Uji Materi UU KPK, Pengamat Pertanyakan Dua Sikap Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad memandang praktik ketatanegaraan dalam revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak lazim, bahkan ironi.
Hal itu dikatakan Suparji merespons pernyataan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan saat menjadi saksi ahli sidang uji materi atau justicial review UU KPK. Bagir menganggap anomali UU KPK karena tak ditandatangi Presiden Jokowi, sehingga otomatis 30 hari sah berlaku.
Menurut Suparji, Presiden sebagai pelaksana UU yang secara konstitusional ikut membahas UU pada kenyataannya tidak menandatangani, tetapi melaksanakan.
"Ada persimpangan politicall will (kesungguhan politik )," kata Suparji kepada SINDOnews, Kamis (25/6/2020). ( )
Menurut Suparji, sikap pemerintah pada satu sisi membahas yang berarti juga menyetujui bahkan mendorong untuk disahkan, tetapi pada sisi lain ada politicall will menghambat atau dengan kata lain tidak menyetujui yang dibuktikan tidak ada tanda tangan RUU tersebut.
"Namun ketidaksetujuan itu tidak menghambat dari keinginan untuk adanya revisi karena 'ditolong' konstitusi karena 30 hari setelah disahkan di DPR otomatis berlaku," ujarnya.
Menurut dia, praktik seperti ini menjadi preseden yang tidak baik dalam proses penyusunan UU ke depan. Pemerintah dianggap tidak memiliki kesungguhan karena tidak menunjukkan kepastian hukum.
"Setelah ikut membahas, kemudian ada penolakan masyarakat terus tidak tanda tangan, tetapi kemudian berlaku. Ironi lain juga terjadi kalau penolakan masyarakat mengapa tidak seperti KUHP yang akhirnya ditunda pengesahannya," tuturnya.
Lihat Juga: Gubernur Bengkulu Jadi Tersangka Jelang Pencoblosan, KPK Klaim Tak Ada Kepentingan Politik
Hal itu dikatakan Suparji merespons pernyataan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan saat menjadi saksi ahli sidang uji materi atau justicial review UU KPK. Bagir menganggap anomali UU KPK karena tak ditandatangi Presiden Jokowi, sehingga otomatis 30 hari sah berlaku.
Menurut Suparji, Presiden sebagai pelaksana UU yang secara konstitusional ikut membahas UU pada kenyataannya tidak menandatangani, tetapi melaksanakan.
"Ada persimpangan politicall will (kesungguhan politik )," kata Suparji kepada SINDOnews, Kamis (25/6/2020). ( )
Menurut Suparji, sikap pemerintah pada satu sisi membahas yang berarti juga menyetujui bahkan mendorong untuk disahkan, tetapi pada sisi lain ada politicall will menghambat atau dengan kata lain tidak menyetujui yang dibuktikan tidak ada tanda tangan RUU tersebut.
"Namun ketidaksetujuan itu tidak menghambat dari keinginan untuk adanya revisi karena 'ditolong' konstitusi karena 30 hari setelah disahkan di DPR otomatis berlaku," ujarnya.
Menurut dia, praktik seperti ini menjadi preseden yang tidak baik dalam proses penyusunan UU ke depan. Pemerintah dianggap tidak memiliki kesungguhan karena tidak menunjukkan kepastian hukum.
"Setelah ikut membahas, kemudian ada penolakan masyarakat terus tidak tanda tangan, tetapi kemudian berlaku. Ironi lain juga terjadi kalau penolakan masyarakat mengapa tidak seperti KUHP yang akhirnya ditunda pengesahannya," tuturnya.
Lihat Juga: Gubernur Bengkulu Jadi Tersangka Jelang Pencoblosan, KPK Klaim Tak Ada Kepentingan Politik
(dam)