Pertahanan Rakyat Semesta
A
A
A
Dahnil Anzar Simanjuntak
Peneliti Senior Lembaga Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Republik Indonesia
PERNYATAAN Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, "Kalau terpaksa kita terlibat dalam perang, perang yang kita laksanakan adalah perang rakyat semesta. The concept of the total people war," memantik polemik di tengah masyarakat.
Bahkan tidak sedikit yang mempertanyakan karena Indonesia dianggap tidak akan mungkin lagi mengalami peperangan senjata seperti era penjajahan. Apalagi dengan melibatkan rakyat. Sangat tidak mungkin. Bahkan, ada yang menyatakan pemikiran Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tersebut sudah usang, old fashioned, tidak milenial.
Sejatinya tidak ada yang salah dari apa yang disampaikan oleh Prabowo tersebut. Keberadaan kata sambung bersyarat "kalau", apalagi ditambah kata "terpaksa", menunjukkan bahwa perang merupakan jalan terakhir setelah semua upaya damai ditempuh sesuai prinsip Indonesia sebagai negara cinta pada kemerdekaan dan kedaulatan. Seribu teman terlalu sedikit. Satu musuh terlalu banyak.
Dan, sebagai orang yang konstitusional, Prabowo juga paham bahwa yang berhak menyatakan perang adalah Presiden. Itu pun harus disetujui DPR (Pasal 11 UUD 1945).
Sebenarnya ada hal yang lebih menarik disampaikan Prabowo Subianto dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada 11 November 2019 tersebut, yaitu penegasannya bahwa doktrin pertahanan kita adalah pertahanan rakyat semesta.
Hal ini sesuai Pasal 30 ayat (2) UUD. Kata "semesta" menunjukkan upaya mempertahankan negara melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya seperti dijelaskan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia, dan penjelasan Pasal 2 huruf b UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Doktrin pertahanan semesta ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman keterlibatan semua anak bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah, terutama antara tahun 1945-1949, masa yang disebut pihak Belanda sebagai Periode Bersiap (Anwar, 2010). Saat itu masih disebut dengan Pertahanan Rakyat Total (Widjajanto, 2010).
Sekarang tentu tidak bisa asal melibatkan masyarakat atau kelompok sipil (nonkombatan) dalam perang secara militer atau perang konvensional. Karena harus tunduk pada hukum perang internasional (penjelasan Pasal 7 ayat [2] huruf a). Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional, perang bersenjata mensyaratkan untuk melindungi kelompok sipil.
Meski demikian, penegasan Prabowo tersebut mengingatkan seluruh anak bangsa bahwa semuanya harus terlibat dalam upaya pertahanan negara. Tidak hanya Indonesia,semua negara mempunyai konsep pertahanan yang sama.
Malaysia misalnya memiliki konsep Pertahanan Menyeluruh yang disingkat Hanruh. Sementara Singapura menamainya dengan Total Defence. Total Defence sebelumnya memiliki lima pilar, yaitu Military Defence, Civil Defence, Economic Defence, Social Defence, dan Psychological Defence . Sekarang ditambah satu pilar lagi: Digital Defence.
Pertahanan semesta, menyeluruh, total, atau apa pun penyebutannya menunjukkan kesadaran dan kesiapsiagaan semua negara bahwa perang di zaman modern ini sangat kompleks. Perang tidak hanya secara militer, tapi juga mencakup berbagai bidang lain seperti politik,ekonomi, budaya, media, siber, dan lain-lain.
Dalam konteks siber misalnya, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat selama 2018 Indonesia mengalami 232,45 juta serangan. Sementara berdasarkan penelitian Forst & Sullivan yang diprakarsai Microsoft pada 2018, kejahatan siber di Indonesia bisa menyebabkan kerugian mencapai 34,2 miliar dolar AS atau setara Rp478,8 triliun.
Perang atau ancaman nonmiliter ini berlangsung tanpa ada bentrokan fisik, bahkan orang yang kalah tidak merasakan bahwa dirinya sudah berada dalam posisi yang ditaklukkan.
Inilah peperangan Generasi Keempat (4 GW). Peperangan asimetris, peperangan nonlinier yang menggunakan seluruh sarana dan prasarana yang ditujukan, terutama untuk menghancurkan kemampuan bertempur musuh. Pemahaman peperangan generasi keempat ini identik dengan perang semesta (Prabowo, 2009).
Karena itulah, Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (SDN) untuk Pertahanan Negara menjelaskan ada tiga bentuk ancaman yang harus diantisipasi, yaitu ancaman militer, ancaman nonmiliter, dan ancaman hibrida (keterpaduan ancaman-ancaman militer dan ancaman nonmiliter).
Dalam buku Konsep Sistem Pertahanan Nonmiliter, Suryokusumo dkk (2016) menjelaskan perang nonmiliter jauh lebih kompleks dan rumit mengingat dimensinya tidak terbatas, tetapi bisa mencakup berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pihak yang terlibat dalam memperjuangkan kepentingannya bertumpu pada aksi-aksi nonkekerasan, bahkan menggunakan pihak ketiga (proxy war).
