Masa Jabatan
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BEBERAPA minggu terakhir ini kita mendengar wacana tentang pengubahan masa jabatan presiden. Ada yang mengusulkan tujuh atau enam tahun tetapi hanya satu periode, empat tahun tetapi menjadi tiga periode, lima tahun dalam satu periode tetapi dapat dipilih lagi selama tidak berturut-turut, dan alternatif lainnya.
Alasan utamanya agar presiden yang terpilih dapat menjalankan program pembangunan secara tuntas. Apabila dibalik logikanya, ada asumsi bahwa program pembangunan presiden selama ini tidak tuntas karena dibatasi oleh periode masa jabatan yang saat ini adalah lima tahun dan hanya boleh dua periode.
Bermacam menu pilihan waktu jabatan untuk presiden yang menjadi wacana adalah juga refleksi dari variasi pengalaman dari negara lain dalam membatasi masa jabatan presiden mereka. Masa jabatan seseorang untuk menjadi pemimpin sebuah negara bergantung pada sistem politik yang berlaku di negara tersebut.
Namun demikian, pembatasan bagi seseorang untuk duduk sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, jauh lebih ketat dalam sistem politik presidensial daripada dalam sistem parlementer. Contoh adalah masa jabatan presiden Korea Selatan yang hanya satu kali dalam lima tahun dan tidak dapat dipilih kembali.
Demikian pula dengan Filipina yang masa jabatan presidennya dibatasi hanya satu periode untuk enam tahun dan tidak dapat dipilih kembali, kecuali ketika menjadi presiden hanya berkuasa kurang dari empat tahun.
Kecenderungan seseorang dapat terus duduk di puncak kekuasaan lebih tinggi di negara-negara dengan sistem politik parlementer. Dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dan kepala negara cenderung dipisah dan di sana perdana menteri sebagai kepala pemerintahan lebih memiliki kekuasaan dalam program pemerintahan dibandingkan kepala negaranya; walaupun ada beberapa negara yang juga memberikan sedikit kekuasaan sebagai penyeimbang terutama dalam hal perubahan konstitusi.
Negara-negara di Eropa seperti di Jerman, Belgia, Denmark, dan Finlandia tidak ada pembatasan masa jabatan perdana menteri. Di Jerman, Kanselir Helmut Kohl berkuasa 16 tahun sebelum akhirnya diambil alih oleh Angela Merkel yang saat ini telah menjabat selama 14 tahun dan masih punya waktu menyelesaikan jabatan hingga 2021. Di Asia, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong telah berkuasa sejak 2004 dan terlama kedua setelah PM Lee Kuan Yew yang berkuasa hingga tiga dekade.
Masa jabatan yang tidak dibatasi oleh waktu itu yang menyebabkan seseorang seperti Shinzo Abe yang saat ini menjadi perdana menteri Jepang dapat mencalonkan diri dan menjadi perdana menteri kembali walau sempat dilengserkan.
Negara-negara di atas dapat menjadi contoh bahwa panjang-pendeknya jabatan presiden atau perdana menteri tidak memengaruhi secara langsung suksesnya pembangunan ekonomi sebuah negara. Filipina yang pendapatan per kapitanya sama-sama sekitar USD211 pada 1972 dengan Korea Selatan, sekarang ketinggalan 100 kali lipat dari Korea Selatan yang sekarang pendapatan per kapitanya telah mencapai USD31.000 pada 2018. Perekonomian Hungaria yang dipimpin oleh PM Victor Orban dan berkuasa lebih dari 10 tahun, juga tidak lebih baik dari Jerman atau negara-negara Eropa lainnya yang lebih kecil.
Oleh sebab itu, wacana pembatasan masa jabatan presiden lebih tepat apabila dikaitkan dengan konsolidasi demokrasi di dalam sebuah negara daripada dikaitkan dengan sukses atau tidaknya pembangunan ekonomi sebuah negara. Indikator umum konsolidasi demokrasi ditandai dengan berjalannya prinsip-prinsip demokrasi seperti supremasi hukum, peradilan yang independen, pemilihan umum yang jujur dan adil, dan masyarakat sipil yang toleran atas kemajemukan, serta penghargaan yang tinggi atas nilai-nilai kemanusiaan.
Sayangnya, konsolidasi demokrasi ini tidak bersifat linear. Semakin bertambah usia suatu negara, belum tentu konsolidasinya semakin matang.
Konsolidasi demokrasi mengalami pasang-surut; ada masa-masa di mana sistem demokrasi yang terbuka dan partisipatif justru membuka peluang bagi kelompok-kelompok antidemokrasi untuk mendesak sistem politik menjadi tidak demokratis.
Hal ini terjadi, misalnya, di negara-negara di benua sub-sahara Afrika seperti Angola, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading (Côte d’Ivoire), Burkina Faso, Burundi, Chad, Rwanda, Kamerun, Nigeria, Malawi. Negara-negara ini pada masa awal-awal kemerdekaan di awal 1970-an mengalami masa pemerintahan otoriter seperti ketika Indonesia di zaman pemerintahan Orde Baru.
