kerja nyata KPK. Bukan hanya asyik berwacana dan berkeluh kesah.
Inilah tantangan KPK di bawah Firli Bahuri. Mengungkap pihak lain terindikasi terlibat kasus suap pergantian antarwaktu yang melibatkan oknum partai politik dan komisioner KPU. Jika tidak, jangan salahkan kalau publik menilai KPK pada periode kedua pemerintahan Jokowi menuju senjakala. Di ambang kehancuran. Tinggal menunggu waktu sakaratul maut. Digergaji secara perlahan para elite negara.
Cacat Bawaan
Sejak awal KPK membawa cacat bawaan, yakni satu paket regulasi yang sangat terasa melemahkan KPK. Salah satunya soal penyidikan dan penggeledahan yang harus seizin dewan pengawas. Satu klausul yang selama ini diprotes kalangan aktivis karena terbukti menghambat pengungkapan kasus dugaan korupsi secara cepat. Jeda meminta izin dewan pengawas untuk penyidikan sama artinya dengan memberikan ruang terbuka pada pelaku untuk menghilangkan barang bukti.
Mandeknya pengungkapan kasus suap pergantian antarwaktu caleg PDIP menjadi bukti sahih revisi UU KPK yang disetujui DPR dan pemerintah terbukti ampuh mengamputasi kerja cepat KPK. Proses dan birokratisasi penyidikan terlihat sengaja didesain sistematis untuk membonsai kerja KPK agar lambat. Padahal salah satu kekuatan KPK selama ini terletak pada penyidikan yang tanpa izin dewan pengawas.
Nasi sudah jadi bubur. Semua instrumen dikerahkan menghancurkan KPK. Ini adalah era kemenangan para koruptor. Mereka tak lagi takut dengan KPK yang lemah. Bangsa ini tinggal menunggu keajaiban Tuhan soal masa depan pemberantasan korupsi. Sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan dari elite negara. Semua bungkam diam seribu bahasa. Semua pihak main aman. Tak lagi terdengar suara lantang mereka seperti saat Pemilu 2019 lalu.
Publik bertanya ke mana suara kritis partai politik sebagai medium penyalur aspirasi rakyat? Fraksi-fraksi di DPR nyaris tanpa suara. Terjebak dilema akut. Satu sisi dihadapkan pada reaksi keras publik, namun saat bersamaan mereka adalah aktor utama yang menyetujui revisi UU yang melemahkan KPK. Kini, bangsa ini tiba pada sebuah zaman di mana KPK babak belur dirongrong dari dalam. Satu skenario pemufakatan jahat yang menjadi kado pahit di tengah bangsa yang sedang berbenah melawan korupsi.
Tak berlebihan kiranya jika partai politik selalu dituding hanya peduli urusan politik elektoral. Hanya urus bagi-bagi kekuasaan tiap lima tahun sekali. Tak peduli ada bencana besar korupsi. Tudingan ini bukan tanpa alasan. Buktinya, nyaris tak ada partai politik maupun fraksi di Senayan yang berdiri tegas lantang bersikap soal kisruh suap pergantian antarwaktu oknum caleg PDIP. Bukankah korupsi agenda utama yang sangat penting bagi masa depan Indonesia yang bersih?
Tumpukan Korupsi Besar
Bangsa ini sedang dalam kepungan korupsi. Sangat berbahaya. Belum tuntas urusan kasus suap pergantian antarwaktu yang membelit oknum KPU, juga setumpuk kasus korupsi kakap lainnya. Korupsi Jiwasraya, Asabri, dan Pelindo, satu per satu bermunculan. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari KPK yang menangkap Harun Masiku saja tak mampu. Lantas, ekspektasi apa yang bisa disematkan ke KPK yang penyidiknya takut dengan se k urit i kantor partai politik. Balik badan kalah gertak soal surat geledah.
Tibalah saatnya bangsa ini dipertontonkan satu pengungkapan korupsi yang ala kadarnya. Tak ada secercah harapan tentang masa depan pemberantasan korupsi. Satu ujian besar yang tak mudah dilalui. Padahal khotbah tentang pemberantasan korupsi tiap saat digaungkan elite negara. Eselon dipangkas karena tak efisien. Aturan yang menyuburkan korupsi juga dipreteli. Namun, di ujung spektrum lain, KPK sengaja dibiarkan linglung tak berdaya mengungkap kasus korupsi yang bertalian dengan elite politik. Jangankan kasus besar, menangkap Harun Masiku saja sulitnya setengah mati.
