Kedaulatan Atas SDA dan Aturan Perdagangan Internasional
A
A
A
Arie Afriansyah
Dosen Hukum Internasional, Universitas Indonesia
PADA 22 November 2019, Uni Eropa (UE) secara resmi melayangkan gugatan kepada Indonesia di forum World Trade Organization (WTO). Kebijakan yang digugat antara lain larangan ekspor biji nikel mentah.
Selama ini UE menikmati impor biji nikel mentah dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia. Ekspor bahan mineral yang memiliki nilai tambah dapat memberikan manfaat yang lebih kepada Indonesia. Kasus ini juga terkait persaingan produk hilir yang sangat bergantung pada bahan baku di mana persediaan (supply) dunia terdampak akibat kebijakan suatu negara yang memiliki kontribusi besar sebagai pemasok di dunia.
Perhatian kita perlu arahkan pada kasus gugatan yang dilayangkan UE terhadap kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor biji nikel mentah karena dua hal. Pertama, posisi kebijakan hukum pemanfaatan sumber daya mineral ini perlu dipertahankan.
Hal ini mengingat bahwa Indonesia seharusnya memperoleh manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan hanya mengekspor barang mineral mentah. Kedua, hal apa saja yang bisa Pemerintah Indonesia lakukan untuk mempertahankan kebijakan hukum ini sesuai dengan hukum internasional.
Kenyataan di atas memunculkan pertanyaan dasar mengenai bagaimana negara memanfaatkan sumber daya alam (SDA) di wilayah negaranya dan ketentuan perdagangan internasional yang ada di WTO. Bahkan, hukum internasional mengakui kedaulatan negara atas sumber daya alam di wilayahnya yang tertuang dalam resolusi PBB 1803 (XVII) yang menegaskan mengenai permanent sovereignty over natural resources (PSNR).
Di sinilah pada saat yang bersamaan terdapat pertentangan antara hukum nasional yang mengutamakan kepentingan nasional dengan hukum internasional yang mengakomodasi kepentingan negara lain.
Dalam hukum nasional Indonesia, secara jelas dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kekayaan alam ini termasuk barang-barang tambang yaitu nikel, biji besi, krom, dan batu bara. Berdasarkan konstitusi, negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur bagaimana memanfaatkan sumber daya alam terkandung di wilayah RI tanpa ada intervensi dari negara lain maupun organisasi internasional.
Namun, di sisi lain, Indonesia juga merupakan anggota WTO sejak diratifikasinya persetujuan pembentukan WTO pada 1994. Dengan demikian, aturan nasional Indonesia atas pemanfaatan sumber daya alam perlu memperhatikan rambu-rambu kesepakatan internasional yang telah diadopsi dalam WTO. Hal ini dikarenakan Indonesia secara sukarela menundukkan diri pada WTO dan aturan-aturan di dalamnya sebagai pelaksanaan kedaulatannya.
Perlu kita ketahui bahwa UE mengajukan keberatan atas kebijakan Pemerintah Indonesia karena tiga hal. Pertama, Indonesia membuat aturan pelarangan ekspor biji nikel dan barang tambang lainnya yang sangat dibutuhkan negara UE antara lain dalam industri baja stainless.
Kedua, UE menuding Indonesia memberikan program subsidi yang dilarang dalam bentuk pembebasan bea masuk untuk pembangunan atau pengembanan industri dalam rangka penanaman modal atau bagi perusahaan di kawasan industri. Terakhir, Pemerintah Indonesia dianggap lalai dengan tidak menotifikasikan ke WTO peraturan-peraturan terkait larangan ekspor dan perizinan ekspor tersebut.
Ada tiga pasal yang dianggap Uni Eropa dilanggar oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Pasal XI:1 GATT 1994 terkait aturan pembatasan kuantitatif, Pasal 3.1 (b) ASCM terkait aturan subsidi yang dilarang dalam bentuk subsidi substitusi impor, serta Pasal X GATT 1994 terkait aturan publikasi dan administrasi peraturan perdagangan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama, Indonesia perlu mengoptimalisasikan diplomasi bilateral. Hampir 30% dari seluruh gugatan dalam penyelesaian sengketa di WTO berakhir di tahapan konsultasi tanpa ada pembentukan panel. Indonesia memiliki waktu 60 hari terhitung sejak tanggal permintaan konsultasi untuk dapat mencari solusi yang dapat diterima para pihak yang bersengketa sebelum UE memiliki hak untuk mengajukan pembentukan panel.
Kedua, Indonesia memerlukan kepiawaian dalam bernegosiasi yang biasanya mungkin melibatkan ihwal di luar dari konteks kasus ini. Indonesia dan UE juga sekarang sedang dalam tahap perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement. Di saat yang sama Indonesia juga sedang membawa UE ke penyelesaian sengketa WTO atas kebijakannya terkait produk kelapa sawit. Sengketa perdagangan antara mitra dagang biasanya dapat memengaruhi lancarnya proses negosiasi perjanjian perdagangan bebas tersebut.