Seorang kepala negara dan partai politik tertentu dapat berkuasa berpuluh-puluh tahun dengan cara membungkam oposisi. Perubahan sistem politik terjadi di awal 1990-an karena negara-negara maju tidak lagi mendukung pemimpin otoriter di Afrika dan mendorong terjadinya perubahan sistem politik yang lebih kompetitif dan demokratis. Salah satunya adalah pembatasan masa jabatan presiden yang rata-rata adalah dua periode.
Beberapa kepala negara seperti Burundi, Kamerun, Chad, Sudan, atau Uganda mencoba untuk mengubah masa jabatan tersebut agar mereka berkuasa kembali. Mereka melakukannya baik secara konstitusional, yaitu melalui referendum seperti di Burkina Faso (1997), Guinea (2001), Chad (2005), Uganda (2005), Sudan (2005), Nigeria (2009), Rwanda (2015), Congo-Brazzaville (2015) atau melalui perubahan parlemen seperti Namibia (1999), Togo (2002), Gabon (2003), Kamerun (2008), Djibouti (2010), Rwanda (2015). Ada beberapa negara yang berhasil seperti Burundi, Chad atau Djibouti, tetapi ada juga yang gagal seperti Burkina Faso, Malawi, atau Nigeria ( Tull & Simons, 2017).
Tambahan lagi menurut Tull & Simons (2017) adalah bahwa negara-negara yang mengubah masa jabatan presiden mengalami penurunan indikator kebebasan menurut standar Freedom House.
Dalam skor tersebut, yang demokratis mendapat skor lebih tinggi. Negara yang mengubah masa jabatan presidennya mendapat skor 6,50, yang gagal mengubah mendapat 8,60 sementara yang tetap konsisten mendapat nilai 10,17. Indikator yang dipakai meliputi variabel dari kebebasan berpendapat hingga kebebasan berpolitik.
Artikel yang terbatas ini belum dapat menghubungkan apakah ada korelasi positif antara rendahnya skor kebebasan demokrasi akibat perubahan perpanjangan masa jabatan presiden dengan keterbelakangan ekonomi. Namun di Afrika, perubahan panjang masa jabatan presiden berpengaruh pada stabilitas politik yang kemudian memengaruhi jalannya perekonomian.
Pengalaman negara-negara sub-sahara Afrika ini perlu menjadi pertimbangan bagi para tokoh politik di Indonesia apabila ingin mewacanakan perubahan secara mendasar atas sistem politik yang selama ini telah terlembagakan.
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu
BEBERAPA minggu terakhir ini kita mendengar wacana tentang pengubahan masa jabatan presiden. Ada yang mengusulkan tujuh atau enam tahun tetapi hanya satu periode, empat tahun tetapi menjadi tiga periode, lima tahun dalam satu periode tetapi dapat dipilih lagi selama tidak berturut-turut, dan alternatif lainnya.
Alasan utamanya agar presiden yang terpilih dapat menjalankan program pembangunan secara tuntas. Apabila dibalik logikanya, ada asumsi bahwa program pembangunan presiden selama ini tidak tuntas karena dibatasi oleh periode masa jabatan yang saat ini adalah lima tahun dan hanya boleh dua periode.
Bermacam menu pilihan waktu jabatan untuk presiden yang menjadi wacana adalah juga refleksi dari variasi pengalaman dari negara lain dalam membatasi masa jabatan presiden mereka. Masa jabatan seseorang untuk menjadi pemimpin sebuah negara bergantung pada sistem politik yang berlaku di negara tersebut.
Namun demikian, pembatasan bagi seseorang untuk duduk sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, jauh lebih ketat dalam sistem politik presidensial daripada dalam sistem parlementer. Contoh adalah masa jabatan presiden Korea Selatan yang hanya satu kali dalam lima tahun dan tidak dapat dipilih kembali.
Demikian pula dengan Filipina yang masa jabatan presidennya dibatasi hanya satu periode untuk enam tahun dan tidak dapat dipilih kembali, kecuali ketika menjadi presiden hanya berkuasa kurang dari empat tahun.
Kecenderungan seseorang dapat terus duduk di puncak kekuasaan lebih tinggi di negara-negara dengan sistem politik parlementer. Dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dan kepala negara cenderung dipisah dan di sana perdana menteri sebagai kepala pemerintahan lebih memiliki kekuasaan dalam program pemerintahan dibandingkan kepala negaranya; walaupun ada beberapa negara yang juga memberikan sedikit kekuasaan sebagai penyeimbang terutama dalam hal perubahan konstitusi.
Negara-negara di Eropa seperti di Jerman, Belgia, Denmark, dan Finlandia tidak ada pembatasan masa jabatan perdana menteri. Di Jerman, Kanselir Helmut Kohl berkuasa 16 tahun sebelum akhirnya diambil alih oleh Angela Merkel yang saat ini telah menjabat selama 14 tahun dan masih punya waktu menyelesaikan jabatan hingga 2021. Di Asia, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong telah berkuasa sejak 2004 dan terlama kedua setelah PM Lee Kuan Yew yang berkuasa hingga tiga dekade.
