Komunikasi Empatik di Tengah Banjir Opini Mitigasi Bencana

Sabtu, 04 Januari 2020 - 08:15 WIB
Komunikasi Empatik di Tengah Banjir Opini Mitigasi Bencana
Komunikasi Empatik di Tengah Banjir Opini Mitigasi Bencana
A A A
Nugroho Agung Prasetyo
Praktisi Public Relations Pengurus ISKI Pusat dan BPP Perhumas Indonesia

MUSIBAH banjir yang menyergap wilayah Jakarta dan sekitarnya pada pembuka 2020 ternyata menghadirkan ragam polemik. Tak hanya menimbulkan kerugian materi dan jiwa, namun kita juga diperlihatkan atraksi komunikasi publik dari para elite yang “menggemaskan” dan diperkeruh dengan “sirkus” opini-opini media sosial yang cenderung terpolarisasi dan cenderung mencemaskan publik.

Dalam konteks ilmu komunikasi, pakar manajemen internasional Peter Ferdinand Drucker pernah mengatakan, “The most important thing in communication is hearing what isn't said." Kita belum melihat kemampuan komunikasi empatik para komunikator ini dalam menyerap apa yang tak terucapkan oleh publik selaku audiens.

Di saat banjir telah menimbulkan kerusakan, kita justru diperlihatkan adanya narasi silang pendapat antarpemangku kebijakan. Di satu sisi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimulyono, mempersoalkan belum maksimalnya proses normalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Dari rencana 33 kilometer yang hendak dinormalisasi, pemerintah daerah, khususnya DKI Jakarta, baru melakukannya 16 kilometer.

Di pihak berbeda, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadikan program naturalisasi sebagai solusi untuk mengatasi banjir di Ibu Kota. Program naturalisasi ini dilakukan dengan mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau sebagai fungsi pengendalian banjir dan konservasi air. Problemnya, konsep naturalisasi membutuhkan lahan lebar di kanan kiri sungai yang tentu akan terkendala dengan janji Anies untuk tidak akan melakukan penggusuran.

Silang pendapat teknis pengendalian banjir melalui normalisasi dan naturalisasi menjadi isu yang bertiup kencang, terutama saat warganet ikut larut dalam perdebatan berkepanjangan. Di sinilah kegagalan komunikasi menjadi semakin terlihat di tengah riuh lalu lalang pesan sebagaimana yang dimaksud oleh Peter Drucker.

Dari perbedaan cara ”menjinakkan” air yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun daerah terlihat jelas bahwa keduanya belum dapat menyerap komunikasi yang tidak terucapkan oleh publik. Definisi publik dalam konteks ini adalah warga yang harusnya mendapatkan pelayanan konkret, cepat dan tepat; bukan dibanjiri oleh polemik program.

Harapan publik sangat sederhana. Di saat musibah banjir terjadi, hal yang dibutuhkan pada dasarnya sikap komunikasi yang penuh respect (menghargai), emphaty (empati), audible, clarity, dan humble atau yang dikenal dengan istilah REACH. Inilah prasyarat penting komunikasi publik yang harus dimiliki oleh komunikator — dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah. Secara sederhana mungkin yang dibutuhkan warga juga cukup simpel terhadap elitnya, “Lihat dan bantu tenangkan kami dari musibah, serta cepat benahi sungai.”

Sikap respek yang harusnya diwujudkan oleh komunikator publik adalah sikap saling menghargai dan menghormati untuk membangun kerja sama di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ketika musibah banjir telah terjadi, narasi-narasi tentang program bukan menjadi hal utama yang harusnya dikemukakan.

Toh, secara faktual banjir telah terjadi dan menimbulkan kerugian kepada masyarakat. Artinya, untuk menjalin komunikasi yang efektif seharusnya pemerintah pusat dan daerah tidak lagi saling berpolemik tentang program apa yang paling baik untuk mengatasi banjir. Ketika hal itu terus saja digemakan, inilah kegagalan berkomunikasi sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Drucker. Ibaratnya para elite berkomunikasi tanpa paham apa yang disampaikan dan apa yang diinginkan oleh audiensnya.

Mungkin bolehlah kita berkaca pada gaya komunikasi Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Saat publik Amerika Serikat diterjang badai Sandy pada Oktober 2012, Obama tak lagi menyampaikan narasi yang bersifat teoretis atau retoris. Di saat wilayah bagian di New Jersey dan New York dibuat lumpuh, Obama justru mengeluarkan pernyataan dengan menjadikan musibah tersebut sebagai bencana nasional dan bencana besar. Di sini Obama tidak lagi melihat ke belakang, tapi menyongsong ke depan bagaimana membawa audiensnya segera secara bersama-sama menyelesaikan masalah.

