Menyemai (Kembali) Optimisme Ekonomi Indonesia
A
A
A
M Rifki Fadilah Mahasiswa Pascasarjana MPKP FEB UI, Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute Center for Public Policy Research
PERANG dagang Amerika Serikat dengan China tahun ini membuat banyak negara di dunia harus menelan pil pahit berupa hilangnya momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi. Lembaga ekonomi kredibel dunia seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), bahkan akhirnya merevisi target pertumbuhan ekonomi dunia.Pada tataran global IMF merevisi target pertumbuhan ekonomi dunia sebanyak 0,3% dari 3,6% menjadi hanya sekitar 3,3%. IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 hanya 3,5%. Sementara dalam tataran regional, Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang tahun ini turun ke level terendah dalam empat tahun sebesar 4% (Global Economic Prospects , Juni 2019).
Lebih lanjut dilansir melalui Reuters , IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan perdagangan global tahun ini sebesar 0,9% menjadi 2,5%. Akibatnya, bagi negara-negara yang pertumbuhan ekonominya sangat tergantung dengan ekspor (40% ke atas terhadap Produk Domestik Bruto/PDB), mau tidak mau harus menerima pukulan telak akibat meredupnya volume ekspor perdagangan global.
Di Indonesia, memasuki bulan terakhir tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019. Berdasarkan hitung-hitungan BPS, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan atau year-on-year (yoy). Sebelumnya, pada kuartal I dan II/2019, ekonomi Indonesia juga berhasil tumbuh sebesar 5,07% dan 5,05% (BPS, 2019).
Hal ini patut disyukuri karena di tengah ketidakpastian global dan juga memanasnya hubungan dagang Amerika-China, Indonesia masih mampu tumbuh di angka 5%, kendati sedikit mengalami perlambatan jika dibandingkan pada kuartal-kuartal sebelumnya. Padahal banyak negara di dunia yang tumbuh kurang dari 5%, misalnya Malaysia 4,9%, Thailand 3,7%, Brasil 1,01%, dan Rusia 0,9%. Tulisan ini akan menyampaikan bagaimana kinerja perekonomian Indonesia sepanjang 2019 yang diukur dari tiga indikator utama perekonomian.
Tingkat Pengangguran
Indikator pertama kinerja ekonomi bisa diukur dari tingkat pengangguran dan pasar tenaga kerja. Dari sisi pasar tenaga kerja, khususnya tingkat pengangguran, dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Khususnya dalam 5 tahun belakangan ini tingkat pengangguran berada di kisaran 5% (BPS, 2019). Kemudian tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2019 sebesar 5,01% yang turun 0,12 poin dibandingkan Februari dan 0,33 poin persentase dibanding Agustus 2018. TPT tersebut merupakan level terendah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla serta terendah sejak krisis 1998.
Turunnya angka pengangguran ditopang oleh meningkatnya jumlah pekerja yang lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah angkatan kerja. Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2019 bertambah 2,29 juta jiwa. Sementara jumlah angkatan kerja hanya meningkat 2,24 juta jiwa dibandingkan Februari 2018.Artinya, jumlah pengangguran berkurang 50.000 jiwa dalam setahun. Berkurangnya tingkat pengangguran ini menunjukkan perekonomian Indonesia terus menuju ke arah semakin membaik. Hal ini juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah untuk bekerja lebih keras lagi pada 2020.
Kedua, kinerja ekonomi diukur dari pertumbuhan ekonomi. Data dari BPS menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini (1999 hingga 2018) sebesar 5,27% yoy. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2% dengan nilai PDB sebesar Rp14.837 triliun. Teori Molton and Khaw (2006) menyatakan, pertumbuhan ekonomi merupakan indikator fundamental bagi kesehatan perekonomian. Tingkat pertumbuhan PDB suatu negara itulah pertumbuhan ekonomi yang menurut Mankiw (2010) menjadi alasan suatu negara menjadi lebih kaya dan meningkatkan standar kehidupannya.
Karena itu, kuantitas pertumbuhan ekonomi menjadi aktor penting mengingat ekonomi yang tumbuh tinggi akan berdampak positif terhadap berbagai indikator kesejahteraan lainnya. Hal ini juga menjadi batu loncatan untuk keluar dari tempurung middle-income trap yang selama ini menjadi dinding penghalang Indonesia untuk bergerak naik menjadi negara maju.
Selanjutnya dari sisi kualitas,kita bisa melihatnya dari angka rasio gini. Per definisi, rasio gini adalah salah satu alat untuk mengukur derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk. Nilai rasio gini berkisar antara 0 dan 1. Koefisien gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna.
Berdasarkan catatan BPS pada Maret 2019, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio gini sebesar 0,382. Angka ini menurun 0,002 poin jika dibandingkan dengan rasio gini pada September 2018 sebesar 0,384 dan menurun 0,007 poin dibandingkan dengan rsaio gini Maret 2018 sebesar 0,389. Rasio gini pada Maret 2019 berhasil menjadi yang terendah sejak tujuh tahun terakhir atau sejak September 2011. Hal ini mengindikasikan memang adanya perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia.
