Sidang Perdana Uji Materil UU KPK, Ini Alasan Pemohon
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana judicial review (JR) atau uji materil terkait Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
(Baca juga: Ditanya Soal Perppu, Jokowi Ingin Lihat Pelaksanaan UU KPK yang Baru)
JR itu diajukan oleh pemohon yang diantaranya adalah pimpinan KPK, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang. Kuasa hukum pemohon Feri Amsari menjelaskan mengapa pihaknya mengajukan (JR), karena beberapa alasan.
Misal, pengesahan UU dalam rapat paripurna jumlah anggota yang hadir tak sesuai dengan perundang-undangan. "Karena berdasarkan UU 12 tahun 2011 terdapat sedikit azas pembentukan peraturan perundang-undangan," ujar Feri di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
"Dimana prosedur dan pembentukan UU itu ditentukan UU 12. Satu hal menarik dalam pembentukan UU 19 Tahun 2019 ini adalah tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna mengenai UU ini," sambungnya.
Feri menyebut, berdasarkan catatan yang dimiliki pihaknya tercatat 180 anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya. Sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum sebesar 287 hingga 289 anggota dianggap hadir dalam persidangan paripurna itu.
"Kalau diperhatikan ketentuan Tatib DPR bahwa ditentukan ada kata 'Dihadiri' Itu juga termasuk dalam ketentuan UU 12 tahun 2011, bahwa kata 'Dihadiri' itu artinya harus dihadiri secara fisik kalau tidak, berarti tak bisa dikatakan dihadiri," jelas dia.
"Oleh karena itu, kami merasa tindakan anggota DPR membiarkan titip absen itu merusak segala prosedural pembentukan perundang-undangan, sehingga aspirasi publik yang semestinya terwakili dari kehadiran mereka, menjadi terabaikan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi pernah dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif," tambahnya.
Tak hanya itu, Feri juga menyoroti surat presiden (supres) yang dimana dalam melakukan revisi UU KPK, DPR hanya melibatkan pihak pemerintah, namun sebagai pihak yang menjadi bagian pembahasan justru tak dilibatkan.
"Tetapi pemerintah melalui surat presiden itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menpan RB. Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung, sebagaimana ditentukan dalam UU 12 tahun 2011 pihak berkaitan langsung dapat menjadi bagian untuk pembahasan sebuah rancangan undang-undang," ungkapnya.
Feri pun meyakini, hakim MK bakal menerima legal standing atau kedudukan hukum pihaknya. Sebab, diantaranya adalah tiga pimpinan KPK yang kemudian menjadi bagian dalam prinsipal dalam permohonan ini.
"Kami anggap mempunyai legal standing yang tepat dalam mengajukan permohonan ini, terutama diantara mereka ada 3 pimpinan KPK yang kemudian menjadi bagian dalam prinsipal dalam permohonan ini," jelasnya.
Oleh sebab itu, lanjut Feri, pengajuan formil judicial review ini diharapkan MK dapat memutuskan, dalam provisi menyatakan menunda keberlakuan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ataupun dalam pokok permohonan mahkamah menjatuhkan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
"Kedua menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat. Ketiga menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum. Serta memerintahkan amar putusan Majelis MK untuk dimuat dalam berita negara atau majelis hakim MK mempunyai pendapat lain, kami memohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono," tuturnya.
(Baca juga: Ditanya Soal Perppu, Jokowi Ingin Lihat Pelaksanaan UU KPK yang Baru)
JR itu diajukan oleh pemohon yang diantaranya adalah pimpinan KPK, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang. Kuasa hukum pemohon Feri Amsari menjelaskan mengapa pihaknya mengajukan (JR), karena beberapa alasan.
Misal, pengesahan UU dalam rapat paripurna jumlah anggota yang hadir tak sesuai dengan perundang-undangan. "Karena berdasarkan UU 12 tahun 2011 terdapat sedikit azas pembentukan peraturan perundang-undangan," ujar Feri di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
"Dimana prosedur dan pembentukan UU itu ditentukan UU 12. Satu hal menarik dalam pembentukan UU 19 Tahun 2019 ini adalah tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna mengenai UU ini," sambungnya.
Feri menyebut, berdasarkan catatan yang dimiliki pihaknya tercatat 180 anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya. Sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum sebesar 287 hingga 289 anggota dianggap hadir dalam persidangan paripurna itu.
"Kalau diperhatikan ketentuan Tatib DPR bahwa ditentukan ada kata 'Dihadiri' Itu juga termasuk dalam ketentuan UU 12 tahun 2011, bahwa kata 'Dihadiri' itu artinya harus dihadiri secara fisik kalau tidak, berarti tak bisa dikatakan dihadiri," jelas dia.
"Oleh karena itu, kami merasa tindakan anggota DPR membiarkan titip absen itu merusak segala prosedural pembentukan perundang-undangan, sehingga aspirasi publik yang semestinya terwakili dari kehadiran mereka, menjadi terabaikan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi pernah dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif," tambahnya.
Tak hanya itu, Feri juga menyoroti surat presiden (supres) yang dimana dalam melakukan revisi UU KPK, DPR hanya melibatkan pihak pemerintah, namun sebagai pihak yang menjadi bagian pembahasan justru tak dilibatkan.
"Tetapi pemerintah melalui surat presiden itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menpan RB. Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung, sebagaimana ditentukan dalam UU 12 tahun 2011 pihak berkaitan langsung dapat menjadi bagian untuk pembahasan sebuah rancangan undang-undang," ungkapnya.
Feri pun meyakini, hakim MK bakal menerima legal standing atau kedudukan hukum pihaknya. Sebab, diantaranya adalah tiga pimpinan KPK yang kemudian menjadi bagian dalam prinsipal dalam permohonan ini.
"Kami anggap mempunyai legal standing yang tepat dalam mengajukan permohonan ini, terutama diantara mereka ada 3 pimpinan KPK yang kemudian menjadi bagian dalam prinsipal dalam permohonan ini," jelasnya.
Oleh sebab itu, lanjut Feri, pengajuan formil judicial review ini diharapkan MK dapat memutuskan, dalam provisi menyatakan menunda keberlakuan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ataupun dalam pokok permohonan mahkamah menjatuhkan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
"Kedua menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat. Ketiga menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum. Serta memerintahkan amar putusan Majelis MK untuk dimuat dalam berita negara atau majelis hakim MK mempunyai pendapat lain, kami memohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono," tuturnya.
(maf)