Fenomena Economic Hit Man seperti pengakuan Jhon Perkins, lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, serta Timor Timur, adalah contohnya nyata peperangan nonmiliter yang kita hadapi. Dan, sayangnya, kita berada pada pihak yang kalah. Dalam bahasa Suryo Prabowo, TNI tidak pernah kalah dalam pertempuran, tapi heart and mind (hati dan pikiran) penduduk tidak dibina agar berpihak Pemerintah Indonesia. Akhirnya Timor Timur lepas.
Ancaman nonmiliter ini harus disadari oleh semua anak bangsa. Karena itu, rakyat dengan profesi apa pun harus sadar ada tanggung jawab kebangsaan yang diemban sehingga semua keputusan yang diambil harus mempertimbangkan Merah Putih, terutama di kalangan pemerintahan dan politisi.
Hal ini penting untuk diingatkan karena sampai ada ekonom yang sempat menjadi pejabat tinggi pernah mengatakan, "...nasionalisme sudah kuno, masukin saja ke dalam saku..." seperti disinggung Prof Sri-Edi Swasono dalam artikelnya, "Menegakkan Keberdaulatan Ekonomi Kita" (2018).
Dalam konteks itulah, impor cangkul yang sempat dikesalkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu misalnya juga harus dianggap sebagai alarm alias peringatan keras. Bahwa, impor cangkul merupakan bentuk ancaman nonmiliter terhadap pertahanan negara. Betapa lemahnya kita sampai alat pertanian yang telah dikenal dan digunakan sejak dulu tersebut sekarang diimpor.
Apakah itu juga pertanda bahwa kondisi petani kita saat ini lebih memprihatinkan dibanding kehidupan Marhaen, petani yang ditemui Bung Karno di wilayah Bandung bagian selatan pada 1920-an?
Tapi, yang pasti, saat ini kita telah mencapai beberapa kemajuan, namun kita harus jujur, kita masih tertinggal dalam ekonomi, ilmu pengetahuan, dan berbagai sektor lainnya dari negara-negara berkembang dan maju lainnya. Karena itu, dengan semangat perang gerilya, pertahanan semesta semua anak bangsa harus bersatu bergandengan tangan, buang dendam politik dan mari bekerja keras di bidangnya masing-masing untuk memajukan Indonesia. Agar negara kita aman dari berbagai bentuk macam ancaman apa pun, dan kita selalu siap sedia menghadapi berbagai ancaman-ancaman yang datang.
Peneliti Senior Lembaga Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Republik Indonesia
PERNYATAAN Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, "Kalau terpaksa kita terlibat dalam perang, perang yang kita laksanakan adalah perang rakyat semesta. The concept of the total people war," memantik polemik di tengah masyarakat.
Bahkan tidak sedikit yang mempertanyakan karena Indonesia dianggap tidak akan mungkin lagi mengalami peperangan senjata seperti era penjajahan. Apalagi dengan melibatkan rakyat. Sangat tidak mungkin. Bahkan, ada yang menyatakan pemikiran Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tersebut sudah usang, old fashioned, tidak milenial.
Sejatinya tidak ada yang salah dari apa yang disampaikan oleh Prabowo tersebut. Keberadaan kata sambung bersyarat "kalau", apalagi ditambah kata "terpaksa", menunjukkan bahwa perang merupakan jalan terakhir setelah semua upaya damai ditempuh sesuai prinsip Indonesia sebagai negara cinta pada kemerdekaan dan kedaulatan. Seribu teman terlalu sedikit. Satu musuh terlalu banyak.
Dan, sebagai orang yang konstitusional, Prabowo juga paham bahwa yang berhak menyatakan perang adalah Presiden. Itu pun harus disetujui DPR (Pasal 11 UUD 1945).
Sebenarnya ada hal yang lebih menarik disampaikan Prabowo Subianto dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada 11 November 2019 tersebut, yaitu penegasannya bahwa doktrin pertahanan kita adalah pertahanan rakyat semesta.
Hal ini sesuai Pasal 30 ayat (2) UUD. Kata "semesta" menunjukkan upaya mempertahankan negara melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya seperti dijelaskan Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia, dan penjelasan Pasal 2 huruf b UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Doktrin pertahanan semesta ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman keterlibatan semua anak bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah, terutama antara tahun 1945-1949, masa yang disebut pihak Belanda sebagai Periode Bersiap (Anwar, 2010). Saat itu masih disebut dengan Pertahanan Rakyat Total (Widjajanto, 2010).
Sekarang tentu tidak bisa asal melibatkan masyarakat atau kelompok sipil (nonkombatan) dalam perang secara militer atau perang konvensional. Karena harus tunduk pada hukum perang internasional (penjelasan Pasal 7 ayat [2] huruf a). Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional, perang bersenjata mensyaratkan untuk melindungi kelompok sipil.
