Memperkuat Kembali Imaji Kebangsaan

Jum'at, 29 November 2019 - 08:50 WIB
Memperkuat Kembali Imaji...
Memperkuat Kembali Imaji Kebangsaan
A A A
Asrudin Azwar

Peneliti The Asrudian Center



DALAM sebuah wawancara denganBuild Seriesdi Amerika Serikat beberapa waktu lalu (22/11/2019), Agnez Mo mengungkap hal yang memancing kehebohan jagat maya dalam negeri. Hal ini bermula saat Kevan Kenney yang memandu wawancara membahas wawancara yang dijalani oleh Agnez sebelumnya. Ia mengatakan wawancara tersebut membuka matanya bahwa Indonesia adalah tempat yang memiliki keragaman yang tinggi.

Agnez Mo lantas menjawab bahwa masyarakat Indonesia yang begitu majemuk memang telah membentuk diri dan memengaruhi karyanya. Agnez mencontohkan bahwa ia tumbuh dengan musik tradisional sekaligus bernyanyi di gereja. Ini, katanya, menjadi bagian dari dirinya. Baginya, hal itu bukan sekadar representasi budaya, melainkan juga budaya yang sifatnya inklusif.

Meski begitu, Agnez menegaskan bahwa ia sebenarnya tidak memiliki darah Indonesia atau semacamnya. Ia [berdarah] Jerman, Jepang, Tionghoa, dan ia hanya lahir di Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa sejak dulu ia memang merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Ia beragama Kristen dan di Indonesia mayoritas adalah muslim. Meski Agnez mengaku orang di Indonesia menerima ia apa adanya, tapi ia merasa dirinya tidak seperti orang lainnya.

Jika kita melihatnya secara sambil lalu, apa yang diucapkan oleh Agnez ini seakan dirinya tak lagi memiliki apa yang diistilahkan oleh Benedict Anderson sebagai imaji kebangsaan.Padahal, ia lahir di Indonesia dan berwarga negara Indonesia. Di sini saya tidak akan membuat penilaian yang sifatnya mempersoalkan apalagi menghakimi mengapa Agnez berlaku demikian, namun lebih kepada membuat telaah atas imaji kebangsaan itu sendiri dan bagaimana memperkuat imaji tersebut agar fondasi rasa kebangsaan dari individu/kelompok tetap bisa kokoh.

Kebangsaan

Siapa pun boleh saja menilai apa yang dikatakan Agnez di atas merupakan bagian dari hilangnya imaji kebangsaan. Namun, pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan imaji kebangsaan itu sendiri?

Ilmuwan politik Walker Connor (1994) mengatakan bahwa esensi suatu bangsa memang tidak dapat diraba sebab hal itu sangat bergantung pada ikatan psikologis yang menyatukan orang dan membedakannya. Ikatan psikologis yang disebut Connor itu terkait dengan bagaimana memahami bangsa dan semangat kebangsaan (nasionalisme). Bangsa menurutnya lahir dan ada dalam pikiran orang dan menjadi ciri objektif politik global hanya setelah orang-orang itu percaya kepada keberadaan bangsa tersebut. Tidak seperti pegunungan atau lautan, bangsa diciptakan oleh orang yang percaya bahwa mereka punya nasib yang sama dengan orang lain seperti diri mereka sendiri.

Itu artinya bangsa terbentuk bukan karena ia ada dengan sendirinya (realitas yanggiven). Tapi, ada karena sesuatu yang mengonstruksinya (imajinasi). Komunitas imajiner. Jika merujuk pada paradigma konstruktivisme sosial, maka pandangan komunitaslah yang menciptakan realitas (bangsa), melalui imajinasinya. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivisme, realitas (bangsa) dimaknai sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh kumpulan individu (komunitas/masyarakat). Inilah yang mendasari pemikiran Ben Anderson soal bangsa dan rasa kebangsaan di dalam bukunya yang fenomenal,Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism(1983).

