Kedaulatan Atas SDA dan Aturan Perdagangan Internasional

Senin, 13 Januari 2020 - 07:01 WIB
Kedaulatan Atas SDA dan Aturan Perdagangan Internasional
Kedaulatan Atas SDA dan Aturan Perdagangan Internasional
A A A
Arie Afriansyah
Dosen Hukum Internasional, Universitas Indonesia

PADA 22 November 2019, Uni Eropa (UE) secara resmi melayangkan gu­gat­an kepada Indonesia di forum World Trade Organization (WTO). Kebijakan yang digugat antara lain larangan ekspor biji nikel mentah.

Selama ini UE me­nik­mati impor biji nikel mentah dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia. Ekspor bahan mineral yang memiliki nilai tambah dapat memberikan manfaat yang lebih kepada Indonesia. Kasus ini juga terkait persaingan produk hilir yang sangat bergantung pada bahan baku di mana persediaan (supply) dunia terdampak akibat kebijakan suatu negara yang memiliki kontribusi besar sebagai pemasok di dunia.

Perhatian kita perlu arahkan pada kasus gugatan yang dila­yang­kan UE terhadap kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor biji nikel mentah karena dua hal. Pertama, posisi kebijakan hukum pemanfaatan sumber daya mineral ini perlu dipertahankan.

Hal ini mengingat bahwa Indonesia seharusnya memperoleh manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan hanya mengekspor barang mineral men­tah. Kedua, hal apa saja yang bisa Pemerintah Indonesia lakukan untuk mempertahankan ke­bijakan hukum ini sesuai dengan hukum internasional.

Kenyataan di atas memunculkan pertanyaan dasar menge­nai bagaimana negara memanfaatkan sumber daya alam (SDA) di wilayah negaranya dan ketentuan perdagangan internasional yang ada di WTO. Bahkan, hukum internasional mengakui ke­daulatan negara atas sumber daya alam di wilayahnya yang tertuang dalam resolusi PBB 1803 (XVII) yang menegaskan mengenai permanent sovereignty over natural resources (PSNR).

Di sinilah pada saat yang bersamaan terdapat pertentangan antara hukum nasional yang mengutamakan kepentingan nasional dengan hukum internasional yang mengakomodasi ke­pentingan negara lain.

Dalam hukum nasional Indo­nesia, secara jelas dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bu­mi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk ke­mak­muran rakyat. Kekayaan alam ini termasuk barang-barang tambang yaitu nikel, biji besi, krom, dan batu bara. Berdasarkan konstitusi, negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur bagaimana memanfaatkan sumber daya alam terkandung di wilayah RI tanpa ada intervensi dari negara lain maupun organisasi internasional.

Namun, di sisi lain, Indonesia juga merupakan anggota WTO sejak diratifikasinya persetujuan pembentukan WTO pada 1994. Dengan demikian, aturan na­sional Indonesia atas pemanfaatan sumber daya alam perlu memperhatikan rambu-rambu kesepakatan internasional yang telah diadopsi dalam WTO. Hal ini dikarenakan Indonesia secara sukarela menundukkan diri pada WTO dan aturan-aturan di da­lamnya sebagai pelaksanaan ke­daulatannya.

Perlu kita ketahui bahwa UE mengajukan keberatan atas kebijakan Pemerintah Indonesia ka­rena tiga hal. Pertama, Indonesia membuat aturan pelarangan eks­por biji nikel dan barang tam­bang lainnya yang sangat dibutuhkan negara UE antara lain dalam industri baja stainless.

Kedua, UE menuding Indonesia memberikan program subsidi yang dilarang dalam bentuk pem­bebasan bea masuk untuk pembangunan atau pengemban­an industri dalam rangka penanaman modal atau bagi pe­rusahaan di kawasan industri. Terakhir, Pemerintah Indonesia dianggap lalai dengan tidak menotifikasikan ke WTO peraturan-peraturan terkait larangan ekspor dan perizinan ekspor tersebut.