Ketiga, kinerja ekonomi diukur dari sisi laju inflasi. Sepanjang 2015 hingga September 2019 inflasi menunjukkan tren yang fluktuatif. Misalnya, sepanjang 2015 hingga 2016 tren inflasi cenderung menunjukkan penurunan. Sementara pada 2016 hingga 2017 justru berkebalikan. Hal demikian terjadi berpola hingga memasuki September 2019.
Kendati demikian, berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), rata-rata laju inflasi sepanjang 2015 hingga September 2019 mampu terjaga di angka 3,2% atau masih dalam batas aman, yaitu 3,4% persen (BI, 2019). Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi inflasi yang rendah dan stabil juga mencerminkan bahwa secara umum bahwa pemerintah mampu mengontrol stabilitas harga komoditas barang kebutuhan pokok untuk menjaga daya beli masyarakat.
Menyemai Optimisme
Di tengah perang dagang antara Amerika-China, bagi Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya, kondisi ini sedikit membawa berkah dengan terbukanya kemungkinan relokasi investasi dan pengalihan jalur perdagangan dari kedua negara. Untuk itu, Indonesia harus segera memitigasi dampak perang dagang ini dengan menangkap peluang investasi.
Ada beberapa cara untuk menjaring investasi agar masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah dengan memperbaiki iklim investasi melalui peningkatan daya saing. Lebih lanjut Pemerintah Indonesia juga bisa memberikan berbagai promosi investasi di Indonesia dengan kemudahan perizinan, simplifikasi aturan, hingga insentif fiskal. Selanjutnya yang tidak kalah penting, Indonesia harus bersikap akomodatif dan terbuka dengan para investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.
Pemerintah juga harus menjaga konsistensi aturan antarlembaga pemerintah dan antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal perizinan. Dengan begitu, para investor akan merasa nyaman dan senang untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia. Dengan berbagai mitigasi di atas, diyakini bahwa perang dagang itu akan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Terakhir, kita juga tidak boleh lengah dengan adanya berkah ekonomi. Dengan sempitnya ruang gerak pemerintah di tengah ketidakpastian global, Indonesia harus memilih prioritas kebijakan. Selain itu, hal yang perlu kita lakukan saat ini adalah memupuk sikap optimistis dan percaya bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih cukup baik dan stabil dari indikator fundamental di atas.
Dengan demikian, kutukan resesi bisa berlalu tanpa meninggalkan jejak berarti. Kita juga dapat menyambut tahun baru 2020 dengan rasa percaya diri dan perasaan gembira serta rasa syukur karena berhasil melalui global uncertainty sepanjang 2019.
The Indonesian Institute Center for Public Policy Research
PERANG dagang Amerika Serikat dengan China tahun ini membuat banyak negara di dunia harus menelan pil pahit berupa hilangnya momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi. Lembaga ekonomi kredibel dunia seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), bahkan akhirnya merevisi target pertumbuhan ekonomi dunia.Pada tataran global IMF merevisi target pertumbuhan ekonomi dunia sebanyak 0,3% dari 3,6% menjadi hanya sekitar 3,3%. IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 hanya 3,5%. Sementara dalam tataran regional, Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang tahun ini turun ke level terendah dalam empat tahun sebesar 4% (Global Economic Prospects , Juni 2019).
Lebih lanjut dilansir melalui Reuters , IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan perdagangan global tahun ini sebesar 0,9% menjadi 2,5%. Akibatnya, bagi negara-negara yang pertumbuhan ekonominya sangat tergantung dengan ekspor (40% ke atas terhadap Produk Domestik Bruto/PDB), mau tidak mau harus menerima pukulan telak akibat meredupnya volume ekspor perdagangan global.
Di Indonesia, memasuki bulan terakhir tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019. Berdasarkan hitung-hitungan BPS, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,02% secara tahunan atau year-on-year (yoy). Sebelumnya, pada kuartal I dan II/2019, ekonomi Indonesia juga berhasil tumbuh sebesar 5,07% dan 5,05% (BPS, 2019).
Hal ini patut disyukuri karena di tengah ketidakpastian global dan juga memanasnya hubungan dagang Amerika-China, Indonesia masih mampu tumbuh di angka 5%, kendati sedikit mengalami perlambatan jika dibandingkan pada kuartal-kuartal sebelumnya. Padahal banyak negara di dunia yang tumbuh kurang dari 5%, misalnya Malaysia 4,9%, Thailand 3,7%, Brasil 1,01%, dan Rusia 0,9%. Tulisan ini akan menyampaikan bagaimana kinerja perekonomian Indonesia sepanjang 2019 yang diukur dari tiga indikator utama perekonomian.
Tingkat Pengangguran
Indikator pertama kinerja ekonomi bisa diukur dari tingkat pengangguran dan pasar tenaga kerja. Dari sisi pasar tenaga kerja, khususnya tingkat pengangguran, dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Khususnya dalam 5 tahun belakangan ini tingkat pengangguran berada di kisaran 5% (BPS, 2019). Kemudian tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2019 sebesar 5,01% yang turun 0,12 poin dibandingkan Februari dan 0,33 poin persentase dibanding Agustus 2018. TPT tersebut merupakan level terendah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla serta terendah sejak krisis 1998.
