Pilkada Asimetris

Rabu, 18 Desember 2019 - 06:06 WIB
Pilkada Asimetris
Pilkada Asimetris
A A A
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggagas pemilihan umum kepala daerah (pilkada) asimetris. Konsep ini bertujuan mengurangi atau mengatasi dampak dari pilkada langsung. Kemendagri mengemukakan pilkada langsung menjadikan tingginya biaya politik, membuka kemungkinan konflik antara elite dan massa, semakin tingginya politik uang, atau adanya mutasi aparatur sipil negara (ASN) setelah seorang kepala daerah terpilih.
Sebenarnya masih ada persoalan lain dalam penyelenggaraan pilkada langsung, yaitu daftar pemilih tetap (DPT). Persoalan DPT terjadi karena masalah administrasi kependudukan yang tidak kunjung rampung. Satu di antaranya persoalan KTP elektronik yang sudah dimulai sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selain itu, pilkada langsung juga dianggap belum mampu menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas. Namun, mengenai hal ini, sepertinya tidak terlalu tepat karena justru dengan pilkada langsung muncul pemimpin-pemimpin daerah alternatif. Nama-nama seperti Joko Widodo yang saat ini menjabat presiden, Nurdin Abdullah seorang profesor yang menjadi bupati, hingga gubernur Sulawesi Selatan atau nama seorang insinyur Ridwan Kamil ataupun PNS karier seperti Tri Rismaharini yang saat ini menjabat wali Kota Surabaya. Uniknya, nama-nama yang sukses sebagai kepala daerah tersebut bukan kader murni partai politik.

Hal yang menjadi catatan penting adalah tentang pengertian pilkada asimetris ini. Konsep ini justru ditangkap oleh beberapa kalangan menghapus pemilihan langsung dengan pemilihan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ini berarti pemilihan kepala daerah akan dikembalikan seperti rezim Orde Baru (Orba). Suara sumbang pun langsung menghantam istilah pilkada asimetris ini.Pemerintah saat ini dianggap menjadikan oligarki partai politik (parpol) ataupun mencabut kedaulatan rakyat. Dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, maka kualitas demokrasi menjadi turun karena tidak ada pelibatan langsung rakyat dalam politik.

Ini yang mesti diluruskan pemerintah dalam hal ini Kemendagri. Ada komunikasi yang tersumbat dalam menyosialisasikan istilah pilkada asimetris. Pilkada asimetris bukanlah serta-merta menghilangkan pilkada langsung. Dalam pilkada asimetris ada daerah yang menggunakan metode pemilihan langsung dan ada yang tidak langsung alias melalui DPRD. Nah , jadi memang kurang tepat jika pilkada asimetris sekadar diartikan tentang pilkada tidak langsung. Penentuan apakah daerah tertentu menggunakan langsung atau tidak langsung nanti melalui pengukuran yang dilakukan pemerintah.

Pemerintah harus merumuskan indikator-indikator yang menjadi ukuran suatu daerah cocoknya pilkada langsung atau tidak. Penentuan indikator-indikator ini yang kemungkinan akan memunculkan perdebatan yang bisa jadi melahirkan konflik di daerah atau politik.Bahkan bisa jadi konflik ini menjadi lebih besar. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah mengeluarkan penelitian, indikator yang bisa digunakan adalah indeks pembangunan manusia (IPM) dan kemampuan anggaran setiap daerah. Nah , ada wacana juga mengukur tentang kedewasaan demokrasi masyarakat di suatu daerah.

Jika mengacu di atas, artinya Indonesia telah melakukan konsep pilkada asimetris. Dua daerah seperti Provinsi DIY dan Pemprov DKI Jakarta juga tidak menggunakan pilkada langsung sepenuhnya. Gubernur DIY dipilih berdasarkan faktor budaya atau kultural. Sedangkan Pemprov DKI Jakarta, wali kota dan bupatinya di wilayah tersebut dipilih oleh gubernur dan DPRD karena persoalan wilayah khusus. Satu lagi daerah, yaitu Provinsi NAD, yang melibatkan parpol lokal. Artinya, pilkada asimetris bukanlah hal yang baru di Indonesia.

Selain persoalan mengenalkan atau menyosialisasikan istilah asimetris, pemerintah juga harus benar-benar memperhatikan tentang parameter atau indikator seperti apa yang menentukan pilkada langsung atau tidak. Butuh waktu yang lama untuk bisa mengomunikasikan ini dengan baik. Apakah pilkada asimetris ini akan bisa dilaksanakan pada Pilkada 2020 tampaknya sulit. Pada Februari dan Maret 2020 nanti sudah mulai tahapan Pilkada 2020.

Hanya ada waktu efektif dua bulan untuk tidak hanya mengomunikasikan konsep pilkada asimetris ini, tapi juga harus mengubah undang-undang. Namun, upaya pemerintah mengeluarkan konsep pilkada asimetris perlu diapresiasi karena bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan efek dari pilkada langsung.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0726 seconds (0.1#10.140)