Pentingnya Perda Lahan Pertanian Berkelanjutan
A
A
A
Prima GandhiDosen Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB
AMARTYA SEN, peraih Nobel Ekonomi pada 1998, mengkritik pendekatan Malthusian. Malthus memandang bahwa bencana kelaparan timbul akibat berkurangnya ketersediaan pangan berdasarkan deret hitung populasi manusia. Sen mengatakan bencana kelaparan adalah produk dari monopoli pangan. Ia mengajukan demokrasi sebagai sebuah cara yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan ketimpangan distribusi dan akses makanan.
Sistem demokrasi memungkinkan pertanian diproduksi secara bebas (skala industri), dalam jumlah semaksimal mungkin dengan ukuran seragam dan berpola monokultur, sehingga terjadi modernisasi pertanian, seperti mekanisasi alat pertanian (dari traktor besar hingga robot) hingga bioteknologi. Disadari atau tidak, hal ini menggusur usaha pertanian keluarga (family farming).
Berdasarkan pernyataan di atas, timbul pertanyaan bagaimana keadaan pertanian pangan di Indonesia? Kita ketahui bersama Indonesia saat ini merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Saat ini ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri terus mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia.
Salah satu parameternya adalah pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dalam berbagai kesempatan. Dia mengatakan bahwa tujuan utama pembangunan pertanian adalah bagaimana kita mampu memberi makan kepada sekitar 267 juta jiwa penduduk Indonesia. Selain itu, pembangunan pertanian tidak berhenti pada peningkatan produksi saja, tapi juga harus berakhir pada peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri.
Untuk mempercepat menurunnya jumlah penduduk miskin dan ketimpangan pendapatan di perdesaan, Kementerian Pertanian (Kementan) di bawah komando SYL membuat terobosan baru dengan merevitalisasi Balai Penyuluh Pertanian (BPP) yang ada di setiap kecamatan menjadi Komando Strategis Pertanian (Kostra Tani), yang dicirikan oleh penggunaan IT dan alsintan secara masif serta memanfaatkan KUR sebagai tulang punggung pembangunan pertanian ke depan. Semua kegiatan pembangunan pertanian di Kostra Tani tersebut dipantau secara langsung melalui Agriculture War Room (AWR) yang ada di Kementan. Perda Lahan Pertanian Berkelanjutan
Agar sektor pertanian terus berkontribusi positif pada parameter ekonomi nasional, pemerintah harus mengurangi land grabbing. Sebagai contoh, salah satu daerah yang marak terjadi land grabbing adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebagai kabupaten agraris, tahun demi tahun beberapa hektare lahan pertanian produktif (sawah) berubah kepemilikan dan fungsi.
Penelitian mahasiswi Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB), Sarah Nur Amalia, menunjukkan secara umum lahan sawah di Kabupaten Bogor selama sepuluh tahun terakhir berkurang 71 hektare atau sekitar 7,1 hektare per tahun. Berdasarkan angka tersebut bisa dikatakan laju perubahan lahan pertanian di Kabupaten Bogor sebesar 0,10%, dengan rata-rata laju alih fungsi lahan sebesar 0,01% per tahun. Angka tersebut didapat berdasarkan data sekunder time series Badan Pusat Statistik (BPS).
Disinyalir perubahan transformasi struktur ekonomi ke arah manufaktur dan industri menjadi penyebab land grabbing marak terjadi di bumi tegar beriman. Secara tak langsung, transformasi struktur ekonomi ini meningkatkan permintaan lahan untuk pembangunan, sehingga pemenuhan kebutuhan permukiman dan lahan terbangun untuk industri dan manufaktur menjadi penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan sawah yang ada di Kabupaten Bogor.
Dari penelitian ini diketahui pula bahwa perubahan rata-rata pendapatan total petani di Kabupaten Bogor berkurang sebesar Rp52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat alih fungsi lahan juga menyebabkan penurunan produksi padi. Pengurangan produksi padi per hektare lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar 2.878,96 ton per tahun, setara dengan nilai produksi yaitu sebesar Rp7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah, serta Rp8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras.
Jika pemerintah tidak berusaha mengurangi land grabbing, produksi beras di Kabupaten Bogor tidak akan bisa memenuhi kebutuhan beras masyarakat. Dengan kata lain, sektor pertanian tidak menyumbangkan andil positif dalam indikator makroekonomi negara.
Melihat data dan fakta di atas, sebagai komponen civil society, saya mengusulkan lima hal. Pertama, kepada seluruh pemerintah daerah (pemda) dan DPRD sekiranya membuat dan mengimplementasikan segera peraturan daerah tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan (Perda LPPB). Setidaknya tujuan Perda LPPB adalah mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian untuk mencapai ketahanan pangan di daerah.
Kedua, mempertahankan luasan lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi. Ketiga, melindungi dan memberdayakan petani dan masyarakat sekitar lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi. Keempat , mempertahankan keseimbangan ekosistem. Dan kelima, meningkatkan kesejahteraan petani.
Dengan regulasi ini, seluruh pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan pertanian. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan, pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian, pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimalisasi dan pengendalian lahan pertanian lintas kabupaten/kota, penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian, pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian, pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu, penetapan sentra komoditas pertanian, penetapan sasaran areal tanam, dan penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumber daya lahan yang ada.
