RUU PDP Harus Antisipasi Penyelewengan Data Pribadi untuk Bisnis

Kamis, 05 Desember 2019 - 13:23 WIB
RUU PDP Harus Antisipasi...
RUU PDP Harus Antisipasi Penyelewengan Data Pribadi untuk Bisnis
A A A
JAKARTA - RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang sedang digodog oleh pemerintah melalui Kemenkominfo harus dicermati secara mendalam agar tidak terjadi penyelewenangan terhadap data pribadi.

Komisioner Komisi Informasi (KI) DKI Jakarta, Mohammad Dawam mengatakan pengamatan tentang perlindungan data pribadi yang berkembang di dalam negeri dan luar negeri, seperti di APEC, termasuk Amerika dan Singapura, maupun negara-negara yang sedang menyusun UU sejenis selalu mewaspadai penyelewengan data.

“Saya melihat, PDP ke depan akan diperhadapkan pada persoalan bisnis data, yakni ekonomi digital. Oleh karenanya Indonesia harus memperkuat muatan dan praktik rumpun penerapan UU Perdagangan berikut teknologi terapan yang super canggih agar data pribadi penduduk Indonesia tetap bisa terkontrol dengan baik oleh pemerintah sekaligus menghindari banyak hal perilaku penyelewengan data yang banyak modusnya,” ujarnya kepada SINDOnews, Kamis (5/12/2019).

Untuk itu, kata Dawam, karena masuk dalam ekonomi digital maka sering dimasukkan dalam rumpun perdagangan, seperti Amerika Serikat memasukkan hal ini di Kementerian Perdagangan, bukan Kominfo sebagaimana di Indonesia. Dirinya melihat, Indonesia memiliki ciri khas yang unik sekaligus berpotensi penerapan PDP bisa saja beda dengan negara lain secara filosofis. (Baca juga: Perlindungan Data Pribadi Masih Lemah )

"Hemat saya, RUU PDP sebaiknya tidak hanya diarahkan pada tujuan mempermudah proses perkembangan ekonomi digital semata. Sebab apa? Kita punya konstitusi yang pada dasarnya termaktub dalam Pasal 28 F, G, H, I, J dan Pasal 33 UUD NKRI 1945,” jelasnya.

Dia memaparkan prinsip dasar UUD 1945 mengamanatkan arah perlindungan data adalah untuk Ketahanan Nasional. Artinya, data dalam perumusan RUU PDP harus dikembalikan pada fungsi dasar Pertahanan Negara, bukan sekadar orientasi bisnis.

Oleh sebab itu, lanjut Dawam, dasar hukum pembuatan RUU PDP harus disesuaikan konstruksi filosofi bernegara yakni pertahanan negara, dan oleh karenanya perlu memasukkan rumpun UU terkait Hankam (Pertahanan dan Keamanan), semisal UU Teroris, UU Adminduk, UU apapun terkait Pertahanan Negara, misal UU Intelijen.

"Bahkan ada 32 UU terkait Data Pribadi, dan tentu tidak mudah mensinkronisasikan dalam praktiknya secara berimbang atas berbagai kepentingan, seperti konsumen, pengelola data dan pemerintah," katanya.

Menurutnya, seperti yang dipaparkan narasumber dari US Departement of Commerce Michael Rose berapa waktu lalu bahwa bagaimana data pribadi ini berjalan harmonis dengan platform yang ada yakni melindungi data pribadi konsumen baik dari sisi pemerintah, ekonomis maupun nasabah dan lain lain. Sebab big data adalah sumber daya baru dan berbeda dengan bahan bakar minyak sebagai energi yang akan habis. Bagaimana cara menfasilitasi pertukaran data agar tetap terproteksi. (Baca juga: Marak Pelanggaran, Kehadiran UU Perlindungan Data Pribadi Dinilai mendesak )

Disampaikannya, bahwa prinsip yang sama juga disampaikan narasumber dari APEC-Singapore, Huey Tan bahwa pihak yang mendapat mandat kelola data harus ada kepastian untuk data tersebut digunakan. Ini penting untuk menghindari penyalahgunaan data, bila dicermati dari regulasi di Indoesia sedikitnya bisa didapati bahwa data itu setidaknya ada tiga jenis.

"Pertama, data terbuka yakni informasi publik terbuka sebagaimana disebut dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)," terangnya.

Kedua, data dikecualikan juga disebut dalam UU KIP. Ketiga, data pribadi dimana negara wajib melindunginya sebagaimana disebut dalam UU Administrasi Data Kependudukan. "Tentu bila dibedah dari 32 UU terkait Data Pribadi bisa saja makin banyak," ucapnya.

Dijelaskannya, bahwa varian tentang data pribadi pertama dan kedua adalah lebih cenderung penerapan sanksinya dengan hukum "pidana" sosial. Sedang ketiga, sanksi yang menyalahgunakan data pribadi tentu bukan hanya sanksi pidana sosial, namun pidana murni yang juga perlu dirumuskan dalam RUU KUHP yang sedang digodog di DPR.

"Sebab bisnis data ini sudah melewati lintas negara, maka perlu pasal peralihan di UU PDP agar memasukkan sistem Omnibus Law, mengingat banyaknya UU terkait masalah ini sebagai payung hukum kejahatan pidana data antar negara maupun penyalahgunaan pihak tertentu untuk tujuan tertentu yang berbeda dengan filosofi bernegara bahwa data sebagai kekuatan pertahanan negara," tandasnya

Terakhir, Dawam menyampaikan bahwa Indonesia bersama negara lain perlu membuat keseragaman, kepastian maupun kesepakatan hukum terkait data ini dengan harapan posisi Indonesia bisa sejajar dengan negara-bangsa lainnya yakni duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ditambahkannya, RUU PDP yang ujungnya menjadi UU kalau memang arahnya ke situ hendaknya didesain untuk keamanan bagi tiga pihak. (Baca juga: Menkominfo Ingin RUU Perlindungan Data Pribadi Rampung 2020 )

"Pertama keamanan pemilik data, kedua keamanan konsumen data, ketiga keamanan negara kita. Dan jika pemerintah menunjuk pihak swasta untuk mengelola, hendaknya juga dipikirkan mekanisme dan aturan yang pasti, tegas dan jelas sekaligus juga mengindahkan kaidah hukum yang berlaku dan tentunya menganut asas akuntabilitas, partisipatif dan transparan sebagaimana ruh UU KIP dibuat dan dijalankan semua pihak," tutupnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1545 seconds (0.1#10.140)