Ketiga, Indonesia menghadapi UE dalam proses litigasi di WTO. Bilamana penyelesaian damai sudah tidak memunginkan, Pemerintah Indonesia harus siap untuk menghadapi UE dalam proses litigasi di WTO. Indonesia harus belajar dari kasus-kasus serupa yang telah diputus di WTO sehingga dapat mempertahankan kebijakannya sesuai dengan aturan WTO.
Upaya Pertahanan
Liberalisasi perdagangan bukanlah segala-galanya dalam aturan WTO. Ada banyak pengecualian sebagai dasar pembenar yang bisa dipakai Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kebijakannya sesuai dengan kepentingan nasional.
Pertama, dalam Pasal XI:2 GATT 1994 dinyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor tersebut dapat dibenarkan apabila bersifat sementara untuk mencegah atau mengatasi adanya critical shortage atas suatu produk penting bagi Indonesia. Kedua, Pemerintah Indonesia dapat mendasarkan pembelaannya atas Pasal XX GATT 1994 yang berisi tentang general exception terutama butir (g) terkait konservasi lingkungan dan butir (d) terkait to secure compliance dengan peraturan nasional.
Ketiga, Indonesia juga bisa menggunakan dasar dalam Pasal XXI terkait security exception yang sekarang sedang mendapat sorotan karena dipakai Amerika Serikat untuk menjustifikasi tindakan sepihak dalam menaikan tarif untuk produk baja dan aluminium secara diskriminatif. Terakhir, Pemerintah Indonesia juga harus jeli untuk melihat apakah dalam gugatan yang dilayangkan UE ada cacat prosedur ataupun ada kealahan dalam pembuktian apakah kebijakan yang dipermasalahkan sudah memenuhi seluruh unsur dari pasal-pasal yang dijadikan dasar hukum.
Pengalaman Indonesia dalam bersengketa ini sejatinya memberikan pelajaran yang tak ternilai harganya. Kepentingan nasional yang mengutamakan manfaat bagi rakyat Indonesia harus dibela dan dipertahankan. Namun, hal tersebut bisa dilakukan jika Indonesia juga memperhatikan segala aturan internasional terkait, termasuk bagaimana kita bisa mempertahankan diri.
Dosen Hukum Internasional, Universitas Indonesia
PADA 22 November 2019, Uni Eropa (UE) secara resmi melayangkan gugatan kepada Indonesia di forum World Trade Organization (WTO). Kebijakan yang digugat antara lain larangan ekspor biji nikel mentah.
Selama ini UE menikmati impor biji nikel mentah dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia. Ekspor bahan mineral yang memiliki nilai tambah dapat memberikan manfaat yang lebih kepada Indonesia. Kasus ini juga terkait persaingan produk hilir yang sangat bergantung pada bahan baku di mana persediaan (supply) dunia terdampak akibat kebijakan suatu negara yang memiliki kontribusi besar sebagai pemasok di dunia.
Perhatian kita perlu arahkan pada kasus gugatan yang dilayangkan UE terhadap kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor biji nikel mentah karena dua hal. Pertama, posisi kebijakan hukum pemanfaatan sumber daya mineral ini perlu dipertahankan.
Hal ini mengingat bahwa Indonesia seharusnya memperoleh manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan hanya mengekspor barang mineral mentah. Kedua, hal apa saja yang bisa Pemerintah Indonesia lakukan untuk mempertahankan kebijakan hukum ini sesuai dengan hukum internasional.
Kenyataan di atas memunculkan pertanyaan dasar mengenai bagaimana negara memanfaatkan sumber daya alam (SDA) di wilayah negaranya dan ketentuan perdagangan internasional yang ada di WTO. Bahkan, hukum internasional mengakui kedaulatan negara atas sumber daya alam di wilayahnya yang tertuang dalam resolusi PBB 1803 (XVII) yang menegaskan mengenai permanent sovereignty over natural resources (PSNR).
Di sinilah pada saat yang bersamaan terdapat pertentangan antara hukum nasional yang mengutamakan kepentingan nasional dengan hukum internasional yang mengakomodasi kepentingan negara lain.
Dalam hukum nasional Indonesia, secara jelas dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kekayaan alam ini termasuk barang-barang tambang yaitu nikel, biji besi, krom, dan batu bara. Berdasarkan konstitusi, negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur bagaimana memanfaatkan sumber daya alam terkandung di wilayah RI tanpa ada intervensi dari negara lain maupun organisasi internasional.