Turunnya angka pengangguran ditopang oleh meningkatnya jumlah pekerja yang lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah angkatan kerja. Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2019 bertambah 2,29 juta jiwa. Sementara jumlah angkatan kerja hanya meningkat 2,24 juta jiwa dibandingkan Februari 2018.Artinya, jumlah pengangguran berkurang 50.000 jiwa dalam setahun. Berkurangnya tingkat pengangguran ini menunjukkan perekonomian Indonesia terus menuju ke arah semakin membaik. Hal ini juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah untuk bekerja lebih keras lagi pada 2020.
Kedua, kinerja ekonomi diukur dari pertumbuhan ekonomi. Data dari BPS menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini (1999 hingga 2018) sebesar 5,27% yoy. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2% dengan nilai PDB sebesar Rp14.837 triliun. Teori Molton and Khaw (2006) menyatakan, pertumbuhan ekonomi merupakan indikator fundamental bagi kesehatan perekonomian. Tingkat pertumbuhan PDB suatu negara itulah pertumbuhan ekonomi yang menurut Mankiw (2010) menjadi alasan suatu negara menjadi lebih kaya dan meningkatkan standar kehidupannya.
Karena itu, kuantitas pertumbuhan ekonomi menjadi aktor penting mengingat ekonomi yang tumbuh tinggi akan berdampak positif terhadap berbagai indikator kesejahteraan lainnya. Hal ini juga menjadi batu loncatan untuk keluar dari tempurung middle-income trap yang selama ini menjadi dinding penghalang Indonesia untuk bergerak naik menjadi negara maju.
Selanjutnya dari sisi kualitas,kita bisa melihatnya dari angka rasio gini. Per definisi, rasio gini adalah salah satu alat untuk mengukur derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk. Nilai rasio gini berkisar antara 0 dan 1. Koefisien gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna.
Berdasarkan catatan BPS pada Maret 2019, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio gini sebesar 0,382. Angka ini menurun 0,002 poin jika dibandingkan dengan rasio gini pada September 2018 sebesar 0,384 dan menurun 0,007 poin dibandingkan dengan rsaio gini Maret 2018 sebesar 0,389. Rasio gini pada Maret 2019 berhasil menjadi yang terendah sejak tujuh tahun terakhir atau sejak September 2011. Hal ini mengindikasikan memang adanya perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia.
Ketiga, kinerja ekonomi diukur dari sisi laju inflasi. Sepanjang 2015 hingga September 2019 inflasi menunjukkan tren yang fluktuatif. Misalnya, sepanjang 2015 hingga 2016 tren inflasi cenderung menunjukkan penurunan. Sementara pada 2016 hingga 2017 justru berkebalikan. Hal demikian terjadi berpola hingga memasuki September 2019.
Kendati demikian, berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), rata-rata laju inflasi sepanjang 2015 hingga September 2019 mampu terjaga di angka 3,2% atau masih dalam batas aman, yaitu 3,4% persen (BI, 2019). Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi inflasi yang rendah dan stabil juga mencerminkan bahwa secara umum bahwa pemerintah mampu mengontrol stabilitas harga komoditas barang kebutuhan pokok untuk menjaga daya beli masyarakat.
Menyemai Optimisme
Di tengah perang dagang antara Amerika-China, bagi Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya, kondisi ini sedikit membawa berkah dengan terbukanya kemungkinan relokasi investasi dan pengalihan jalur perdagangan dari kedua negara. Untuk itu, Indonesia harus segera memitigasi dampak perang dagang ini dengan menangkap peluang investasi.
Ada beberapa cara untuk menjaring investasi agar masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah dengan memperbaiki iklim investasi melalui peningkatan daya saing. Lebih lanjut Pemerintah Indonesia juga bisa memberikan berbagai promosi investasi di Indonesia dengan kemudahan perizinan, simplifikasi aturan, hingga insentif fiskal. Selanjutnya yang tidak kalah penting, Indonesia harus bersikap akomodatif dan terbuka dengan para investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.
Pemerintah juga harus menjaga konsistensi aturan antarlembaga pemerintah dan antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal perizinan. Dengan begitu, para investor akan merasa nyaman dan senang untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia. Dengan berbagai mitigasi di atas, diyakini bahwa perang dagang itu akan membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Terakhir, kita juga tidak boleh lengah dengan adanya berkah ekonomi. Dengan sempitnya ruang gerak pemerintah di tengah ketidakpastian global, Indonesia harus memilih prioritas kebijakan. Selain itu, hal yang perlu kita lakukan saat ini adalah memupuk sikap optimistis dan percaya bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih cukup baik dan stabil dari indikator fundamental di atas.
Dengan demikian, kutukan resesi bisa berlalu tanpa meninggalkan jejak berarti. Kita juga dapat menyambut tahun baru 2020 dengan rasa percaya diri dan perasaan gembira serta rasa syukur karena berhasil melalui global uncertainty sepanjang 2019.
(nag)