Meski demikian, penegasan Prabowo tersebut mengingatkan seluruh anak bangsa bahwa semuanya harus terlibat dalam upaya pertahanan negara. Tidak hanya Indonesia,semua negara mempunyai konsep pertahanan yang sama.
Malaysia misalnya memiliki konsep Pertahanan Menyeluruh yang disingkat Hanruh. Sementara Singapura menamainya dengan Total Defence. Total Defence sebelumnya memiliki lima pilar, yaitu Military Defence, Civil Defence, Economic Defence, Social Defence, dan Psychological Defence . Sekarang ditambah satu pilar lagi: Digital Defence.
Pertahanan semesta, menyeluruh, total, atau apa pun penyebutannya menunjukkan kesadaran dan kesiapsiagaan semua negara bahwa perang di zaman modern ini sangat kompleks. Perang tidak hanya secara militer, tapi juga mencakup berbagai bidang lain seperti politik,ekonomi, budaya, media, siber, dan lain-lain.
Dalam konteks siber misalnya, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat selama 2018 Indonesia mengalami 232,45 juta serangan. Sementara berdasarkan penelitian Forst & Sullivan yang diprakarsai Microsoft pada 2018, kejahatan siber di Indonesia bisa menyebabkan kerugian mencapai 34,2 miliar dolar AS atau setara Rp478,8 triliun.
Perang atau ancaman nonmiliter ini berlangsung tanpa ada bentrokan fisik, bahkan orang yang kalah tidak merasakan bahwa dirinya sudah berada dalam posisi yang ditaklukkan.
Inilah peperangan Generasi Keempat (4 GW). Peperangan asimetris, peperangan nonlinier yang menggunakan seluruh sarana dan prasarana yang ditujukan, terutama untuk menghancurkan kemampuan bertempur musuh. Pemahaman peperangan generasi keempat ini identik dengan perang semesta (Prabowo, 2009).
Karena itulah, Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (SDN) untuk Pertahanan Negara menjelaskan ada tiga bentuk ancaman yang harus diantisipasi, yaitu ancaman militer, ancaman nonmiliter, dan ancaman hibrida (keterpaduan ancaman-ancaman militer dan ancaman nonmiliter).
Dalam buku Konsep Sistem Pertahanan Nonmiliter, Suryokusumo dkk (2016) menjelaskan perang nonmiliter jauh lebih kompleks dan rumit mengingat dimensinya tidak terbatas, tetapi bisa mencakup berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pihak yang terlibat dalam memperjuangkan kepentingannya bertumpu pada aksi-aksi nonkekerasan, bahkan menggunakan pihak ketiga (proxy war).
Fenomena Economic Hit Man seperti pengakuan Jhon Perkins, lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, serta Timor Timur, adalah contohnya nyata peperangan nonmiliter yang kita hadapi. Dan, sayangnya, kita berada pada pihak yang kalah. Dalam bahasa Suryo Prabowo, TNI tidak pernah kalah dalam pertempuran, tapi heart and mind (hati dan pikiran) penduduk tidak dibina agar berpihak Pemerintah Indonesia. Akhirnya Timor Timur lepas.
Ancaman nonmiliter ini harus disadari oleh semua anak bangsa. Karena itu, rakyat dengan profesi apa pun harus sadar ada tanggung jawab kebangsaan yang diemban sehingga semua keputusan yang diambil harus mempertimbangkan Merah Putih, terutama di kalangan pemerintahan dan politisi.
Hal ini penting untuk diingatkan karena sampai ada ekonom yang sempat menjadi pejabat tinggi pernah mengatakan, "...nasionalisme sudah kuno, masukin saja ke dalam saku..." seperti disinggung Prof Sri-Edi Swasono dalam artikelnya, "Menegakkan Keberdaulatan Ekonomi Kita" (2018).
Dalam konteks itulah, impor cangkul yang sempat dikesalkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu misalnya juga harus dianggap sebagai alarm alias peringatan keras. Bahwa, impor cangkul merupakan bentuk ancaman nonmiliter terhadap pertahanan negara. Betapa lemahnya kita sampai alat pertanian yang telah dikenal dan digunakan sejak dulu tersebut sekarang diimpor.
Apakah itu juga pertanda bahwa kondisi petani kita saat ini lebih memprihatinkan dibanding kehidupan Marhaen, petani yang ditemui Bung Karno di wilayah Bandung bagian selatan pada 1920-an?
Tapi, yang pasti, saat ini kita telah mencapai beberapa kemajuan, namun kita harus jujur, kita masih tertinggal dalam ekonomi, ilmu pengetahuan, dan berbagai sektor lainnya dari negara-negara berkembang dan maju lainnya. Karena itu, dengan semangat perang gerilya, pertahanan semesta semua anak bangsa harus bersatu bergandengan tangan, buang dendam politik dan mari bekerja keras di bidangnya masing-masing untuk memajukan Indonesia. Agar negara kita aman dari berbagai bentuk macam ancaman apa pun, dan kita selalu siap sedia menghadapi berbagai ancaman-ancaman yang datang.
(wib)