Namun, di sisi lain, Indonesia juga merupakan anggota WTO sejak diratifikasinya persetujuan pembentukan WTO pada 1994. Dengan demikian, aturan nasional Indonesia atas pemanfaatan sumber daya alam perlu memperhatikan rambu-rambu kesepakatan internasional yang telah diadopsi dalam WTO. Hal ini dikarenakan Indonesia secara sukarela menundukkan diri pada WTO dan aturan-aturan di dalamnya sebagai pelaksanaan kedaulatannya.
Perlu kita ketahui bahwa UE mengajukan keberatan atas kebijakan Pemerintah Indonesia karena tiga hal. Pertama, Indonesia membuat aturan pelarangan ekspor biji nikel dan barang tambang lainnya yang sangat dibutuhkan negara UE antara lain dalam industri baja stainless.
Kedua, UE menuding Indonesia memberikan program subsidi yang dilarang dalam bentuk pembebasan bea masuk untuk pembangunan atau pengembanan industri dalam rangka penanaman modal atau bagi perusahaan di kawasan industri. Terakhir, Pemerintah Indonesia dianggap lalai dengan tidak menotifikasikan ke WTO peraturan-peraturan terkait larangan ekspor dan perizinan ekspor tersebut.
Ada tiga pasal yang dianggap Uni Eropa dilanggar oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Pasal XI:1 GATT 1994 terkait aturan pembatasan kuantitatif, Pasal 3.1 (b) ASCM terkait aturan subsidi yang dilarang dalam bentuk subsidi substitusi impor, serta Pasal X GATT 1994 terkait aturan publikasi dan administrasi peraturan perdagangan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama, Indonesia perlu mengoptimalisasikan diplomasi bilateral. Hampir 30% dari seluruh gugatan dalam penyelesaian sengketa di WTO berakhir di tahapan konsultasi tanpa ada pembentukan panel. Indonesia memiliki waktu 60 hari terhitung sejak tanggal permintaan konsultasi untuk dapat mencari solusi yang dapat diterima para pihak yang bersengketa sebelum UE memiliki hak untuk mengajukan pembentukan panel.
Kedua, Indonesia memerlukan kepiawaian dalam bernegosiasi yang biasanya mungkin melibatkan ihwal di luar dari konteks kasus ini. Indonesia dan UE juga sekarang sedang dalam tahap perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement. Di saat yang sama Indonesia juga sedang membawa UE ke penyelesaian sengketa WTO atas kebijakannya terkait produk kelapa sawit. Sengketa perdagangan antara mitra dagang biasanya dapat memengaruhi lancarnya proses negosiasi perjanjian perdagangan bebas tersebut.
Ketiga, Indonesia menghadapi UE dalam proses litigasi di WTO. Bilamana penyelesaian damai sudah tidak memunginkan, Pemerintah Indonesia harus siap untuk menghadapi UE dalam proses litigasi di WTO. Indonesia harus belajar dari kasus-kasus serupa yang telah diputus di WTO sehingga dapat mempertahankan kebijakannya sesuai dengan aturan WTO.
Upaya Pertahanan
Liberalisasi perdagangan bukanlah segala-galanya dalam aturan WTO. Ada banyak pengecualian sebagai dasar pembenar yang bisa dipakai Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kebijakannya sesuai dengan kepentingan nasional.
Pertama, dalam Pasal XI:2 GATT 1994 dinyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor tersebut dapat dibenarkan apabila bersifat sementara untuk mencegah atau mengatasi adanya critical shortage atas suatu produk penting bagi Indonesia. Kedua, Pemerintah Indonesia dapat mendasarkan pembelaannya atas Pasal XX GATT 1994 yang berisi tentang general exception terutama butir (g) terkait konservasi lingkungan dan butir (d) terkait to secure compliance dengan peraturan nasional.
Ketiga, Indonesia juga bisa menggunakan dasar dalam Pasal XXI terkait security exception yang sekarang sedang mendapat sorotan karena dipakai Amerika Serikat untuk menjustifikasi tindakan sepihak dalam menaikan tarif untuk produk baja dan aluminium secara diskriminatif. Terakhir, Pemerintah Indonesia juga harus jeli untuk melihat apakah dalam gugatan yang dilayangkan UE ada cacat prosedur ataupun ada kealahan dalam pembuktian apakah kebijakan yang dipermasalahkan sudah memenuhi seluruh unsur dari pasal-pasal yang dijadikan dasar hukum.
Pengalaman Indonesia dalam bersengketa ini sejatinya memberikan pelajaran yang tak ternilai harganya. Kepentingan nasional yang mengutamakan manfaat bagi rakyat Indonesia harus dibela dan dipertahankan. Namun, hal tersebut bisa dilakukan jika Indonesia juga memperhatikan segala aturan internasional terkait, termasuk bagaimana kita bisa mempertahankan diri.
(maf)