AMARTYA SEN, peraih Nobel Ekonomi pada 1998, mengkritik pendekatan Malthusian. Malthus memandang bahwa bencana kelaparan timbul akibat berkurangnya ketersediaan pangan berdasarkan deret hitung populasi manusia. Sen mengatakan bencana kelaparan adalah produk dari monopoli pangan. Ia mengajukan demokrasi sebagai sebuah cara yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan ketimpangan distribusi dan akses makanan.
Sistem demokrasi memungkinkan pertanian diproduksi secara bebas (skala industri), dalam jumlah semaksimal mungkin dengan ukuran seragam dan berpola monokultur, sehingga terjadi modernisasi pertanian, seperti mekanisasi alat pertanian (dari traktor besar hingga robot) hingga bioteknologi. Disadari atau tidak, hal ini menggusur usaha pertanian keluarga (family farming).
Berdasarkan pernyataan di atas, timbul pertanyaan bagaimana keadaan pertanian pangan di Indonesia? Kita ketahui bersama Indonesia saat ini merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Saat ini ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri terus mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia.
Salah satu parameternya adalah pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dalam berbagai kesempatan. Dia mengatakan bahwa tujuan utama pembangunan pertanian adalah bagaimana kita mampu memberi makan kepada sekitar 267 juta jiwa penduduk Indonesia. Selain itu, pembangunan pertanian tidak berhenti pada peningkatan produksi saja, tapi juga harus berakhir pada peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri.
Untuk mempercepat menurunnya jumlah penduduk miskin dan ketimpangan pendapatan di perdesaan, Kementerian Pertanian (Kementan) di bawah komando SYL membuat terobosan baru dengan merevitalisasi Balai Penyuluh Pertanian (BPP) yang ada di setiap kecamatan menjadi Komando Strategis Pertanian (Kostra Tani), yang dicirikan oleh penggunaan IT dan alsintan secara masif serta memanfaatkan KUR sebagai tulang punggung pembangunan pertanian ke depan. Semua kegiatan pembangunan pertanian di Kostra Tani tersebut dipantau secara langsung melalui Agriculture War Room (AWR) yang ada di Kementan. Perda Lahan Pertanian Berkelanjutan
Agar sektor pertanian terus berkontribusi positif pada parameter ekonomi nasional, pemerintah harus mengurangi land grabbing. Sebagai contoh, salah satu daerah yang marak terjadi land grabbing adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebagai kabupaten agraris, tahun demi tahun beberapa hektare lahan pertanian produktif (sawah) berubah kepemilikan dan fungsi.
Penelitian mahasiswi Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM IPB), Sarah Nur Amalia, menunjukkan secara umum lahan sawah di Kabupaten Bogor selama sepuluh tahun terakhir berkurang 71 hektare atau sekitar 7,1 hektare per tahun. Berdasarkan angka tersebut bisa dikatakan laju perubahan lahan pertanian di Kabupaten Bogor sebesar 0,10%, dengan rata-rata laju alih fungsi lahan sebesar 0,01% per tahun. Angka tersebut didapat berdasarkan data sekunder time series Badan Pusat Statistik (BPS).
Disinyalir perubahan transformasi struktur ekonomi ke arah manufaktur dan industri menjadi penyebab land grabbing marak terjadi di bumi tegar beriman. Secara tak langsung, transformasi struktur ekonomi ini meningkatkan permintaan lahan untuk pembangunan, sehingga pemenuhan kebutuhan permukiman dan lahan terbangun untuk industri dan manufaktur menjadi penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan sawah yang ada di Kabupaten Bogor.
Dari penelitian ini diketahui pula bahwa perubahan rata-rata pendapatan total petani di Kabupaten Bogor berkurang sebesar Rp52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat alih fungsi lahan juga menyebabkan penurunan produksi padi. Pengurangan produksi padi per hektare lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar 2.878,96 ton per tahun, setara dengan nilai produksi yaitu sebesar Rp7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah, serta Rp8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras.
Jika pemerintah tidak berusaha mengurangi land grabbing, produksi beras di Kabupaten Bogor tidak akan bisa memenuhi kebutuhan beras masyarakat. Dengan kata lain, sektor pertanian tidak menyumbangkan andil positif dalam indikator makroekonomi negara.
Melihat data dan fakta di atas, sebagai komponen civil society, saya mengusulkan lima hal. Pertama, kepada seluruh pemerintah daerah (pemda) dan DPRD sekiranya membuat dan mengimplementasikan segera peraturan daerah tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan (Perda LPPB). Setidaknya tujuan Perda LPPB adalah mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian untuk mencapai ketahanan pangan di daerah.
Kedua, mempertahankan luasan lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi. Ketiga, melindungi dan memberdayakan petani dan masyarakat sekitar lahan pertanian beririgasi dan tidak beririgasi. Keempat , mempertahankan keseimbangan ekosistem. Dan kelima, meningkatkan kesejahteraan petani.
Dengan regulasi ini, seluruh pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan pertanian. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan, pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian, pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimalisasi dan pengendalian lahan pertanian lintas kabupaten/kota, penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian, pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian, pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu, penetapan sentra komoditas pertanian, penetapan sasaran areal tanam, dan penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumber daya lahan yang ada.
(thm)