Kasus Jiwasraya, Asabri, dan Pelindo merupakan sejumlah kasus yang butuh keterlibatan KPK. Butuh kerendahan hati elemen penegak hukum dalam bekerja sama. Hilangkan ego sektoral demi mengungkap korupsi besar. Jiwasraya misalnya, sekalipun ditangani Kejaksaan Agung, KPK mesti ikut andil mengungkap korupsi ini. Apa sulitnya para penegak hukum berkolaborasi mengurai kasus besar.
Pada titik inilah kemudian bangsa ini perlu merenung panjang. Pada siapa lagi harapan pemberantasan korupsi disematkan. KPK sudah jelas tak bisa diandalkan. Cacat bawaannya terlampau banyak. Sulit menyasar kasus besar dan melibatkan elite negara. Mungkin pertama dalam sejarah penyidik KPK diusir petugas keamanan partai politik karena tak membawa surat tugas penggeledahan. Penyidik tak berkutik karena harus menunggu restu dewan pengawas.
Kini, KPK di tubir jurang kehancuran. Di ambang senjakala. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari lembaga anti rasuah yang selama beberapa dekade belakangan menjadi momok menakutkan bagi koruptor. Ke depan, jangan pernah berharap ada puluhan kepala daerah yang bisa dicokok. Jangan pula berharap ada menteri negara, anggota DPR, elite partai politik yang bisa ditangkap KPK karena korupsi. Bangsa ini sedang berduka. Merapati kehampaan dalam pemberantasan korupsi.
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) di ambang senjakala. Komisi anti rasuah ini secara perlahan menuju kehancuran. Tak seganas periode sebelumnya. KPK memble berhadapan dengan kekuatan besar elite politik. Operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap pergantian antarwaktu calon anggota legislatif (caleg) PDI Perjuangan (PDIP) layak diapresiasi.Namun, pada saat bersamaan KPK dicibir karena penyidik mereka balik badan dihadang se k urit i saat ingin melakukan penyegelan kantor DPP PDIP karena dianggap tak memiliki dokumen lengkap. KPK juga tak berkutik mengejar pelaku suap Harun Masiku yang kabur tanpa jejak.
Awalnya publik respek dengan OTT yang dilakukan KPK. Dua pembuktian awal bahwa mereka tetap ganas sekalipun selalu dicibir. Bukan tanpa alasan KPK cita rasa baru ini dituding miring. Sosok Firli Bahuri yang sejak awal menuai kontroversi serta revisi UU KPK yang melemahkan KPK menjadi alasan kunci. Terutama soal penyidikan dan penggeledahan harus seizin dewan pengawas.
Belakangan respek publik punah. Pengembangan kasus suap yang diselidiki KPK berjalan di tempat. Tak mampu menyentuh elite politik yang ditengarai menjadi bagian kasus OTT Wahyu Setiawan. Penjelasannya banyak, mulai dari regulasi yang menghambat hingga taji tumpul. Bayangkan, menangkap Harun Masiku saja KPK tak sanggup. Berlarut-larut penuh drama politik. Apalagi mengungkap kasus besar lain yang melibatkan elite negara. Sangat sulit dibayangkan.
Kasus suap OTT caleg antarwaktu jangan berhenti di Wahyu Setiawan. Kasus ini harus dikembangkan ke berbagai kalangan yang potensial terlibat. Tak mungkin berdiri sendiri. Pasti melibatkan banyak pihak. KPK perlu mengungkap siapa aktor elite yang memberi perintah suap, sumber dana, dan apakah Wahyu Setiawan bermain sendirian di KPU? Pertanyaan sumir yang perlu dijawab dengan kerja nyata KPK. Bukan hanya asyik berwacana dan berkeluh kesah.
Inilah tantangan KPK di bawah Firli Bahuri. Mengungkap pihak lain terindikasi terlibat kasus suap pergantian antarwaktu yang melibatkan oknum partai politik dan komisioner KPU. Jika tidak, jangan salahkan kalau publik menilai KPK pada periode kedua pemerintahan Jokowi menuju senjakala. Di ambang kehancuran. Tinggal menunggu waktu sakaratul maut. Digergaji secara perlahan para elite negara.
Cacat Bawaan
Sejak awal KPK membawa cacat bawaan, yakni satu paket regulasi yang sangat terasa melemahkan KPK. Salah satunya soal penyidikan dan penggeledahan yang harus seizin dewan pengawas. Satu klausul yang selama ini diprotes kalangan aktivis karena terbukti menghambat pengungkapan kasus dugaan korupsi secara cepat. Jeda meminta izin dewan pengawas untuk penyidikan sama artinya dengan memberikan ruang terbuka pada pelaku untuk menghilangkan barang bukti.
