Peluang bagi RI dan AS dalam konflik Iran dan Perang Dagang

Selasa, 14 Januari 2020 - 08:00 WIB
Peluang bagi RI dan AS dalam konflik Iran dan Perang Dagang
Peluang bagi RI dan AS dalam konflik Iran dan Perang Dagang
A A A
Dave Akbarsyah Fikarno
Anggota Komisi I DPR RI

SERANGAN pesawat drone Amerika Serikat (AS) yang menewaskan komandan Pasukan Quds Qassem Suleimani dan disusul dengan serangan balasan dari Iran dengan roket ke pangkalan AS di Irak. Kejadian tersebut akan menambah panjang sejarah konflik AS-Iran yang mungkin saja lebih berbahaya ke depannya. Sementara penyebab serangan langsung itu adalah akibat serangan terhadap pangkalan Irak yang menewaskan seorang kontraktor Amerika, serta menurut laporan intelijen sebelumnya bahwa Suleimani dan kelompoknya akan merencanakan sebuah serangan di masa depan, maka atas laporan itulah Presiden Donald Trump memerintahkan serangan tersebut.

Melihat situasi tersebut secara geopolitik, berbagai analisis dan prediksi bahwa akan terjadi sebuah perang besar hingga terjadi perang dunia ketiga semakin berkembang. Sementara sejauh ini respons dari Trump atas tindakan serangan balasan dari Iran belum terlihat mengarah pada perang dunia. Namun, yang perlu mendapat perhatian adalah perang di kawasan Timur Tengah mungkin saja akan semakin meningkat eskalasinya.

Secara geopolitik di Timur Tengah ini akan membangkitkan beberapa kekuatan yang harus dilihat dalam konteks lebih luas. Bila dilihat ada dua blok di kawasan ini yang begitu menonjol, yakni pertama blok koalisi AS, seperti Israel, Arab Saudi, sebagian besar kawasan teluk (Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, dan Oman), pemberontak Sunni Suriah, dan Yaman Selatan. Sementara di sisi lain blok koalisi Rusia, seperti Iran, Suriah, Hezbullah di Lebanon Selatan, dan pemberontak Houthi di Yaman Utara. Konflik antara negara-negara tersebut bisa saja semakin meningkat dan secara kawasan kemungkinan bisa berpengaruh, namun secara global dampak yang lebih dirasakan adalah guncangan ekonomi, terutama harga minyak yang bisa saja naik.

Faktor pidato Donald Trump yang belum terindikasi melakukan serangan balasan dalam merespons Iran, juga akan menjadi angin segar bagi dunia untuk semakin damai. Pertarungan AS dengan Iran tidak lepas dari politik dalam negeri, karena kongres Amerika mengajukan mosi tidak percaya kepada Donald Trump dan sedang menunggu keputusan Senat apakah diterima atau tidak pengajuan tersebut. Berdasarkan itulah, maka situasi politik secara global maupun nasional dari AS sendiri masih melihat bagaimana perkembangan ke depan. Namun, yang jelas respons serangan rudal ke pangkalan AS dibalas oleh Trump dengan sanksi yang kemungkinan besar adalah berupa ekonomi dan perdagangan dengan Iran.

Perkembangan perang dagang dengan China juga menjadi pembahasan tersendiri di saat konflik dengan Iran tersebut semakin meningkat. Meskipun ada sedikit harapan dengan mulai adanya kesepakatan dengan China melalui rencana penandatanganan kesepakatan dagang yang akan dilakukan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Presiden AS Donald Trump pada pertengahan Januari 2020 ini. Kesepakatan tersebut disebut sebagai Fase 1, yakni sebuah kesepakatan yang dicapai akan memangkas tarif dan mendorong pembelian produk pertanian, energi, dan barang-barang manufaktur AS di China serta mengatasi beberapa perselisihan mengenai kekayaan intelektual.