Dalam karyanya itu, Ben mengartikan bangsa (nation) sebagai komunitas politik terbayang –imagined political community. Ia dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas (limited) secara inheren karena pasti ada batas-batas teritorial dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya; berdaulat (sovereign) karena para pembayangnya menganggap perlu ada perlindungan; dan akhirnya ia dibayangkan sebagai komunitas (community) karena para anggotanya merasa memiliki rasa persaudaraan antarmereka.

Pendekatan Ben ini memfokuskan pada prosescollective imagination, di mana anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun, kenyataannya, di benak setiap orang yang menjadi anggota itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.

Cara pandang Ben itu yang diistilahkan oleh Daniel Dhakidae sebagaianthropological in nature. Dalam pengantarnya di buku Ben, Dhakidae menjelaskan bahwa sebuah proses pembayangan komunitas yang pada mulanya bersifat antropologis (kebudayaan) kemudian menjadi komunitas yang bersifat politis (kekuasaan). Semuanya menjadipolitical, ketika dalam konsep antropologis diembuskan konsep lain, yaitu “sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka” yang pada saat yang sama komunitas antropologis itu kemudian berubah menjadi sesuatu yang terbayang berada dalam bangunan bayang-bayang citra sebagai komunitas politik dan lalu ingin menyatukan semua yang berada dalam batas-batas kesamaan itu.

Kebersatuan

Merujuk pada ulasan Connor dan Ben di atas, maka dapat dikatakan bahwa syarat bagi terciptanya imaji kebangsaan itu adalah kehendak dari rakyat untuk bersatu. Namun, hemat saya itu saja tidaklah cukup. Karena ada syarat yang mesti dipenuhi masyarakat terlebih dulu agar kebersatuan bisa diciptakan. Kalau menyitir Bung Karno, syarat bagi ada imaji kebangsaan itu jika bangsa ini memiliki ideologi yang bisa merekatkan. Dalam pidatonya di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1 Juni 1945 Bung Karno meyakini bahwa dengan ideologi Pancasilalah bangsa Indonesia akan bisa bersatu.

Untuk itu, ketika Bung Karno menyusun Indonesia Merdeka, ia mendasarkan pada prinsip Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu cara moderat untuk menyatukan realitas bangsa Indonesia yang heterogen. Karena, dengan prinsip Ketuhanan, bangsa Indonesia akan saling menghormati satu sama lain meski memiliki suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda.

Prinsip itu, kata Bung Karno, sudah sesuai denganvalueyang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW denganverdraagzaamheid-nya (untuk menghormati agama-agama lain). Nabi Isa pun, kata Bung Karno, juga memiliki nilai yang sama. Karena itu, Bung Karno menyarankan agar bangsa bersatu dalam Indonesia yang merdeka, harus sesuai dengan prinsip Ketuhanan dalam arti yang berkebudayaan, yang berbudi pekerti luhur, dan yang menghormati satu sama lain. Jika prinsip-prinsip itu terus diperkuat, Indonesia akan menjadi tempat yang sebaik-baiknya: sejuk, aman, dan damai sejahtera.

Dalam kaitan itu, maka apa yang dikatakan Agnez tentang ia merasa ada yang berbeda dengan dirinya karena faktor keagamaan, sebaiknya dijadikanalarmbagi bangsa ini karena prinsipverdraagzaamheidsebagaimana yang tertuang dalam sila Ketuhanan Pancasila sudah mulai kehilangan ruhnya.

Untuk itu, upaya untuk memperkuat kembali imaji kebangsaan melalui ideologi Pancasila menjadi sangat urgen dilakukan pemerintah agar kekhawatiran akan ada perasaan yang berbeda dalam kebangsaan karena faktor keagamaan sebagaimana yang dirasakan oleh Agnez tidak menimpa individu-individu lainnya. Caranya bisa dengan menguatkan materi ideologi Pancasila secara lebih mendalam dalam kurikulum pembelajaran, baik dari tingkat dasar hingga ke tingkat perguruan tinggi. Jika ini konsisten dijalankan, ke depan kebersatuan akan menjadi ciri pengikat yang melebur perbedaan dan menyatukan persepsi serta cita-cita universal bangsa ini.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0767 seconds (0.1#10.140)