Ada tiga pasal yang dianggap Uni Eropa dilanggar oleh Peme­rin­tah Indonesia, yaitu Pasal XI:1 GATT 1994 terkait aturan pem­batasan kuantitatif, Pasal 3.1 (b) ASCM terkait aturan subsidi yang dilarang dalam bentuk sub­sidi substitusi impor, serta Pasal X GATT 1994 terkait aturan publikasi dan administrasi pe­ra­turan perdagangan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Pertama, Indonesia perlu meng­optimalisasikan diplomasi bilateral. Hampir 30% dari selu­ruh gugatan dalam penyelesaian sengketa di WTO berakhir di ta­hapan konsultasi tanpa ada pembentukan panel. Indonesia me­miliki waktu 60 hari terhitung sejak tanggal permintaan konsultasi untuk dapat mencari so­lusi yang dapat diterima para pihak yang bersengketa sebelum UE memiliki hak untuk meng­aju­kan pembentukan panel.

Kedua, Indonesia memerlukan kepiawaian dalam bernegosiasi yang biasanya mungkin me­libatkan ihwal di luar dari kon­teks kasus ini. Indonesia dan UE juga sekarang sedang dalam tahap perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement. Di saat yang sama Indonesia juga sedang membawa UE ke pe­nye­le­saian sengketa WTO atas kebi­jak­annya terkait produk kelapa sawit. Sengketa perdagangan antara mitra dagang biasanya da­pat memengaruhi lancarnya pro­ses negosiasi perjanjian perda­gangan bebas tersebut.

Ketiga, Indonesia meng­ha­dapi UE dalam proses litigasi di WTO. Bilamana penyelesaian damai sudah tidak memung­inkan, Pemerintah Indonesia ha­rus siap untuk menghadapi UE dalam proses litigasi di WTO. Indonesia harus belajar dari kasus-kasus serupa yang telah diputus di WTO sehingga dapat mem­pertahankan kebijakannya sesuai dengan aturan WTO.

Upaya Pertahanan

Liberalisasi perdagangan bukanlah segala-galanya dalam atur­an WTO. Ada banyak pe­nge­cualian sebagai dasar pembenar yang bisa dipakai Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kebijakannya sesuai dengan ke­pentingan nasional.

Pertama, dalam Pasal XI:2 GATT 1994 dinyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor ter­sebut dapat dibenarkan apabila bersifat sementara untuk mencegah atau mengatasi adanya critical shortage atas suatu pro­duk penting bagi Indonesia. Ke­dua, Pemerintah Indonesia da­pat mendasarkan pembelaannya atas Pasal XX GATT 1994 yang berisi tentang general excep­tion terutama butir (g) terkait kon­servasi lingkungan dan butir (d) terkait to secure compliance de­ngan peraturan nasional.

Ketiga, Indonesia juga bisa menggunakan dasar dalam Pa­sal XXI terkait security excep­tion yang sekarang sedang mendapat sorotan karena dipakai Ame­rika Se­rikat untuk menjustifikasi tindakan sepihak dalam menaikan tarif untuk produk baja dan aluminium secara diskriminatif. Terakhir, Pemerintah Indonesia juga harus jeli un­tuk melihat apakah dalam gugatan yang dilayangkan UE ada cacat prosedur atau­pun ada kealahan dalam pembuktian apakah kebijakan yang dipermasalahkan sudah memenuhi seluruh unsur dari pasal-pasal yang dijadikan dasar hukum.

Pengalaman Indonesia dalam bersengketa ini sejatinya mem­berikan pelajaran yang tak ternilai harganya. Kepentingan nasional yang mengutamakan manfaat bagi rakyat Indonesia harus dibela dan dipertahankan. Namun, hal tersebut bisa dilakukan jika Indonesia juga memperhatikan segala aturan internasional terkait, termasuk bagaimana kita bisa mempertahankan diri.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3962 seconds (0.1#10.140)