Dari kasus tersebut Obama sesungguhnya menyampaikan pesan secara efektif tentang berkomunikasi empatik. Dalam konteks ini empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu syarat utamanya adalah kemampuan kita mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti orang lain.

Suka atau tidak suka, gaya komunikasi yang dibangun oleh Joko Widodo dengan memilih tagline kampanye ”Jokowi Adalah Kita” pada Pilpres 2014 merupakan bentuk berkomunikasi empatik yang efektif. Lalu, saat banjir di awal tahun ini datang tanpa ada peringatan, sempat diviralkan kembali ucapan Jokowi jika menjadi presiden maka akan sangat mudah untuk menyelesaikan banjir dan macet di Jakarta. Di sini, Jokowi menunjukkan sikapnya untuk tidak larut ke dalam polemik yang justru akan menjadi sangat kontraproduktif bagi kerja-kerjanya yang membutuhkan effort lebih besar lagi setelah adanya banjir kali ini.

Namun, perlu dicatat juga, pesan empatik dari komunikasi ini jangan lagi ditempatkan pada pembentukan-pembentukan citra positif yang hanya bersifat artifisial. Inilah yang kerap kali dilakukan oleh kebanyakan pejabat atau elite di negeri ini. Ingatlah, pesan Peter Drucker, hal utama dalam berkomunikasi itu adalah kemampuan menyerap yang tak terdengar, bukan membungkusnya dengan pencitraan artifisial dan sesaat.

Selanjutnya, dalam berkomunikasi yang audible, elite atau pejabat harusnya bisa menyampaikan pesan yang bisa didengar dan dimengerti secara baik oleh lawan komunikasinya. Dalam kasus silang narasi antara normalisasi versus naturalisasi, keduanya sungguh sesuatu yang tak dimengerti oleh audiens. Keduanya hanyalah istilah akademik yang tidak membumi.

Padahal kebutuhan dari audiensi—dalam hal ini warga korban banjir—bagaimana pemerintah bisa bekerja secara sungguh-sungguh untuk meminimalkan luapan air yang melanda di tempatnya. Itulah yang dibutuhkan, bukan harus mendengarkan narasi program yang hanya dimengerti oleh kalangan terbatas. Ingatlah warning dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa curah hujan akan meningkat sampai Maret mendatang.

Jika ingin mengadopsi sikap audible tadi, kejadian banjir di awal tahun ini menjadi semacam pemanasan untuk bekerja lebih keras, bukan banyak bicara dengan memaparkan program yang sesungguhnya sama-sama gagal dalam mengatasi banjir.

Ketika sikap itu bisa dilakukan dalam beberapa hari ke depan, berarti elite atau pemerintah telah membangun komunikasi efektif untuk menyampaikan pesan yang jelas (clarity). Kerja-kerja nyata jangka pendek yang harusnya mulai dilakukan adalah perbaikan sejumlah situ di berbagai daerah yang selama ini daya tampungnya tidak maksimal.

Hal lainnya, jika itu memungkinkan, mempercepat proses pembangunan bendungan Ciawi dan Sukamahi di kawasan Puncak, Bogor. Tentunya di bagian hilir pun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai memperbaiki lagi saluran-saluran air dengan mengerahkan para pekerja dalam jumlah lebih besar lagi. Inilah pesan yang jelas untuk meyakinkan warga bahwa pemerintah memang benar-benar hadir dan bisa memberikan pemecahan masalah.

Jika semua ini bisa dilakukan dengan sigap, maka inilah bentuk mitigasi yang sesungguhnya. Ingatlah pepatah bijak bahwa hanya keledai yang selalu terjatuh di lubang yang sama. Tentu kita tidak menginginkan elite-elite mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Ke depan, kita butuh para pemimpin yang bisa menyerap keluhan dan masalah di masyarakat yang tidak tersampaikan. Bukan menjadikan kiblat kebijakannya pada suara-suara netizens yang sekarang ini sudah terlanjur terpolarisasi pilihan politiknya.

Jadi, mari jadikan musibah banjir kemarin sebagai ruang bersama untuk saling berefleksi dan memulai kerja lebih keras lagi. Bukan lagi ruang berpolemik tentang program mana yang paling unggul untuk mengatasi banjir.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8810 seconds (0.1#10.140)