Mandeknya pengungkapan kasus suap pergantian antarwaktu caleg PDIP menjadi bukti sahih revisi UU KPK yang disetujui DPR dan pemerintah terbukti ampuh mengamputasi kerja cepat KPK. Proses dan birokratisasi penyidikan terlihat sengaja didesain sistematis untuk membonsai kerja KPK agar lambat. Padahal salah satu kekuatan KPK selama ini terletak pada penyidikan yang tanpa izin dewan pengawas.
Nasi sudah jadi bubur. Semua instrumen dikerahkan menghancurkan KPK. Ini adalah era kemenangan para koruptor. Mereka tak lagi takut dengan KPK yang lemah. Bangsa ini tinggal menunggu keajaiban Tuhan soal masa depan pemberantasan korupsi. Sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan dari elite negara. Semua bungkam diam seribu bahasa. Semua pihak main aman. Tak lagi terdengar suara lantang mereka seperti saat Pemilu 2019 lalu.
Publik bertanya ke mana suara kritis partai politik sebagai medium penyalur aspirasi rakyat? Fraksi-fraksi di DPR nyaris tanpa suara. Terjebak dilema akut. Satu sisi dihadapkan pada reaksi keras publik, namun saat bersamaan mereka adalah aktor utama yang menyetujui revisi UU yang melemahkan KPK. Kini, bangsa ini tiba pada sebuah zaman di mana KPK babak belur dirongrong dari dalam. Satu skenario pemufakatan jahat yang menjadi kado pahit di tengah bangsa yang sedang berbenah melawan korupsi.
Tak berlebihan kiranya jika partai politik selalu dituding hanya peduli urusan politik elektoral. Hanya urus bagi-bagi kekuasaan tiap lima tahun sekali. Tak peduli ada bencana besar korupsi. Tudingan ini bukan tanpa alasan. Buktinya, nyaris tak ada partai politik maupun fraksi di Senayan yang berdiri tegas lantang bersikap soal kisruh suap pergantian antarwaktu oknum caleg PDIP. Bukankah korupsi agenda utama yang sangat penting bagi masa depan Indonesia yang bersih?
Tumpukan Korupsi Besar
Bangsa ini sedang dalam kepungan korupsi. Sangat berbahaya. Belum tuntas urusan kasus suap pergantian antarwaktu yang membelit oknum KPU, juga setumpuk kasus korupsi kakap lainnya. Korupsi Jiwasraya, Asabri, dan Pelindo, satu per satu bermunculan. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari KPK yang menangkap Harun Masiku saja tak mampu. Lantas, ekspektasi apa yang bisa disematkan ke KPK yang penyidiknya takut dengan se k urit i kantor partai politik. Balik badan kalah gertak soal surat geledah.
Tibalah saatnya bangsa ini dipertontonkan satu pengungkapan korupsi yang ala kadarnya. Tak ada secercah harapan tentang masa depan pemberantasan korupsi. Satu ujian besar yang tak mudah dilalui. Padahal khotbah tentang pemberantasan korupsi tiap saat digaungkan elite negara. Eselon dipangkas karena tak efisien. Aturan yang menyuburkan korupsi juga dipreteli. Namun, di ujung spektrum lain, KPK sengaja dibiarkan linglung tak berdaya mengungkap kasus korupsi yang bertalian dengan elite politik. Jangankan kasus besar, menangkap Harun Masiku saja sulitnya setengah mati.
Kasus Jiwasraya, Asabri, dan Pelindo merupakan sejumlah kasus yang butuh keterlibatan KPK. Butuh kerendahan hati elemen penegak hukum dalam bekerja sama. Hilangkan ego sektoral demi mengungkap korupsi besar. Jiwasraya misalnya, sekalipun ditangani Kejaksaan Agung, KPK mesti ikut andil mengungkap korupsi ini. Apa sulitnya para penegak hukum berkolaborasi mengurai kasus besar.
Pada titik inilah kemudian bangsa ini perlu merenung panjang. Pada siapa lagi harapan pemberantasan korupsi disematkan. KPK sudah jelas tak bisa diandalkan. Cacat bawaannya terlampau banyak. Sulit menyasar kasus besar dan melibatkan elite negara. Mungkin pertama dalam sejarah penyidik KPK diusir petugas keamanan partai politik karena tak membawa surat tugas penggeledahan. Penyidik tak berkutik karena harus menunggu restu dewan pengawas.
Kini, KPK di tubir jurang kehancuran. Di ambang senjakala. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari lembaga anti rasuah yang selama beberapa dekade belakangan menjadi momok menakutkan bagi koruptor. Ke depan, jangan pernah berharap ada puluhan kepala daerah yang bisa dicokok. Jangan pula berharap ada menteri negara, anggota DPR, elite partai politik yang bisa ditangkap KPK karena korupsi. Bangsa ini sedang berduka. Merapati kehampaan dalam pemberantasan korupsi.
(nag)