Dengan adanya rencana kesepakatan itu, maka berbagai harapan pada AS dalam menjaga kestabilan politik dan ekonomi global bisa terwujud. Kekhawatiran dari seluruh negara di dunia saat ini akan dapat terjawab sepenuhnya saat pemilu di AS selesai pada sekitar November 2020 ini, meski begitu, berbagai kejutan yang tak terduga mungkin saja bisa terjadi. Untuk itu, diperlukan antisipasi serta persiapan dalam menghadapi hal tersebut dengan melihat berbagai peluang secara matang, baik pada sisi politik maupun ekonomi.

Secara umum neraca perdagangan antara Indonesia dengan AS sampai saat ini tidak mengalami permasalahan berarti. Meskipun AS dan China masih berseteru mengenai perang tarif yang kemungkinan berakhir pada beberapa waktu mendatang, tetapi secara neraca perdagangan dengan Indonesia masih terjaga. Walaupun hingga akhir tahun 2019 sempat mengalami penurunan, yakni total impor tercatat turun 10,7% dari USD6,85 miliar menjadi USD6,12 miliar. Sedangkan total ekspor turun 1,5% dari USD13,19 miliar menjadi USD13 miliar.

Dari segi impor, hampir seluruh komoditas mengalami penurunan. Komoditas impor yang mengalami penurunan terbesar, yaitu kapas sebesar 34,28%. Kemudian disusul komoditas perangkat optik, berbagai produk kimia, mesin-mesin dan pesawat mekanik, biji-bijian berminyak, ampas dan sisa industri makanan, serta produk lainnya. Sementara itu, meski secara keseluruhan ekspor turun, terdapat sejumlah komoditas mengalami kenaikan cukup signifikan. Salah satu yang mengalami kenaikan tajam adalah komoditas permata dan perhiasan yang mencapai 84,88% dari USD146,41 juta menjadi USD270,69 juta (Katadata, 2019).

Indonesia sebagai negara yang strategis bagi AS karena selain menjadi pemain utama di Asia Tenggara, juga sebagai penduduk muslim terbesar di dunia dan letak geografisnya yang potensial hingga saat ini mendapat sorotan utama dari pemerintahan AS. Ini terbukti dengan akan adanya investasi puluhan miliar dolar atau sekitar ratusan triliun rupiah yang akan masuk ke Indonesia dari AS. Investasi sebesar itu dipelopori oleh U.S. International Development Finance Corporation (DFC) dan dana sebesar itu dari Pemerintah AS, belum termasuk dari dana pihak swasta di negara tersebut. Sejauh ini proyek yang menjadi potensial dari investasi tersebut adalah infrastruktur, kesehatan, energi, hingga jalan raya.

Melihat nilai investasi yang akan masuk besar tersebut, membuat posisi Indonesia semakin dihargai oleh berbagai negara karena kesuksesan menjaga demokrasi. Tidak sekadar itu, sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, sudah saatnya diplomasi Indonesia mengedepankan perdamaian dunia sesuai dengan nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 45.

Melihat potensi ke depan dari konflik dengan Iran dan juga perang dagang dengan China, maka bisa disimpulkan bahwa ketakutan akan terjadinya perang dunia ketiga serta ancaman resesi dunia bisa saja tidak terjadi. Apalagi dinamika politik dalam negeri AS yang juga masih sangat aktif sehingga beberapa harapan dan peluang masih bisa terjadi. Indonesia dalam ranah geopolitik global harus mampu menjadi penengah sekaligus sebagai kekuatan yang mengedepankan dialog serta perdamaian dalam menangani konflik dunia, hal ini harus menjadi pijakan bagi para diplomat kita di luar negeri.

Sementara berkaitan dengan perang dagang, Indonesia dengan posisi yang memiliki daya tawar saat ini sudah sangat baik di mata negara-negara internasional, khususnya China dan AS. Dari kedua negara tersebut, Indonesia masih tetap mendapatkan nilai ekonomi saling menguntungkan sehingga ekonomi dalam negeri masih terjaga. Tetapi, kita juga perlu waspada akan berbagai dampak kejutan yang terjadi jika ada perkembangan permasalahan ekonomi dan politik dunia ke depan.*
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5732 seconds (0.1#10.140)