Masa jabatan yang tidak dibatasi oleh waktu itu yang menyebabkan seseorang seperti Shinzo Abe yang saat ini menjadi perdana menteri Jepang dapat mencalonkan diri dan menjadi perdana menteri kembali walau sempat dilengserkan.
Negara-negara di atas dapat menjadi contoh bahwa panjang-pendeknya jabatan presiden atau perdana menteri tidak memengaruhi secara langsung suksesnya pembangunan ekonomi sebuah negara. Filipina yang pendapatan per kapitanya sama-sama sekitar USD211 pada 1972 dengan Korea Selatan, sekarang ketinggalan 100 kali lipat dari Korea Selatan yang sekarang pendapatan per kapitanya telah mencapai USD31.000 pada 2018. Perekonomian Hungaria yang dipimpin oleh PM Victor Orban dan berkuasa lebih dari 10 tahun, juga tidak lebih baik dari Jerman atau negara-negara Eropa lainnya yang lebih kecil.
Oleh sebab itu, wacana pembatasan masa jabatan presiden lebih tepat apabila dikaitkan dengan konsolidasi demokrasi di dalam sebuah negara daripada dikaitkan dengan sukses atau tidaknya pembangunan ekonomi sebuah negara. Indikator umum konsolidasi demokrasi ditandai dengan berjalannya prinsip-prinsip demokrasi seperti supremasi hukum, peradilan yang independen, pemilihan umum yang jujur dan adil, dan masyarakat sipil yang toleran atas kemajemukan, serta penghargaan yang tinggi atas nilai-nilai kemanusiaan.
Sayangnya, konsolidasi demokrasi ini tidak bersifat linear. Semakin bertambah usia suatu negara, belum tentu konsolidasinya semakin matang.
Konsolidasi demokrasi mengalami pasang-surut; ada masa-masa di mana sistem demokrasi yang terbuka dan partisipatif justru membuka peluang bagi kelompok-kelompok antidemokrasi untuk mendesak sistem politik menjadi tidak demokratis.
Hal ini terjadi, misalnya, di negara-negara di benua sub-sahara Afrika seperti Angola, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading (Côte d’Ivoire), Burkina Faso, Burundi, Chad, Rwanda, Kamerun, Nigeria, Malawi. Negara-negara ini pada masa awal-awal kemerdekaan di awal 1970-an mengalami masa pemerintahan otoriter seperti ketika Indonesia di zaman pemerintahan Orde Baru.
Seorang kepala negara dan partai politik tertentu dapat berkuasa berpuluh-puluh tahun dengan cara membungkam oposisi. Perubahan sistem politik terjadi di awal 1990-an karena negara-negara maju tidak lagi mendukung pemimpin otoriter di Afrika dan mendorong terjadinya perubahan sistem politik yang lebih kompetitif dan demokratis. Salah satunya adalah pembatasan masa jabatan presiden yang rata-rata adalah dua periode.
Beberapa kepala negara seperti Burundi, Kamerun, Chad, Sudan, atau Uganda mencoba untuk mengubah masa jabatan tersebut agar mereka berkuasa kembali. Mereka melakukannya baik secara konstitusional, yaitu melalui referendum seperti di Burkina Faso (1997), Guinea (2001), Chad (2005), Uganda (2005), Sudan (2005), Nigeria (2009), Rwanda (2015), Congo-Brazzaville (2015) atau melalui perubahan parlemen seperti Namibia (1999), Togo (2002), Gabon (2003), Kamerun (2008), Djibouti (2010), Rwanda (2015). Ada beberapa negara yang berhasil seperti Burundi, Chad atau Djibouti, tetapi ada juga yang gagal seperti Burkina Faso, Malawi, atau Nigeria ( Tull & Simons, 2017).
Tambahan lagi menurut Tull & Simons (2017) adalah bahwa negara-negara yang mengubah masa jabatan presiden mengalami penurunan indikator kebebasan menurut standar Freedom House.
Dalam skor tersebut, yang demokratis mendapat skor lebih tinggi. Negara yang mengubah masa jabatan presidennya mendapat skor 6,50, yang gagal mengubah mendapat 8,60 sementara yang tetap konsisten mendapat nilai 10,17. Indikator yang dipakai meliputi variabel dari kebebasan berpendapat hingga kebebasan berpolitik.
Artikel yang terbatas ini belum dapat menghubungkan apakah ada korelasi positif antara rendahnya skor kebebasan demokrasi akibat perubahan perpanjangan masa jabatan presiden dengan keterbelakangan ekonomi. Namun di Afrika, perubahan panjang masa jabatan presiden berpengaruh pada stabilitas politik yang kemudian memengaruhi jalannya perekonomian.
Pengalaman negara-negara sub-sahara Afrika ini perlu menjadi pertimbangan bagi para tokoh politik di Indonesia apabila ingin mewacanakan perubahan secara mendasar atas sistem politik yang selama ini telah terlembagakan.
(poe)