Pengamat: Pilkada DPRD kalau Enggak Konfliktual, Ya Kolutif

Senin, 16 Desember 2019 - 12:11 WIB
Pengamat: Pilkada DPRD...
Pengamat: Pilkada DPRD kalau Enggak Konfliktual, Ya Kolutif
A A A
JAKARTA - Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali ke sistem perwakilan terus mendapat sorotan. Risiko pemilihan kepala daerah melalui sistem perwakilan tak kalah tinggi dibandingkan pilkada langsung. Wacana pilkada melalui sistem perwakilan mencuat setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengusulkan evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada langsung.

Mantan Kapolri tersebut menilai pilkada langsung banyak memberikan dampak negatif atas maraknya perilaku koruptif di Tanah Air. Besarnya biaya politik yang harus ditanggung oleh calon kepala daerah mendorong mereka untuk melakukan tindakan koruptif untuk mengembalikan modal saat mereka menjabat. Selain itu, pilkada langsung juga memberikan risiko keamanan atas tingginya potensi konflik antara sesama pendukung maupun antara masyarakat dan aparat keamanan.

Kendati demikian, sebagian kalangan menilai pilkada melalu sistem perwakilan juga banyak risikonya. “Evaluasi pilkada. Dan, adanya masukan pilkada melalui DPRD itu membuat memori publik teringat antara tahun 1999-2004. Betapa kepala daerah itu sangat mudah dijatuhkan. Karena kepala daerah pilihan dari DPRD,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng dalam Refleksi Otonomi 2019 dan Arah Perbaikan ke Depan di Bakoel Koffie Cikini kemarin.

Dia mengatakan, hubungan antara DPRD dan kepala daerah adalah mandat dan akuntabilitas. DPRD sebagai pemberi mandat sudah sewajarnya dimintai akuntabilitasnya sehingga dapat dipastikan kepala daerah akan sangat bergantung kepada DPRD.

“Instabilitas daerah penurunan luar biasa. Kepala, kalau dia tidak diganggu, ya dia akan jatuh. Hanya ada dua model hubungan waktu itu, satu adalah model yang sifatnya konfliktual. Konflik terus. Atau, model hubungan kolutif. Kelihatan damai, tenang, tapi sesungguhnya terjadi kolusi. Kita tidak mau dua model itu terjadi lagi karena kembali ke pilihan DPRD,” jelasnya.

Padahal, dalam demokrasi adalah rakyat harus didengar. Rakyat didengar saat memilih pejabat publik dan membuat kebijakan publik. “Hanya dua itu. Nah, kalau kemudian duanya itu dihilangkan, terus rakyatnya di mana,” ucapnya. Lebih lanjut dia mengakui pilkada langsung memang harus dibenahi. Namun, prinsip demokrasi harus dipegang. Sebelumnya Istana menegaskan bahwa tidak akan mengubah sistem pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pilkada akan tetap menggunakan mekanisme pemilihan langsung. “Presiden Jokowi mengatakan pilkada provinsi/kabupaten/kota tetap melalui mekanisme pemilihan langsung,” kata Jubir Presiden Fadroel Rachman. Dia mengatakan, pilkada langsung merupakan cermin kedaulatan rakyat dan demokrasi. “Dan, sejalan dengan cita-cita Reformasi 1998. Yang akan dievaluasi hanya teknis penyelenggaraan,” ungkapnya.

DKPP Berhentikan 144 Penyelenggara Terkait Pemilu 2019


Sementara itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima 1.027 laporan dan telah memberhentikan 144 penyelenggaraan pemilu secara nasional pada penyelenggaraan Pemilu 2019. Hal ini disampaikan Anggota DKPP Ida Budhiati dalam Laporan Kinerja DKPP Tahun 2019 di Hotel Mercure Convention Centre Ancol, Jakarta, akhir pekan kemarin.

“Tahun 2018 kami menerima 521 aduan dan tahun 2019 kami menerima 509 aduan yang berkaitan dengan Pemilu 2019,” kata Ida di hadapan ratusan Tim Pemeriksa Daerah (TPD) dari 34 provinsi. Dari semua perkara itu, Ida melanjutkan, terdapat 650 laporan atau sekitar 63,3% dari jumlah aduan terkait Pemilu 2019 yang layak disidangkan dan melibatkan 2.455 penyelenggara pemilu sebagai teradu.

Terbagi atas 319 laporan pada 2018 dan 331 laporan untuk 2019. Dari 650 laporan yang disidangkan, sebanyak 574 perkara telah diputus dan 74 perkara masih dalam proses sidang. “Setelah diperiksa, ternyata lebih banyak yang terbukti melanggar, dibanding yang direhabilitasi,” ungkap Ida.

Ida menguraikan, sebanyak 52,3% atau 1.170 penyelenggara yang direhabilitasi dengan rincian 632 penyelenggara di 2018 dan 387 penyelenggara di 2019. Sementara yang disanksi adalah 47,7% atau 1.215 orang. Dengan rincian, 1.019 orang mendapatkan sanksi peringatan; 33 orang mendapatkan sanksi pemberhentian dari jabatan; 21 orang diputus perkaranya pada 2018; dan 12 orang pada 2019.

“Menurut data, penyelenggara yang diberhentikan sementara mencapai 19 orang atau 0,8%. Jumlah penyelenggara diberhentikan tetap ada 144 orang dengan angka 5,9%. Untuk pemberhentian sementara, 16 orang pada 2018 dan tiga orang pada tahun ini. Sedangkan untuk kategori pemberhentian tetap, 101 dikenakan sanksi pada 2018 dan 43 penyelenggara pada 2019,” paparnya.

Dengan demikian, Ida menambahkan, dari semua perkara kode etik penyelenggara pemilu pada Pemilu 2019, sebanyak 70 perkara atau 2,8% dihasilkan keputusan, yang terbagi pada 40 keputusan pada 2018 dan 30 keputusan pada 2019. Sepanjang 2019 terhitung sejak Januari hingga 10 Desember 2019, DKPP telah menangani 331 perkara yang melibatkan 1.123 penyelenggara pemilu sebagai teradu atau terlapor.

Dari situ, sebanyak 255 perkara sudah diputus. “Sebanyak 648 penyelenggara dipulihkan nama baik atau rehabilitasi. Lalu, 387 penyelenggara mendapat sanksi peringatan dan tiga penyelenggara dikenakan sanksi pemberhentian sementara. 12 penyelenggara dikenakan sanksi pemberhentian dari jabatan dan 43 penyelenggara diberhentikan tetap,” jelas Ida. Adapun 30 perkara sisanya diberikan ketetapan karena dicabut aduannya sebelum sidang pemeriksaan dilaksanakan.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1145 seconds (0.1#10.140)