Tantangan Demokrasi dalam Proteksionisme

Rabu, 04 Desember 2019 - 06:53 WIB
Tantangan Demokrasi dalam Proteksionisme
Tantangan Demokrasi dalam Proteksionisme
A A A
Dinna Wisnu PhD
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu

BALI Democracy Forum (BDF) yang akan dimulai besok bertepatan dengan fenomena merebaknya pembangkangan masyarakat sipil di beberapa negara. Masyarakat sipil dari Spanyol, Iran, Prancis, Bolivia, Chili, Kolombia, hingga Hong Kong tengah bergerak menuntut perubahan dengan tuntutan mereka masing-masing. Ada yang menuntut kemerdekaan, penolakan kenaikan tiket kereta api bawah tanah, hingga penolakan sebuah undang-undang.

Tanggapan negara dalam menghadapi gerakan perubahan secara umum sangatlah represif. Gerakan Jaket Kuning di Prancis yang sudah terjadi selama setahun telah mengakibatkan 315 orang terluka di kepala, 25 telah kehilangan mata, 5 orang kehilangan satu tangan; dan seorang wanita meninggal karena luka-luka yang disebabkan oleh granat gas air mata (foreingpolicy.com, 2019).Di Iran, Amnesty International mengatakan 106 orang meninggal sejak protes kenaikan BBM terjadi, sementara pemerintah mengatakan korban hanya beberapa orang. Sementara di Hong Kong, banyak korban jatuh akibat bentrokan masyarakat sipil antara mereka yang menuntut pencabutan UU Ekstradisi dan warga yang tidak ingin ikut arus gerakan tersebut.
Fenomena protes ini secara kualitatif berbeda dengan aksi-aksi protes sebelumnya. Aksi protes ini terjadi di tengah situasi ekonomi yang sedang mengalami pelambatan. Pelambatan membuat pilihan yang tersedia bagi pemerintah juga terbatas.

Sebagian besar negara-negara percaya bahwa jalan keluar untuk mengatasi pelambatan itu adalah dengan mengundang sebanyak-banyaknya investasi agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Negara-negara saling bersaing untuk meliberalisasi segala peraturan yang dipandang menghambat investasi.

Persaingan ini yang cenderung mengabaikan partisipasi rakyat. Partisipasi rakyat sangat majemuk karena ada warga yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan liberalisasi tersebut. Negara menghadapi dilema karena di satu sisi harus bergerak cepat agar dapat menghasilkan sebuah perubahan yang dampaknya dapat dirasakan secara kasatmata, tetapi di sisi lain juga harus mendengarkan keluhan masyarakat agar pembangunan yang dilaksanakan memiliki legitimasi secara politik dari rakyat.

Situasi hari ini sebetulnya juga telah diramalkan dalam diskusi BDF 2018. Tahun lalu diskusi berangkat dari perkembangan tren populisme dan penggunaan identitas politik yang menyulitkan demokrasi di sejumlah tempat. Politik populis di beberapa negara tumbuh karena kebijakan sosial negara yang lebih mengutamakan akumulasi modal sehingga menguntungkan sedikit orang dan mengorbankan yang lebih banyak.

Kejadiannya bukan hanya di negara berkembang; bahkan di Eropa yang sudah serbamaju pun merasakan tantangan tersebut. Kebijakan fiskal yang terpusat dan sangat ketat yang diterapkan Uni Eropa kepada negara-negara anggotanya telah menyebabkan pemotongan pelayanan publik yang berdampak langsung kepada masyarakat.

Protes atau penolakan warga yang diungkapkan secara terbuka atau tertutup menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya partai-partai politik yang tidak segan menggunakan perbedaan suku, agama, dan ras sebagai landasan perjuangan mereka.

BDF tahun lalu telah membahas kecenderungan menurunnya praktik-praktik demokrasi ini. Misalnya, kebebasan berpendapat di dalam era media sosial yang tidak lagi memandang media sebagai sarana untuk menyajikan fakta, tetapi lebih mengedepankan opini.Repotnya kemudian opini belaka sangat mudah diarahkan untuk menyebarkan kebohongan dan kebencian. Institusi-institusi demokrasi seperti parlemen, organisasi masyarakat, atau partai politik justru disalahgunakan untuk menyebar pandangan antidemokrasi yang akan mendukung demokrasi yang tidak liberal.
Dalam demokrasi yang tidak liberal, keberagaman pandangan dan kelompok mungkin ada, tetapi masing-masing menahan diri untuk mengekspresikan pendapatnya karena konsekuensinya akan buruk bila melawan partai berkuasa.

Dalam situasi seperti ini, barulah tampak bahwa negara-negara demokrasi dunia sebenarnya mengarah pada pengabaian multilateralisme. Mereka yang dulunya percaya bahwa kerja sama multilateralisme, yakni kerja sama antarnegara yang disampaikan secara terbuka dalam forum-forum besar lintas negara demi menjaga prinsip transparansi dan kesetaraan, adalah kunci kesejahteraan yang lebih baik di tingkat global, kini melihat bahwa perekonomian negara mereka tidak lagi kompetitif bila terus mengedepankan cara-cara multilateralisme.

Kita saksikan bahwa negara-negara Eropa kini menembus pasar-pasar Eropa tidak hanya lewat mekanisme Uni Eropa, tetapi juga secara bilateral (antardua negara). Demikian pula Amerika Serikat kini mengutamakan mekanisme bilateral untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan terbaik dari negara-negara Asia ketika bersaing dengan China.

Ketika multilateralisme ditinggalkan, titik negosiasi antarnegara menjadi lebih sempit dan pragmatis. Kepala pemerintahan, kepala negara, bahkan politisi dan pejabat negara yang didekati langsung oleh wakil-wakil atau utusan negara lain akan kesulitan mengetahui status tawaran yang diterimanya; apakah baik atau buruk tidak ada pembandingnya karena ketika pendekatannya bilateral, maka transparansi negosiasi akan terkompromi.

Korban yang pertama terkena dampaknya adalah kelompok-kelompok yang rentan seperti perempuan, anak-anak, masyarakat miskin, masyarakat pesisir, kelompok imigran, kelompok minoritas suku, ras, dan agama, kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda, nelayan, buruh, dan sebagainya. Dalam sistem kapitalisme, mereka yang dianggap sebagai beban karena faktor pembiayaan yang ekstra ketika melibatkan mereka dalam perekonomian akan ditinggalkan.

Tantangan ini yang menjadikan Bali Democracy Forum Ke-12 pada 2019 dengan tema “Democracy and Inclusivity” menjadi sangat relevan sebagai wadah untuk bertukar pikiran dan melanjutkan apa yang telah didiskusikan pada tahun lalu. Ada harapan dari Pemerintah Indonesia bahwa perkembangan yang kurang baik bagi demokrasi justru memacu kerja sama lebih dekat antara negara-negara demokrasi.

Saya pribadi berharap dialog yang berkembang di Bali dapat mengarah pada terobosan baru antarkelompok masyarakat sipil dan media massa untuk tidak menunggu inisiatif dari pemerintah, tetapi mengembangkan program-program kerja sama yang mempersempit kemungkinan demokrasi memarginalkan warga-warganya yang dianggap kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2401 seconds (0.1#10.140)